Menuju konten utama

Harga Beras Naik, Pataka: Produksi di Dalam Negeri Tidak Merata

Pusat kajian pertanian menilai harga beras naik karena produksi di dalam negeri secara bulan ke bulan atau tahunan yang tidak merata. 

Harga Beras Naik, Pataka: Produksi di Dalam Negeri Tidak Merata
Pekerja merapikan karung berisi beras di Gudang Perum Bulog Kanwil Jambi, Pasir Putih, Jambi, Kamis (24/2/2022). ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/tom.

tirto.id - Harga beras di pasar belakangan ini mengalami kenaikan. Pusat Kajian Pertanian dan Advokasi (Pataka) menduga fenomena tersebut terjadi karena aspek struktural dan instrumental

Ketua Pataka, Ali Usman menuturkan, dari sisi aspek struktural pertama terkait dengan produksi beras di dalam negeri secara bulan ke bulan atau tahunan yang tidak merata. Akibatnya surplus beras hanya terjadi di awal tahun sedangkan di akhir mengalami defisit.

"Inilah yang menyebab salah satu faktor harga beras itu berfluktuasi karena memang siklus produksinya tidak merata," kata dia dalam webinar 'Harga Beras Naik Apa Solusinya?', Jakarta, Selasa (25/10/2022).

Secara struktural, kenaikan harga beras juga terjadi karena kondisi eskalasi geopolitik antara Rusia dan Ukraina. Konflik kedua negara tersebut secara tidak langsung berdampak besar terhadap harga beras.

Dia menyebut secara hulu impor pupuk masih mengalami kendala akibat perang tersebut. Hal ini berdampak terhadap ketersediaan pupuk di petani. Bahkan sampai saat ini banyak laporan terjadi kelangkaan atau pembatasan pupuk di level petani.

"Ini membuat biaya produksi beras meningkat kemudian produksi berpotensi menurun tahun ini," ujarnya.

Secara struktural pemerintah juga telah melakukan beberapa kebijakan terkait fleksibilitas terhadap harga beras. Secara psikologis kebijakan ini jadi salah satu faktor membuat petani menaikan harga gabah.

"Fleksibilitas harga ini kita tidak tahu kapan dicabut oleh pemerintah," ujarnya.

Lebih lanjut, dia menjelaskan kebijakan fleksibilitas harga dinilai baik. Pertama, dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Kedua, terkait dengan penyerapan di level lembaga stabilisator.

Sementara dari sisi instrumental, kebijakan pemerintah tahun ini menaikan harga BBM subsidi menjadi efek samping. Berdampak pada biaya produksi yang meningkat. Selain itu kebijakan bantuan sosial (bansos) selama ini juga tidak pernah diberikan kepada lembaga stabilisator.

"Artinya lembaga stabilisator yang saat ini sudah banyak tapi tidak diberikan marketnya. Faktanya program bansos itu diberikan melalui mekanisme pasar. Ada potensi pelaku yang main di situ. Itu artinya buat apa pemerintah membuat Bulog tetapi beras tidak diserap," pungkas dia.

Untuk diketahui, harga beras di tingkat pedagang saat ini jauh dari harga fleksibilitas atau Harga Pokok Penjualan (HPP) ditetapkan Badan Pangan Nasional (Bapanas) yakni Rp8.800 per kilogram (kg).

Dikutip dari laman Kemendag.go.id dalam sistem pemantauan pasar dan kebutuhan pokok Kementerian Perdagangan (SP2KP), pada Selasa (25/10/2022) pagi ini, harga beras premium dibanderol Rp12.800 dan medium Rp10.900.

Baca juga artikel terkait HARGA BERAS NAIK atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin