tirto.id - Isu energi baru terbarukan (EBT), khususnya surya dan panas bumi luput dari bahasan debat capres jilid II yang digelar di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Minggu malam, 17 Februari. Luputnya isu ini menjadi aneh karena Indonesia termasuk negara yang memiliki potensi energi surya dan geothermal melimpah.
Baik Joko Widodo sebagai capres petahana maupun Prabowo Subianto selaku penantang, tak menyinggung sedikit pun soal pemanfaatan dua sumber energi baru terbarukan yang menjadi keunggulan Indonesia itu.
Ini membuat Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) dan Institute for Essential Services and Reform (IESR) mempertanyakan komitmen kedua capres. Sebab, dua instansi ini jauh-jauh hari telah memberikan masukan pentingnya kandidat memberikan perhatian khusus pada pengembangan EBT.
“Dari isu energi terbarukan, secara umum saya kecewa dengan hasil debat tadi malam,” kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa saat dihubungi reporter Tirto, Senin (18/2/2019).
Fabby menilai, dua pertanyaan yang muncul dalam segmen energi dan pangan soal sawit (CPO) sebagai bahan bakar nabati dan pangan dalam industri 4.0 tak menjawab persoalan mendasar soal EBT.
Dalam pembahasan CPO misalnya, kata Fabby, baik Jokowi maupun Prabowo sama-sama tidak memperkirakan tren global. Menurut dia, keduanya luput melihat perkembangan tren bahan bakar cair akan berangsur-angsur ditinggalkan negara maju.
Selain itu, kata Fabby, energi dalam bentuk listrik juga luput dari pembahasan. Saat segmen energi dan pangan, kedua capres tak menyinggung sumber energi dari panas bumi, hidro, maupun matahari.
Kedua calon, kata Fabby, sama sekali tak menyentuh dampak lingkungan dari penggunaan energi fosil yang masih existing maupun rencana kedua capres dalam memanfaatkan biofuel.
Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Paul Butarbutar. Secara spesifik Paul menilai mekanisme pemilihan topik debat jilid II menjadi penyebab tak terpilihnya EBT dalam pengundian tema yang dilakukan di awal acara.
"Terus terang kami kecewa. Sama sekali [energi surya dan panas bumi] tidak muncul dalam perdebatan,” kata Paul ketika dihubungi reporter Tirto, Senin (18/2/2019).
“Energi dan pangan itu, kan, dua hal berbeda. [Pembahasannya] jangan disatukan,” kata Paul menambahkan.
Paul juga menyorot kesadaran kedua kandidat yang tidak memunculkan bahasan soal energi terbarukan ini dalam debat jilid II.
“Dalam sesi tanya jawab harusnya mereka bisa mengangkat isu itu lagi, walaupun enggak terpilih dalam undian. Tapi itu enggak dimanfaatkan,” kata Paul.
Kendala Pemanfaatan Energi Surya
Sebelum debat capres kedua digelar, IESR telah memberikan catatan agar kedua kandidat berkomitmen terhadap pengembangan EBT. Sebab selama ini, program energi baru terbarukan seringkali dianaktirikan, bahkan “dibunuh” secara perlahan-lahan lewat sejumlah regulasi yang kontraproduktif.
Berdasarkan data IESR, per semester pertama 2018, kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) baru mencapai 90 megawatt-peak (MWp), sedangkan target pemerintah 6,5 GWp pada 2025. Padahal, potensi kapasitas yang dimiliki PLTS adalah 560 GWp.
Namun, berdasarkan data The International Renewable Energy Agency (IRENA), potensi PLTS yang dapat dibangun di Indonesia hingga 2030 hanya 47 GWp (PDF, hlm 6).
Sulitnya memanfaatkan potensi itu diyakini tidak lain disebabkan salah satunya karena Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017 (PDF) yang mengharuskan tarif PLTS 85 persen di bawah biaya produksi PLN senilai 6,4 Kwh.
Menurut Fabby hal itu jelas menghambat lantaran biaya pengembangannya tidak sejalan dengan harga listrik yang diatur pemerintah.
Hal yang sama juga terlihat dari survei IESR yang menunjukkan dari 3 juta masyarakat yang berminat memasang panel surya, 98 persen di antaranya menahan diri lantaran kendala regulasi. Contohnya, penetapan harga listrik surya berbanding PLN hanya 0,6:1 sehingga pengembalian investasi menjadi 12 tahun dari ekspektasi pasar 7 tahun.
Belum lagi, kata Fabby, Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 (PDF), masyarakat yang seharusnya bebas dari biaya listrik karena menggunakan tenaga surya pun tiba-tiba diharuskan membayar tagihan kepada PLN.
“Regulasi listrik surya atap tidak memberikan dorongan bagi masyarakat untuk memasang. Padahal kalau berhasil mereka bisa ngisi 15 GW itu,” kata Fabby saat dihubungi reporter Tirto, pada 12 Februari lalu.
Dalih Tim Jokowi dan Prabowo
Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN), Agus Sari menganggap luputnya bahasan EBT dalam debat capres jilid II merupakan hal yang tidak terelakkan. Sebab, kata dia, topik yang dibahas bergantung pada alur debat.
“Kami enggak ngerti ya [tidak membahas EBT]. Namanya juga debat. Jadi dia dinamis, kan. Artinya tergantung pembicaraan antara dua paslon itu,” kata Agus saat dihubungi reporter Tirto, Senin (18/2/2019).
Isu terkait EBT sebelumnya memang digadang-gadang sebagai senjata paslon nomor urut 01 ini. Pasalnya, jauh sebelum debat berlangsung, tim yang berada di belakangnya selalu menyebutkan berbagai prestasi dan keberhasilan Jokowi di bidang ini.
Dalih senada diungkapkan Juru Debat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Ramson Siagian. Ia menilai hal itu wajar mengingat waktu debat yang dialokasikan KPU terbatas dan tergolong singkat.
“Waktunya enggak cukup [bahas EBT]. Kan, itu jelas. Terlalu banyak, kan, [temanya] ada energi, pangan, sumber daya alam, dan lingkungan. Bayangkan menjelaskan itu dalam 2 menit,” kata Ramson saat dikonfirmasi reporter Tirto.
Meskipun demikian, Ramson mengklaim topik mengenai EBT sebenarnya sudah dibahas dalam paparan tentang biofuel. Hanya saja, kata dia, dalam pemaparan Prabowo soal peluang diversifikasi energi dalam bentuk panas bumi, hidro, hingga surya memang tak muncul.
Ramson mengatakan konsep Prabowo yang ingin mengembangkan EBT melalui biofuel merupakan komitmen yang layak diperhitungkan. Sebab, kata dia, Prabowo memiliki kepedulian untuk menurunkan emisi dan menyelamatkan lingkungan.
“Itu disebutkan, kok, mengembangkan EBT. Di visi beliau ada strategi bioenergi. Biofuel, kan, termasuk EBT. Jadia arahnya memang ke sana,” kata Ramson.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Mufti Sholih