tirto.id - Pada paruh kedua abad ke-19, Jawa sedang diliputi suasana damai. Kehidupan yang tenang itu diikuti pula peningkatan kualitas layanan kesehatan dan pembukaan bidang-bidang pekerjaan baru. Imbasnya adalah naiknya standar hidup dan kemudian tingkat pertumbuhan penduduk.
Tapi, lambat laun ketentraman dan pertumbuhan itu justru jadi biang masalah. Seturut telisikan Peter Boomgaard, rata-rata tingkat pertumbuhan penduduk Jawa per tahun sepanjang abad ke-19 mencapai 2,3 persen—terhitung besar untuk ukuran zaman itu. Hal ini jadi persoalan karena saat itu pemerintah kolonial belum punya kebijakan pengendalian kelahiran. Pun demikian, orang Jawa tak mengenal konsep macam itu.
“Pertumbuhan sebesar ini pada umumnya disebabkan watak tidak peduli orang Jawa, yang hidup dari hari ke hari tanpa memikirkan hari esok,” tulis Boomgard dalam Anak Jajahan Belanda: Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa 1795-1880(2004: 1).
Kondisi itu lantas memicu kepadatan penduduk yang akut. Menjelang pergantian abad, Pulau Jawa menjadi salah satu wilayah berpenduduk terpadat di dunia. Gara-gara itu, kesejahteraan yang sebelumnya dicapai perlahan mengalami kemunduran. Lebih jauh, Profesor Sejarah Lingkungan dan Ekonomi Asia Tenggara di Universitas Amsterdam itu meyebut citra kemiskinan dan kemandekan di Jawa juga muncul gara-gara jutaan petani dan kuli yang semakin tidak terurus.
Jalan keluar yang kemudian dipilih oleh pemerintah kolonial untuk mengatasi masalah ini adalah program kolonisasi atau transmigrasi penduduk ke luar Jawa. Program transmigrasi pertama pun dilaksanakan pada 1905.
Program transmigrasi sebenarnya bukanlah kebijakan yang benar-benar baru. Sebelum itu pun, orang Jawa juga sudah melakukanmigrasi ke luar pulaudemi mencari penghidupan yang lebih baik. Salah satu daerah tujuannya adalah Pulau Sumatra. Pasalnya, kian banyak perkebunan swasta Eropa yang di buka di sana dan tentu membutuhkan buruh lebih banyak pula.
Dari awalnya sekadar memenuhi kebutuhan buruh perkebunan di Sumatera, tenaga kerja Jawa diboyong pula sampai ke Malaysia hingga Suriname. Diaspora orang Jawa ke Negeri Jiran sudah terjadi sejak 1870. Keberadaan merekaberpengaruh besar terhadap kebijakan penyerapan tenaga kerja asing yang belakangan berkontribusi membentuk tatanan sosial Malaysia modern.
Menyambut Buruh Kontrak dari Jawa
Pada 1833, pemerintah imperialis Inggris melarang perdagangan budak di seluruh wilayah kekuasaan mereka di Hindia Timur—termasuk Singapura dan Malaya. Pemerintah kolonial pun menerapkan kebijakan serupa di Hindia Belanda pada 1859. Transisi kebijakan ini diikuti oleh pembukaan lapangan kerja yang melimpah tapi tidak didukung sumber daya manusia yang cukup.
Pasalnya, pertambahan penduduk di beberapa kawasan strategis Asia Tenggara kala itu tidak setinggi di Pulau Jawa. Menurut Anthony Reid dalam A History of Southeast Asia: Critical Crossroads (2015: 261), sejak permulaan abad 19, Asia Tenggara termasuk kawasan lengang penduduk kendati didukung iklim yang baik, curah hujan yang cukup, dan tanah yang subur. Sampai dekade 1870-an, wilayah dari ujung Myanmar, Filipina, hingga Kalimantan diperkirakan hanya dihuni sekitar 55 juta orang.
Meskipun populasinya rendah, perekonomian Asia Tenggara sedang mencapai titik puncaknya berkat perniagaan internasional yang sangat maju. Perekonomian semakin bergeliat tatkala investor-investor Eropa ikut menanam modalnya di Straits Settlements (SS).
Untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja, sejak 1926, pemerintah kolonial Inggris di Semenanjung Malaya mengimpor buruh asing dari India dan Cina. Orang Jawa kemudian menyusul dipekerjakan sebagai kuli kontrak perkebunan atau pertambangan milik East India Company (EIC) sepanjang 1870-an.
Ahli demografi dari Universitas Adelaide, Australia, Graeme Hugo berpendapat, pola perekrutan kongsi dagang Inggris pada 1870 sangat jauh berbeda dibanding perekrutan tenaga kerja paksa semasa pendudukan Jepang. Umumnya, calon buruh direkrut secara terbuka di kota-kota besar di Jawa dengan perjanjian tertulis yang rinci. Mereka yang diterima tidak hanya dikirim ke Semenanjung Malaya, tapi ada kalanya sampai ke Sabah, Serawak, Vietnam, Thailand, Suriname, bahkan Australia.
Dalam naskah ilmiahIndonesian Labour Migration to Malaysia: Trends and Palicy Implication, Hugo memaparkan bahwa praktik itu kemudian dianggap ilegal oleh pemerintah kolonial Belanda. Mereka menganggap EIC tidak berhak atas penduduk Tanah Jawa. Ini tak mengherankan karena Inggris dan Belanda memang seringbersikutan soal perdagangan dan batas wilayah sejak abad ke-17.
