tirto.id - Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) menelusuri kasus deportasi massal buruh migran Indonesia di Sabah, Malaysia, pada Maret-Juli 2020. Dari sana mereka menemukan dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berlangsung secara sistematis dan bertahun-tahun.
Informasi didapat dari Konsulat Republik Indonesia (KRI) di Tawau Sabah, pemerintah daerah, juga para korban, 33 orang, yang sudah kembali ke Indonesia melalui pelabuhan Parepare, Sulawesi Selatan. Korban yang diwawancarai terdiri dari 17 laki-laki, 15 perempuan, dan satu anak yang berasal dari Sulawesi, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
Koordinator Koalisi Buruh Migran Berdaulat Musdalifah Jamal mengatakan para buruh migran yang tak berdokumen ditangkap dan ditahan di Pusat Tahanan Sementara (PTS) di Tawau, Sabah, sebelum dokumen administrasi deportasinya lengkap. Jumlahnya mencapai 900 sejak Desember 2019.
Di tempat inilah mereka diduga disiksa.
Musdalifah mengatakan seorang buruh migran, XYZ, asal Adonara, NTT, mengaku “diperlakukan seperti binatang.”
“Setelah hukuman penjara selesai dan saat menunggu proses deportasi di PTS, kami diperlakukan seperti hewan. Pokoknya di rumah merah (PTS) itu seperti neraka. Kebanyakan kami mengalami segala macam penyakit,” ucap Musdalifah menirukan XYZ, kepada reporter Tirto, Kamis (6/8/2020) pekan lalu.
Ada juga korban berinisial ABC yang bilang setiap jam 6 pagi dibangunkan dengan cara diteriaki. Mereka langsung disuruh berbaris dan berhitung. Satu baris masing-masing 10 orang. Para korban diminta mengucapkan “selamat pagi, cikgu (guru)!” lalu penjaga akan menyuruh mereka menunduk dengan tangan di belakang pinggang. Jika ada yang salah bisa kena pukul dan tendang.
“Setiap dipukul kami harus bilang ‘terima kasih, cikgu.’ Kalau tidak kami akan terus dipukul. Jadi kami diperlakukan benar-benar seperti binatang. Kami harus panggil para petugas sebagai cikgu, kalau tidak habislah kami dipukuli.”
KLN, perempuan asal Pinrang Sulses, mengatakan di PTS hampir semua buruh migran “kena gatal-gatal dan penyakit kulit,” karena “airnya kotor dan bau, itu pun tidak lancar.” Ia mengaku sering tidak mandi sampai tiga kali.
Soal makan, ia mengaku kerap diberikan “daging ayam yang masih ada darahnya, nasi yang masih mentah atau basi, sayur kadang belum masak.” Pernah pula suatu hari para buruh migran “tidak diberi makan sampai sore.”
DDHK, bocah berusia 10 tahun asal Ende, NTT, mengatakan untuk mandi mereka kerap diundi. Tak semua kebagian jatah. “Itu pun dijatah hanya dua botol air mineral (dua liter),” akunya, dituturkan Musdalifah.
Atas dasar temuan ini koalisi mendesak beberapa hal ke pemerintah. Pertama, membentuk lembaga pusat trauma bagi korban guna pemulihan kejiwaan; kedua, mendorong peraturan daerah perihal perlindungan pekerja migran.
Wajib Dilindungi
Anggota Komnas Perempuan Tiasri Wiandani sepakat dengan tuntutan tersebut, bahwa pemerintah semestinya memulihkan dampak fisik dan psikologis korban melalui pelayanan kesehatan. “Kami akan membuat rekomendasi bagi korban bahwa mereka berhak mendapatkan pendampingan dan penanganan kasus oleh pemerintah,” kata Tiasri ketika dihubungi reporter Tirto, Kamis (6/8/2020).
Ia juga mengingatkan kalau hubungan bilateral Indonesia dan Malaysia bisa dimanfaatkan agar kasus serupa tak terulang. Pemerintah harus serius karena faktanya di Malaysia-lah kasus tenaga kerja Indonesia paling sering terjadi. Berdasarkan data Migrant CARE, kasus terhadap Pekerja Migran Indonesia (PMI) pada 2014 mencapai 72, 68 kasus pada 2015, lalu meningkat setahun kemudian menjadi 132 kasus dan 200 kasus pada 2017.
Pada 2017 itu, Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Kabupaten Kupang NTT menemukan 62 PMI meninggal dunia di Malaysia. Penyebab kematian sebagian besar karena sakit (45,2 persen).
Komisioner Pemantauan Komnas HAM Choirul Anam mengatakan buruh migran itu kelompok yang rentan dan dilemahkan.
“Tidak ada peluang bagi mereka untuk mengurus identitas kerja. Kondisi ini sesuatu yang dipelihara demi kepentingan ekonomi, karena dengan status tak berdokumen (undocumented), maka jadi lemah dan murah,” katanya ketika dihubungi reporter Tirto, Kamis (6/8/2020).
“Malaysia menikmati karena [upah] murah, [sedangkan] Indonesia tutup mata,” Anam menambahkan.
Deputi Bidang Perlindungan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Anjar Prihantoro Budi Winarso merespons temuan ini dengan mengatakan sebenarnya regulasi yang mengatur itu sudah ada, yaitu UU 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri hingga UU 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
“Perlindungan di tempat kerja tetap koordinasi dengan perwakilan dan pendampingan. Lebih utama sebetulnya perlindungan pra, sehingga bisa mengurangi walaupun belum bisa mencegah,” ujar dia ketika dihubungi reporter Tirto, Jumat (7/8/2020).
Masalahnya kerapkali terletak pada pemahaman buruh migran itu sendiri, katanya, yang tidak melengkapi diri dengan dokumen resmi. Penyebab calon pekerja migran tak mengurus dokumen ada banyak, katanya, semisal karena kurangnya informasi dan menganggap proses ini berbelit-belit.
Mereka terus mengedukasi masyarakat untuk melengkapi dokumen sebelum berangkat dan harus melalui jalur resmi. Ia mengatakan upaya ini memang terkesan “normatif”, meski demikian dalam praktiknya “berat”.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino