tirto.id - Mabes Polri mengumumkan kasus kejahatan perdagangan orang, yang diungkap kepolisian selama 2017, melibatkan korban sebanyak 1.078 perempuan dewasa dan 5 anak. Para korban itu merupakan buruh migran ilegal asal Indonesia. Polisi juga meringkus 30 tersangka tindak pidana perdagangan orang selama tahun ini.
Kasubdit III Direktorat Tindak Pidana Umum Mabes Polri, Kombes Pol Ferdi Sambo menjelaskan kasus-kasus kejahatan perdagangan orang pada 2017 melibatkan jaringan penyelundup buruh migran ilegal. Mereka memakai sejumlah modus dalam kejahatannya. Misalnya, penyalahgunaan visa umrah, visa wisata, visa ziarah, dan pemberangkatan buruh migran lewat jalur ilegal.
Ferdi mencatat ada 6 jaringan yang terungkap selama 2017. Keenamnya yakni Jaringan Mesir, Jaringan Arab Saudi, Jaringan Abu Dhabi, Jaringan Malaysia, Jaringan Cina, dan Jaringan Suriah.
Dia menambahkan seluruh pelaku perdagangan orang itu adalah warga negara Indonesia meski ada dugaan kuat pihak asing juga membantu mereka. Ferdi mencontohkan ada sindikat internasional berperan besar di Jaringan Abu Dhabi. Sebab modus jaringan ini ialah paspor WNI tidak dibuat di Indonesia untuk masuk ke Abu Dhabi, tapi di Mesir.
"(Jaringan internasional) inilah yang sedang paling kami buru," kata dia kepada Tirto pada Kamis (21/12/2017).
Kepala Bareskrim Polri, Komjen Pol Ari Dono Sukmanto menambahkan kasus perdagangan orang terakhir yang terungkap memakai modus penipuan visa wisata. Para pelaku sengaja menggunakan jalur yang sedikit memutar agar bisa mengelabui aparat. Kasus itu melibatkan Jaringan Malaysia.
Jaringan ini semula menampung 39 orang calon buruh migran, yang rencananya dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga, di Pasuruan, Jawa Timur. Dari sana, 39 orang ini diberangkatkan ke Bandara Juanda menuju Pontianak. Dari Pontianak, mereka diterbangkan lagi menuju Entikong di Kalimantan Barat, lalu kemudian ke Miri, Sarawak, dengan tujuan akhir Kuala Lumpur.
Tapi, sebelum dioper ke tempat lain, mereka mengalami kendala dan terlantar selama 2 hari di Malaysia. Pihak otoritas Malaysia mendapati visa mereka untuk wisata, bukan visa kerja. Otoritas Malaysia lalu memulangkan 39 orang itu kembali ke Indonesia.
Dari sini, polisi melakukan penyelidikan dan berhasil menangkap pelaku bernama Maslachah, Fatmawati, Rofik, dan Ujang. Menurut Ari, jaringan ini beroperasi sejak 2014 dan telah mengirimkan 50 buruh migran ke luar negeri. Kepolisian mengklaim bahwa semua korban jaringan ini telah dikembalikan ke Indonesia.
Jumlah korban lebih banyak ditemukan oleh kepolisian pada Mei 2017. Pelaku merupakan Direktur perusahaan Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) PT Sofia Sukses Sejati, Windi Hiqma Ardiani. Dia menipu 152 orang untuk dipekerjakan secara ilegal di luar negeri.
Windi mengajak 152 korbannya dari sebuah Sekolah Menengah Kejuruan di daerah Kendal, Jawa Tengah. Para korban lalu ditawari pekerjaan di sebuah perusahaan elektronik. Setibanya di sana, perusahaan itu dinyatakan bangkrut dan korban ditawari bekerja di PT Kiss Produce Food Trading.
Mulanya korban direkrut dengan gaji 900 ringgit (sekitar Rp2,97 juta) dan dijanjikan menerima fasilitas memadai. Kenyataannya berbeda. Selain fasilitas yang tidak layak dan jam kerja tak menentu, gaji mereka seringkali dipotong.
"Pada kenyataannya, selain SPK (Surat Perjanjian Kerja) tidak sesuai, mereka digaji Rp200 ribu dan harus membayar sarana prasarana, (padahal) pada SPK sebelumnya (disebut) ditanggung perusahaan," kata Ari.
Ia mencatat mayoritas korban berasal dari Jawa Tengah, NTT, dan NTB. Ari menduga para pelaku sejak lama menyasar daerah-daerah itu sebab tingkat penganggurannya tinggi. Sementara kebanyakan masyarakat di daerah, yang jauh dari perkotaan, mudah ditipu.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Addi M Idhom