Menuju konten utama

Harmoni Dua Dunia: Merajut Nilai Budaya & Teknologi Era Digital

Kiwari, muncul kekhawatiran bahwa nilai-nilai luhur budaya kita akan tergerus arus deras modernisasi digital, dan mungkin terdefinisikan ulang oleh AI.

Harmoni Dua Dunia: Merajut Nilai Budaya & Teknologi Era Digital
Header perspektif Heru Nugroho. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Di tengah deru revolusi digital yang semakin cepat, masyarakat kita dihadapkan pada sebuah realitas tak terhindarkan: pergeseran tatanan nilai. Gelombang teknologi yang hadir seolah membawa seperangkat nilai baru, yakni kecepatan, efisiensi, individualisme, dan konektivitas tanpa batas.

Di satu sisi, kini, kita bukan lagi hanya berbicara tentang internet atau gawai, tetapi juga tentang kecerdasan buatan (AI) yang mulai merasuk ke setiap sendi kehidupan, menghadirkan potensi transformatif sekaligus tantangan eksistensial bagi nilai-nilai kemanusiaan dan kebudayaan. Di sisi lainnya, kita memiliki warisan tatanan nilai budaya yang telah mengakar kuat selama berabad-abad, seperti gotong royong, kesopanan, kekeluargaan, dan musyawarah.

Sering kali, kedua set nilai di atas terlihat bertentangan, menciptakan gesekan dan dilema dalam kehidupan sehari-hari. Muncul kekhawatiran bahwa nilai-nilai luhur budaya kita akan tergerus oleh arus deras modernisasi digital, bahkan mungkin terdefinisikan ulang oleh algoritma AI. Namun, saya percaya bahwa kunci untuk mengatasinya bukanlah pada pertentangan atau penghilangan salah satu, melainkan pada harmonisasi yang cerdas: menemukan titik temu, melakukan adaptasi yang bijaksana, dan mengintegrasikannya secara bertanggung jawab.

Tantangan dan Gesekan yang Terlihat pada Era AI

Ambil contoh nilai kecepatan yang diusung teknologi. Informasi tersebar dalam hitungan detik, keputusan sering dituntut instan. Kehadiran AI mempercepat ini ke level eksponensial, memungkinkan analisis data dan respons dalam sekejap mata. Ini berhadapan dengan nilai budaya kita yang mengedepankan musyawarah, sebuah proses yang membutuhkan kesabaran, kebersamaan, dan interaksi manusiawi yang mendalam, bukan sekadar komputasi data.

Contoh lainnya, bagaimana platform media sosial dengan nuansa transparansi dan kebebasan berekspresi terkadang berbenturan dengan nilai kesopanan dan privasi yang dijunjung tinggi dalam interaksi budaya kita.

Pada era AI, personalisasi konten yang ekstrem dan potensi manipulasi informasi melalui deepfake atau narasi algoritmik bisa semakin mengikis batasan privasi dan memudarkan kejujuran, menantang nilai-nilai etika dasar kita. Nilai individualisme yang kerap muncul dari penggunaan gawai pribadi juga bisa menantang semangat kolektivisme dan kebersamaan, terutama ketika AI dirancang untuk memenuhi preferensi personal secara eksklusif.

Gesekan-gesekan ini nyata, dan jika tidak dikelola dengan baik, dapat memicu amnesia budaya yang membuat masyarakat kehilangan arah dan identitasnya di tengah lautan informasi global, bahkan berisiko kehilangan kendali atas narasi budaya mereka sendiri yang direkonstruksi oleh mesin.

Jalan Menuju Harmoni: Tiga Pilar Utama

Harmonisasi ini bukanlah pekerjaan mudah, namun sangat mungkin dicapai melalui tiga pilar utama, dengan AI sebagai variabel penting.

1. Pendidikan dan Literasi Kritis Berbasis Nilai di Era AI

Ini adalah fondasi yang semakin krusial. Kita tidak bisa lagi hanya mengajarkan bagaimana cara menggunakan teknologi, tetapi juga mengapa dan bagaimana menggunakannya secara bertanggung jawab, terutama dalam berinteraksi dengan AI.

Literasi digital harus mencakup pemahaman etika AI, bias algoritma, privasi data yang dikumpulkan AI, dan dampak sistem cerdas terhadap nilai-nilai budaya. Kita perlu mengajarkan cara berdialog dengan AI, memverifikasi informasi dari AI, dan memahami batasan-batasannya. Pada saat bersamaan, pendidikan budaya harus lebih relevan, menunjukkan bagaimana nilai-nilai luhur kita dapat menjadi kompas etis dalam mengembangkan dan menggunakan AI.

Anak muda perlu dibekali kemampuan menyaring informasi dari AI, berkomunikasi santun di dunia maya (termasuk saat berinteraksi dengan chatbot atau asisten virtual), dan tetap menghargai privasi diri maupun orang lain, sembari tetap memegang teguh semangat kekeluargaan dan gotong royong sebagai penyeimbang individualisme algoritmik.

2. Adaptasi Cerdas dan Re-interpretasi Nilai Budaya dengan Dukungan AI

Nilai budaya tidak boleh kaku dan anti-perubahan. Justru, kekuatan sebuah budaya terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi. AI bisa menjadi sekutu ampuh dalam proses ini. Nilai gotong royong, misalnya, bisa di-reinterpretasi dalam bentuk kolaborasi digital yang difasilitasi AI untuk proyek sosial atau crowdsourcing ide.

Musyawarah dapat diadaptasi ke dalam forum daring yang terstruktur, di mana AI bisa membantu meringkas poin-poin diskusi atau mengidentifikasi konsensus (tetapi keputusan akhir tetap ada di tangan manusia). Selain itu, kesopanan bisa diwujudkan dalam etiket berkomunikasi di media sosial (netiket), di mana AI dapat membantu mengidentifikasi ujaran kebencian atau disinformasi, memungkinkan intervensi manusia untuk menjaga lingkungan digital yang lebih santun.

AI juga dapat digunakan untuk melestarikan dan merevitalisasi bahasa daerah yang terancam punah melalui aplikasi penerjemah atau pembelajaran bahasa berbasis AI.

3. Integrasi Bertanggung Jawab Melalui Desain AI dan Kebijakan Berbasis Budaya

Para pengembang teknologi, khususnya di bidang AI, memiliki peran vital. Mereka harus merancang algoritma dan sistem AI yang tidak hanya fungsional, tetapi juga berbasis nilai budaya dan etika. Ini berarti menghindari bias dalam data pelatihan AI, memastikan transparansi dalam pengambilan keputusan algoritmik, dan mendesain AI yang augmentatif (memperkuat kemampuan manusia), bukan substitutif (mengganti sepenuhnya peran manusia dalam aspek-aspek budaya yang krusial).

AI untuk seni, misalnya, harus mendukung kreativitas seniman, bukan menggantikan jiwa seni. Di sisi lain, pemerintah perlu merumuskan kebijakan yang melindungi nilai-nilai budaya dan etika di ruang digital yang semakin didominasi AI, tanpa menghambat inovasi. Ini termasuk regulasi tentang privasi data, penggunaan AI dalam pengawasan publik, hingga dukungan untuk pengembangan AI yang "berbudaya" dan mencerminkan keberagaman nilai lokal.

Masa Depan yang Lebih Baik

Masa depan yang kita dambakan adalah masa depan di mana teknologi, termasuk kecerdasan buatan, bukan menjadi penyebab punahnya budaya, melainkan menjadi kekuatan transformatif yang ampuh untuk melestarikan, memperkaya interaksi sosial manusiawi, dan memperkuat identitas bangsa. Harmonisasi ini memungkinkan kita menjadi masyarakat yang maju secara digital, mampu berinteraksi dengan kecerdasan buatan, namun tetap teguh berakar pada nilai-nilai yang membentuk jati diri.

Ini adalah sebuah perjalanan berkelanjutan yang membutuhkan kesadaran kolektif, dialog antar-generasi, dan komitmen dari semua pihak, mulai dari pengembang AI, pembuat kebijakan, hingga setiap individu. Dengan menemukan titik temu, beradaptasi secara cerdas, dan berintegrasi secara bertanggung jawab, kita dapat merajut tatanan nilai budaya dan teknologi (beserta AI-nya) menjadi permadani indah yang membentang menuju masa depan yang harmonis dan beradab.

Penulis adalah Pelaku Budaya & Praktisi Industri Internet

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.