Menuju konten utama

Hidup Buruh Migran dalam Keterbatasan Perlindungan Negara

Kisah pilu dari buruh migran terus bermunculan. Ini karena keterbatasan perlindungan yang dapat diberikan negara.

Hidup Buruh Migran dalam Keterbatasan Perlindungan Negara
Sejumlah buruh migran Indonesia (BMI) di Kuala Lumpur, Malaysia, Jumat (1/7). Antara Foto/Muhammad Adimaja/foc/16.

tirto.id - Martini merasa kehidupannya di Sukabumi stagnan. Ia mau taraf ekonomi yang lebih baik. Maka itu ia menerima tawaran untuk menjadi pramusaji di Turki melalui jalur TKI mandiri oleh seseorang. Martini berangkat pada 2019.

Ia berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Batam dan menyebrang dengan kapal feri ke Malaysia. Ia ditampung dua hari di Negeri Jiran, baru kemudian diterbangkan ke Turki. Martini memang sampai ke negara yang dijanjikan tapi iming-iming tak sesuai harapan.

“Di Turki, selama 10 hari saya dikurung, tidak ngapa-ngapain. Dan dikirim ke Libya,” ujarnya dalam konferensi pers daring Jaringan Buruh Migran, Kamis (17/12/2020). Ia tidak punya imajinasi apa pun tentang Libya. Ia merasa asing.

Di sana Martini bekerja di rumah seseorang sebagai asisten rumah tangga (ART). Tanpa digaji sebulan, Martini justru dipukuli majikan. “Ini tidak sesuai kontrak. Saya tidak mau tanda tangan. Saya mau jadi waiters bukan ART.”

Ia protes ke kantor penyalur kerja dan nihil hasil. Ia melaporkan penderitaannya ke KBRI setempat dan direspons pahit. “KBRI bilang, ‘kerja saja dulu, mungkin rezeki’. Kalau sesuai kontrak, ya enggak apa-apa. Ini enggak sesuai.”

Martini lantas mengadu ke Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan mereka membantu pulang ke Indonesia. Tiba di Tanah Air, Martini protes ke agen penyalur. Ia pun menempuh jalur hukum dan berhasil menjerumuskan penyalur ke penjara.

Dalam salinan putusan, tertera nama terdakwa Erna Rachmawati alias Yolanda. Pada 19 Desember 2019, Hakim Ketua Syahrudin Ainor Rafiek menyatakan Yolanda bersalah telah memperdagangkan orang dan dihukum lima tahun penjara dan denda Rp 120 juta.

Usai mengalami nasib pilu, Martini memutuskan membuka usaha. Namun pandemi COVID-19 yang menjangkau Indonesia pada Maret 2020 membuatnya bangkrut. Ia berharap pemerintah memberikan pertolongan di masa sulit ini, juga berharap mereka melindungi orang-orang seperti Martini di luar negeri. “Tolonglah, mereka perlu perhatikan. TKI, kita pahlawan devisa. Cabut Kepmen 260/2015.”

Dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa pekerja migran dilarang dikirim ke negara-negara Timur Tengah untuk pengguna perseorangan: Arab Saudi, Aljazair, Bahrain, Irak, Kuwait, Lebanon, Maroko, Mauritania, Mesir, Oman, Palestina, Qatar, Sudah, Suriah, Tunisia, Uni Emirat Arab, Yaman, Yordania, dan Libia. “Kami tidak merasakan perlindungan apa pun dari negara,” tukasnya.

Seknas Jaringan Buruh Migran (JBM) Savitri Wisnuwardhani menilai apa yang dialami Martini adalah imbas dari minimnya informasi yang para pekerja migran terima.

Sebetulnya UU 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) sudah memiliki semangat perlindungan ketimbang UU sebelumnya. Masalahnya, “UU ini sifatnya umum sehingga butuh kekhususan aturan turunan agar pemda bisa mewujudkan layanan tingkat daerah.” “Aturan turunan yang pokok seperti PP ABK, Atase, RPP Perlindungan, belum disahkan hingga saat ini. Mandat UU PMI, kan, dua tahun disahkan,” imbuhnya pada kesempatan yang sama.

Pandemi Kikis Perlindungan PMI

Lemahnya perlindungan PMI dikhawatirkan kian rentan saat pandemi. Data JBM menunjukkan peningkatan kasus sebesar 61 persen pada 2020 ketimbang tahun lalu, termasuk deportasi dan repatriasi PMI tanpa paspor serta penahanan hingga menyebabkan trauma.

Selain itu, “dari 35 responden survei, hasil sementara menunjukkan kondisi PMI justru lebih mengalami kerentanan dengan situasi kerja yang lebih buruk: beban kerja semakin berat, pemotongan upah, tidak ada hari libur, dan sulit untuk berkumpul terutama berorganisasi.”

Para PMI juga mengalami persoalan penempatan dalam masa pageblug ini. Setelah membuka kanal aduan sepanjang tahun ini, SBMI mencatat 643 kasus masuk. 75,74 persen menunjukkan penempatan non-prosedural. Penempatan non-prosedural tersebut kebanyakan dilakukan oleh orang perseorangan, jumlahnya 59,14 persen. Sisanya, 40,86 persen, dilakukan oleh Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) dan Perusahaan Penempatan Pelaut Awak Kapal.

Kebanyakan kasus dialami perempuan. Persentasenya mencapai 53,6 persen, sedangkan laki-laki 46,35 persen.

Sekretaris Jenderal SBMI Bobi Anwar, dalam kesempatan yang sama, mengatakan pemerintah “harus lebih kencang lagi [mengawasi] di penempatan karena non-prosedural lebih banyak.” Bobi mendesak pemerintah merevitalisasi seluruh layanan migrasi kerja, baik pra keberangkatan, selama, dan setelah pemulangan dengan menggunakan pendekatan HAM dan responsif gender.

Ketua Solidaritas Perempuan Dinda Yura pendekatan yang sadar gender penting karena terutama perempuan rentan mengalami kekerasan, pelanggaran hak, dan pemiskinan. Perempuan PMI juga rawan menjadi korban TPPO lantaran sistem migrasi berjalan tanpa perlindungan.

“Situasi buruh migran diperparah penanganan pandemi yang tidak berorientasi HAM dan arah kebijakan negara yang lebih mementingkan omnibus law untuk kepentingan investasi daripada kebijakan yang dibutuhkan PMI dan keluarganya, seperti aturan turunan UU PPMI, dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga,” ujar Dinda dalam kesempatan yang sama.

Untuk itu Dinda berharap pemerintah segera mengimplementasikan konvensi migran dan UU PPMI dengan merombak paradigma komodifikasi menjadi orientasi Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan.

Reporter Tirto telah berupaya meminta komentar soal upaya perlindungan pemerintah terhadap PMI selama pandemi kepada Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani. Benny hanya merespons dengan gambar berisi peraturan pelaksana dari UU 18/2017.

Baca juga artikel terkait BURUH MIGRAN atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino