tirto.id - PKI telah lama tumpas. Namun ternyata "faedah" partai itu masih berlanjut meskipun keberadaannya telah resmi dilarang, salah satunya bagi Orde Baru. Rezim pimpinan presiden daripada Soeharto ini menggunakan cap PKI untuk menggebuk siapa saja yang mencoba menghalang-halangi atau melawan kehendaknya. PKI serupa kutukan sehingga kerap dijadikan bahan tuduhan bagi dan oleh siapa saja untuk saling menjatuhkan.
“Barang siapa yang dicap PKI, sama dengan orang yang paling jahat di dunia,” kata Soekardjo Wilardjito dalam Mereka Menodong Bung Karno: Kesaksian Seorang Pengawal Presiden (2008:214).
Salah seorang tokoh yang pernah dituduh PKI adalah Sudharmono ketika ia hendak diangkat menjadi wakil presiden. Ia diserang oleh sejumlah jenderal yang menghendaki Try Sutrisno menjadi pendamping Soeharto.
“Mereka yang menolak Sudharmono [jadi wakil presiden] menuduh bahwa Sudharmono pernah terlibat PKI,” tulis Retnowati Abdulgani Knapp dalam Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia’s Second President (2007:184).
Namun, karena Soeharto tidak percaya dengan isu itu, maka Sudharmono pun tetap diangkat jadi wakil presiden. Atau hal ini bisa jadi hanya strategi Soeharto untuk "membekap" pendampingnya. Bagi Soeharto, setia saja tidak cukup, wakil presiden harus seseorang yang mempunyai kelemahan agar terus bergantung kepadanya atau agar tidak berbuat macam-macam.
Tudingan PKI inilah yang barangkali menjadi kelemahan Sudharmono sehingga ia sangat berhati-hati dalam mendampingi presiden daripada Soeharto.
Orang dengan cap PKI adalah orang-orang “tidak bersih lingkungan” yang hidupnya dijamin akan sulit. Orde Baru menyingkirkan orang-orang seperti ini dari lingkungan pemerintahan. Cap PKI tak selamanya hanya dibebankan kepada mereka yang punya pengalaman atau keluarganya terkait dengan PKI dan sejumlah underbouw-nya.
“Sopir-sopir truk yang tidak mau dipungli di jembatan timbang dituding sebagai PKI. Sejumlah warga masyarakat yang tidak mau digusur dari tempat tinggalnya dicap PKI,” catat ST Kartono dalam Menabur Benih Keteladanan: Kumpulan Esai Seorang Guru (2001:24).
Ketika pemerintah membangun waduk Kedung Ombo dan banyak petani enggan menyerahkan tanahnya dengan harga murah, pemerintah Orde Baru lagi-lagi memakai cara ini.
“Di Kedung Ombo, petani yang membangkang untuk menyerahkan tanahnya, dicap sebagai PKI dengan cara diberi kode ET di KTP mereka, padahal mereka adalah petani yang sejak lama bersih dari identitas seperti itu," tulis Ikrar Nusa Bhakti dalam Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru: Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli (2001: 280).
Setelah waduk itu diresmikan, Presiden Soeharto mengatakan dirinya memahami bahwa warga yang tidak mau menerima pembangunan Waduk Kedung Ombo disusupi oleh komunis.
“Saya tahu daerah itu basis PKI," ujar Soeharto seperti dikutip Eros Djarot dalam Siapa Sebenarnya Soeharto (2006:107).
Tidak hanya kasus Waduk Kedung Ombo, para penentang SD Inpres pun dicap PKI seperti disebut Darmaningtyas dalam Pendidikan yang Memiskinkan (2004:7). Di beberapa daerah, seperti di Madura yang terdapat banyak pesantren dan Nusa Tenggara Timur yang banyak sekolah misionaris, SD Inpres dianggap tidak perlu oleh masyarakat lokal hingga tidak mendapat dukungan sebagaimana yang diinginkan pemerintah Orde Baru.
Menjelang kekuasaan Soeharto berakhir, tepatnya pada 1996-1998, sekelompok anak muda yang tergabung dalam Partai Rakyat Demokratik (PRD) juga tak luput dari cap PKI. PRD yang dulu dipimpin oleh Budiman Sudjatmiko--kini mapan di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)--adalah partai yang paling dimusuhi Orde Baru.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam 1996 Tahun Kekerasan: Potret Pelanggaran HAM di Indonesia (1997:33) menyebut "Para pejabat pemerintah memakai dalih bahwa struktur serta metode gerakan PRD identik dengan PKI".
Kepala Staf Sosial Politik ABRI, Letnan Jenderal Syarwan Hamid, kerap mengatakan bahwa sebagian besar anggota PRD adalah anak-anak eks PKI. Tak lupa Syarwan melengkapi tuduhannya dengan menyebut ayah Budiman adalah bekas anggota PKI.
Seperti disebut Wilson dalam Dunia di Balik Jeruji: Kesaksian Perlawanan (2005:41), orang tua Budiman pernah didatangi aparat keamanan dari Korem Bogor agar tidak menggugat Syarwan Hamid ke pengadilan atas pencemaran nama baik. Belakangan terbukti bahwa tuduhan Syarwan Hamid itu hanya isapan jempol.
Baru-baru ini, setelah demonstrasi menolak Omnibus Law yang diwarnai kericuhan di beberapa kota, di Jakarta beredar spanduk bertuliskan "Anarkis sama dengan PKI". Spanduk ini jelas menyudutkan para demonstran agar dibenci masyarakat yang masih dihantui PKI.
Setelah dihancurkan pasca gempa politik 1965, rupanya hingga kini PKI masih diharapkan "manfaatnya" oleh sejumlah pihak.
Editor: Irfan Teguh