Menuju konten utama

Hak Cuti Haid untuk PNS Diabaikan Pemerintah

Pemerintah belum mengakomodasi cuti haid sebagai salah satu hak PNS. Padahal, seperti perempuan pada umumnya, mereka juga kerap merasakan sakit.

Hak Cuti Haid untuk PNS Diabaikan Pemerintah
Sejumlah peserta mengikuti ujian seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Kanwil Kementerian Agama Provinsi Lampung di Gedung Korpri Provinsi Lampung, Lampung , Selasa (13/11/2018). ANTARA FOTO/Ardiansyah/pd.

tirto.id - Karin, bukan nama sebenarnya, tiba-tiba kram di bagian perut saat tengah mengajar para siswa SMA. Tubuhnya melemas dan tak sanggup berdiri lama.

Namun Karin memaksa tetap mengajar karena tidak mungkin izin pulang. “Belum ada kebijakan dari sekolah,” katanya kepada reporter Tirto, Selasa (5/11/2019).

Karin, seorang guru berstatus PNS di Padang, Sumatera Barat, mengalami hal serupa hampir setiap bulan saat sedang haid.

“Kalau haid harus tetap mengajar, kadang cuma sanggup bicara di depan enggak sampai setengah jam. Habis itu, anak-anak disuruh mengerjakan tugas saja,” jelas Karin.

“Atau kalau benar-benar sakit dari awal masuk langsung kasih tugas. Jadi saya cuma duduk dan menahan sakit di depan kelas.”

Karin bilang “dalam keadaan itu sebenarnya enggak maksimal kerjanya.” Sebab jika itu terjadi “maunya baring saja, terus cari posisi yang bisa bikin nyaman.”

Menurut LSM American College of Obstetricians and Gynecologists, dismenorea atau nyeri yang muncul akibat menstruasi dialami lebih dari separuh perempuan dengan kisaran waktu satu sampai dua hari.

Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi (Kebidanan dan Kandungan) Dinda Derdameisya mengatakan dismenorea dibagi menjadi dua jenis: primer dan sekunder.

“Dismenorea primer adalah dismenorea yang biasanya karena hormonnya, progesteron, belum stabil. Jadi ia merasa nyeri, tapi tak perlu diberikan terapi apa-apa,” jelas Dinda kepada reporter Tirto, Rabu (11/7/2019) malam.

Sementara dismenorea sekunder “berkaitan dengan penyakit lain, misalnya ada miom, kista, endometriosis.”

“Nanti Aku Cek Dulu”

Atas alasan itu, pemerintah semestinya mengakomodasi cuti haid sebagai salah satu hak PNS, bukan memangkas hak cuti lainnya. Hal tersebut dikatakan Komisioner Komnas Perempuan Riri Khairoh kepada reporter Tirto, Senin (4/11/2019) lalu.

“Perempuan seharusnya diberikan fleksibilitas untuk mengambil cuti itu,” tegas Riri.

Riri mengatakan demikian karena cuti haid tidak diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam beleid ini hanya diatur bahwa “PNS berhak memperoleh cuti” (pasal 21).

Bentuk-bentuk cuti diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017. Jenis cuti yang dipaparkan dalam PP tersebut adalah cuti tahunan, cuti besar, cuti sakit, cuti melahirkan, cuti karena alasan penting, cuti bersama, serta cuti di luar tanggungan negara. Ringkasnya: tak ada cuti haid.

Kondisi pekerja/karyawan/buruh swasta lebih baik. Cuti haid diatur dalam Pasal 81 ayat (1) UU Ketenagakerjaan--meski dalam praktiknya mereka kerap kesulitan dapat izin pula.

Untuk memenuhi hak itu, pemerintah bisa memasukkan ke dalam PP atau UU ASN.

Anggota Komisi II DPR Sodik Mudjahid memastikan akan “segera koordinasi” membahas isu ini. Kepada reporter Tirto, ia mengatakan cuti haid bisa diakomodasi “di tingkat UU untuk kemudian diterbitkan PP, atau kepres [Keputusan Presiden], atau Kepmen [Keputusan Menteri].”

Sementara Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Tjahjo Kumolo hanya menjawab ringkas: “Nanti aku cek dulu, aku cek dulu ya,” katanya di Jakarta, Selasa (5/11/2019).

==========

Jika ada pembaca mengalami kesulitan serupa seperti tiga narasumber kami, baik PNS maupun non-PNS, termasuk masalah hak pekerja perempuan lain seperti cuti melahirkan dan ruang laktasi, silakan berbagi cerita ke email: widiaprimastika@tirto.id atau fadiyah@tirto.id.

Baca juga artikel terkait CUTI HAID atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Widia Primastika