tirto.id - Angan-angan 130 siswi SMA/SMK yang tersebar di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur bekerja di luar negeri dengan upah 900 RM (setara dengan Rp3,1 juta) beserta iming-iming bonus, insentif, uang lembur, fasilitas kamar dan dapur, serta jam kerja 8 jam sehari hilang setelah mereka sampai di Malaysia.
Menurut Koordinator Bantuan Hukum Migrant Care Nurharsono, sesampainya di Malaysia, para pekerja tersebut tidak dipekerjakan di PT Kiss Produce—seperti dijanjikan penyalurnya: PT Sofia—melainkan di Maxim Birdnest, dengan gaji 900 RM beserta potongan 104 RM untuk levi (pajak), 300 RM untuk PT Sofia, 200 RM untuk makan, dan 50 RM untuk AC. Setiap bulan, para pekerja itu hanya menerima upah sekitar Rp700 ribu. Padahal, sebelum berangkat calon pekerja itu telah diwajibkan membayar Rp300.000 hingga Rp1.000.000 sebagai jaminan dan pengurusan administrasi calon PMI.
Ratusan siswi lulusan SMA/SMK tersebut juga mengalami trauma. "Kondisi kamar tidur yang mereka bayar itu tak layak, karena setiap kamar diisi oleh 17 orang. Mereka selalu diancam potong gaji jika bekerja tak sesuai target,” kata Nurharsono.
Di sana, mereka pun tak mendapatkan upah lembur seperti yang dijanjikan, dengan jam kerja mencapai 14 jam sehari. Kalaupun ada, upah lembur yang diberikan hanya 50 sen.
Hingga 28 Maret 2017, Polisi Diraja Malaysia dan Pihak Imigrasi Malaysia melakukan penggerebekan terhadap PT Maxim Birdnest, dan seluruh pekerja itu ditempatkan di Pusat Tahanan Imigrasi Malaysia, dan tidur bersama dengan kaki terlipat. Mereka juga diberi makanan yang hampir basi tanpa minum, sehingga untuk minum mereka menggunakan air kran berkaporit. Mereka akhirnya dipulangkan ke Indonesia pada akhir Mei 2017 secara bertahap.
Kasus tindak pidana perdagangan orang dari Indonesia ke Malaysia dengan modus serupa tak hanya menimpa 130 perempuan remaja itu saja. Pada 2016 lalu, Badan Reserse Kriminal Polri pernah mengungkap sindikat perdagangan manusia di Malaysia. Kala itu, 23 perempuan asal Jawa Barat dan DKI Jakarta diiming-imingi menjadi pemijat di tempat spa dengan gaji Rp15 juta sebulan. Sesampainya di Malaysia, mereka dipaksa menjadi Pekerja Seks Komersial.
Harapan memperoleh gaji besar pun pupus. Selama dua bulan pertama, TKW itu tak mendapatkan gaji dengan alasan untuk membayar biaya keberangkatan mereka ke Malaysia.
“Dalam satu hari, korban melayani konsumen untuk berhubungan sekitar empat sampai sembilan kali. Kalau korban belum lunas utangnya, korban tidak boleh pulang.” Kata Kepala Subdirektorat III Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri saat itu, Komisaris Besar Umar Surya Fana seperti dikutip CNN Indonesia.
Kemiskinan Jadi Faktor Utama
Sejak 2012, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur merupakan daerah penghasil pekerja migran tertinggi di Indonesia menurut data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Pada 2018 saja, hingga bulan Mei jumlah pekerja migran yang keluar Indonesia telah mencapai 25.187 (Jawa Timur), 23.379 (Jawa Barat), dan 22.388 (Jawa Tengah).
Direktur Pelayanan Penempatan Pemerintah BNP2TKI, R Hariyadi Agah pernah menyampaikan bahwa perbedaan upah yang mencolok menjadi alasan orang bermigrasi untuk bekerja ke luar negeri. Biasanya para pekerja migran berharap, suatu saat bisa membangun usaha di dalam negeri, sehingga mereka tak perlu kembali lagi menjadi TKI. Mencarikan peluang kerja ke luar negeri menjadi jalan keluar pemerintah tatkala terjadinya ledakan penduduk, tapi masyarakat belum mendapatkan pekerjaan.
Lily (bukan nama sebenarnya), yang pernah menjadi korban perdagangan orang di Malaysia, menceritakan bahwa dirinya sempat frustrasi lantaran tak kunjung mendapat pekerjaan di negeri sendiri usai lulus sekolah.
“Yang bikin aku tertarik di Malaysia karena masuk kerjanya mudah. Kalau di negeri sendiri udah daftar kerja dimana-mana tapi gagal sampai akhir," kata Lily kepada Tirto. Sebelum ke Malaysia, Lily sempat menjadi Pekerja Rumah Tangga pada tahun 2015 di Jakarta, tapi ia hanya mendapat gaji Rp1.500.000 per bulan, dengan potongan Rp300.000 setiap bulannya. Padahal, pada 2015, UMP DKI Jakarta berada di angka Rp. 2.700.000.
Sama seperti Lily, Kiky (bukan nama sebenarnya) juga mengatakan bahwa ia tertarik menjadi Pekerja Migran Indonesia di Malaysia karena gaji yang lebih besar daripada di Indonesia. Apalagi dia mendengar cerita dari teman-temannya kalau mencari pekerjaan di Indonesia bukan hal mudah.
Kasus Banyak, Malaysia Tetap Tujuan Favorit TKI
Malaysia adalah negara dengan kasus tenaga kerja Indonesia tertinggi jika dibandingkan negara lain. Berdasarkan data Migrant CARE, kasus terhadap Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Malaysia terus bertambah dari tahun ke tahun. Pada 2014 tercatat jumlah kasus terhadap PMI di Malaysia mencapai 72 kasus, di 2015 menurun 68 kasus, tapi mengalami peningkatan di 2016 dengan 132 kasus, dan 200 kasus pada tahun 2017.
Yang cukup mencuat adalah kasus kematian tenaga kerja Indonesia di Malaysia, Adelina Lisao, akibat disiksa secara sadis oleh majikannya. Pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur yang pulang ke Indonesia dalam keadaan tak bernyawa itu merupakan korban perdagangan manusia. Orang tua Adelina menceritakan, bahwa anaknya dibawa lari oleh perekrutnya.
Meski demikian, Malaysia tetaplah favorit para Pekerja Migran Indonesia (PMI). Berdasarkan data BNP2TKI, Malaysia terus bertengger pada posisi teratas. Pada 2014 tercatat ada 127.827 PMI dikirim ke Malaysia, meningkat dibanding 2015 sebanyak 97.635 PMI.
Faktor utama yang menjadikan pekerja itu tertarik dengan Malaysia karena adanya keluarga atau teman yang bekerja di negara tersebut, disusul dengan rekomendasi dari teman yang pernah bekerja disana.
Dengan iming-iming gaji 900 RM (setara Rp3,1 juta) belum termasuk bonus dan lainnya, ditambah penginapan gratis, pantas jika siswi-siswi lulusan SMK itu tertarik. Bayangkan jika bekerja di Indonesia, upah lulusan SMA/SMK biasanya hanya mengacu pada UMK masing-masing daerah yang berkisar antara Rp1-3 juta per bulan, dan harus mengeluarkan pengeluaran untuk tempat tinggal dan biaya hidup lainnya.
Meski pernah mengalami kasus perdagangan orang di Malaysia, Lily ingin kembali bekerja di sana apabila mendapat restu lagi dari orangtuanya. “Lebih ke persoalan ekonomi alasannya. Tapi mustahil kalau ke luar negeri lagi. Orangtua sudah enggak ngijinin. Restu orangtua segalanya,” kata wanita berusia 22 tahun itu. Namun, Lily lebih ingin bekerja di sektor industri.
Lily juga menyampaikan ia akan lebih berhati-hati ketika memilih penyalur, agar tak kena sial untuk kedua kalinya. “Kalau penyalurnya benar, pekerjaan yang didapat sesuai dengan janjinya. Kita kan sering ngumpul sesama buruh Indonesia di Malaysia, ada yang cerita dapat perusahaan. Gaji 1000 RM sudah bersih dan dapat kamar yang baik. Padahal dia lulusan SMK,” ungkap Lily.
Perlindungan Hukum Lemah
Menjadi tenaga kerja di negara asing merupakan solusi minimnya lapangan kerja di dalam negeri. Namun, perlindungan hukum bagi para pekerja ini lemah. Bibit Santoso dalam artikel opininya "Menyikapi Perdagangan Manusia" mengatakan bahwa penindakan pidana Tindak Pidana Perdagangan Orang sulit, sebab penanganan perkara selama ini terlalu berorientasi pada tersangka atau terdakwa dan mengabaikan hak para korban.
Di Indonesia, sistem pembuktian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 183 tertulis bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya, sehingga sebenarnya dua alat bukti saja belum cukup untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa.
Di Indonesia, vonis bagi pelaku perdagangan manusia masih rendah. Pada 2017, 7 orang terdakwa perdagangan manusia di Kupang hanya dijatuhi vonis 3-5 tahun penjara beserta denda Rp200 juta, dengan membayar kerugian kepada ahli waris korban sebesar Rp5 juta. Vonis ini jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni 10 tahun penjara, dengan denda Rp200 juta subsider 3 bulan penjara, serta membayar kerugian kepada ahli waris korban sebesar Rp55 juta subsider 1 bulan penjara.
Menurut Laporan Tahunan Perdagangan Orang 2017 Kedutaan Besar dan Konsulat Amerika Serikat di Indonesia, Indonesia masih berada pada tingkat 2 perdagangan orang. Pemerintah Indonesia tidak sepenuhnya dapat memenuhi standar minimal untuk pemberantasan perdagangan orang.
Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad dan Presiden Jokowi bertemu pekan ini di Istana Bogor. Namun, ternyata, dalam agenda pertemuan tersebut, mereka hanya membahas soal tata kelola pemerintahan (good governance), pemberantasan korupsi, dan penyelesaian perbatasan. Terkait persoalan buruh migran di Malaysia, mereka hanya membahas soal pendidikan anak-anak dari para TKI.
Padahal, menurut Direktur Eksekutif Migrant CARE Wahyu Susilo, buruh migran Indonesia di Malaysia masih terus menghadapi kerentanan. "Sebagai korban kekerasan, masuk dalam sindikat perdagangan manusia, bahkan nyawanya di ujung tanduk dalam ancaman hukuman mati," ujarnya.
Editor: Maulida Sri Handayani