Pada permulaan abad ke-20, ketika Politik Etis diterapkan, Belanda menerbitkan larangan perekrutan orang Jawa sebagai kuli kontrak di perusahaan yang berbasis di Malaya. Larangan ini sebenarnya sudah terlambat. Pasalnya, saat itu sudah ada sekitar 81.000 orang Jawa yang tinggal dan bekerja di Semenanjung Malaya.
Agen Penyalur Tenaga Kerja
Meningkatnya jumlah perantau Jawa di Malaya ternyata bukan kebetulan. Kondisi ini didorong oleh perubahan politik di Semenanjung Malayasejak 1874—kala Inggris memperkuat imperiumnya di Asia Tenggara dengan jalan membangun negara koloni di Perak, Selangor, Negeri Sembilan, dan Pahang.
Negara-negara itulaludireorganisasi di bawah bendera Federated Malay States (FMS) pada 1895. Birokrasi FMS didominasi oleh pegawai kulit putih yang bertanggung jawab mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pertahanan dan urusan luar negeri. Di bidang ekonomi, mereka mengandalkan kapitalis-kapitalis Eropa dan pemilik perkebunan swasta yang bebas merekrut kuli dari India dan Cina.
Ahli sejarah ekonomi di Universitas New England Amarjit Kaur menyebut, buruh migran asal Jawa mulai melambung jumlahnya ketika upah buruh dari India dan Cina naik dan dianggap terlalu mahal oleh para kapitalis itu. Padahal, permintaan produk karet tengah meningkat. Karena itulah, para pengusaha akhirnya mencari tenaga kerja murah dari Jawa untuk mengejar produksi.
Menurut Kaur, para pejabat FMS juga mendukung keputusan itu. Mereka merasa orang Jawa sangat tepat mengisi pekerjaan di bidang perkebunan. Di samping terampil mengurus kebun, orang Jawa umumnya tidak menuntut upah tinggi. Pertimbangan penting lain adalah kesamaan identitas rasial dengan penduduk asli Malaya yang berkulit sawo matang.
“Asumsinya adalah orang Jawa dianggap memiliki kesamaan budaya dan agama dengan orang-orang Melayu sehingga mereka akan lebih mudah berasimilasi dengan kehidupan masyarakat lokal,” tulis Kaur dalam antologi Departing from Java: Javanese Labour, Migration and Diaspora (2018: 108).
Atas desakan para pengusaha Eropa, FMS lantas menjalin kerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda. Mereka merancang undang-undang khusus untuk mengatur kegiatan perekrutan orang Jawa ke dalam perusahaan Eropa di seluruh Malaya. Di lain pihak, Belanda merasa perlu mengikat perusahaan-perusahaan asing terkait kontrak kerja buruh Jawa agar tidak terjadi penyalahgunaan.
“Para pemilik perkebunan sejak awal harus mendapat persetujuan dari otoritas kolonial Belanda, lalu menghubugi layanan perusahaan perekrutan swasta di Singapura untuk mendapatkan pekerja,” terang Kaur.
Dampaknya, buruh Jawa hanya bisa didapatkan melalui agen penyalur buruh swasta yang jumlahnya terbatas. Para pengusaha Eropa menyiasatinya dengan menyewa jasa perekrut profesional untuk mendapatkan buruh Jawa secara efisien. Maka lahirlah sindikat penyedia buruh di Semarang dan Batavia yang bertugas menyeleksi, mengakomodasi, hingga memberangkatkan para buruh atas biaya para pengusaha Malaya.
Menurut Thio Termoshuizen dalam studinya yang terhimpun dalam antologi Dutch Colonialism, Migration and Cultural Heritage (2008: 279), sindikat penyedia buruh pada dasarnya adalah kelanjutan dari sistem perniagaan kuno yang memiliki banyak kekurangan. Pada kurun 1910-an dan awal 1920-an, perekrutan buruh Jawa berubah menjadi kompetisi dagang antar agen penyalur.
Pribumisasi di Negara Koloni
Selama Perang Dunia Pertama, jumlah buruh migran asal Jawa yang berada di Malaya mencapai lebih dari 180 ribu orang. Permukiman kelompok buruh Jawa tersebar di Selangor, Perak, Johor, Kelantan, Trengganu, dan Pahang. Selain perkebunan dan pertambangan, buruh Jawa juga merambah ke sektor usaha lain seiring derasnya arus migrasi mandiri.
Pada awal abad 20, Malaya menjadi episentrum pekerja migran dari berbagai suku bangsa. Menurut sensus yang dilakukan pemerintah Malaya pada 1931 dan 1934, kuantitas penduduk setempat yang bisa dikategorikan sebagai pemilik asli tanah Melayu tereduksi hingga kurang dari 50 persen.
Di tahun yang sama, sebagaimana dipaparkan Amarjit Kaur dalam studinya, pemerintah FMS memasukan orang Jawa ke dalam kategori penduduk asli Malaya. Julukan Malaysia kemudian lahir untuk menyebut penduduk asli, pribumi Borneo, dan perantau Indonesia—termasuk pekerja migran dari Jawa—yang tinggal di Semenanjung Malaya dan bagian utara Kalimantan sejak abad 19.
Ketika Malaysia merdeka pada 1957, hak menjadi Malaysia bagi imigran Jawa tetap dipertahankan. Konstruksi sosial warisan kolonialisme Inggris menetapkan bahwa orang Malaysia asli haruslah memiliki kesamaan identitas dan beragama Islam. Dibandingkan orang-orang India dan Cina yang masih dianggap “orang luar”, imigran Jawa kala itu lebih unggul kedudukannya.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi