tirto.id - Saya termasuk perempuan yang sering menggunakan cuti haid setiap bulan. Saat menstruasi datang, saya lebih sering terkulai lemas di kasur, tak bisa beraktivitas normal karena rasa nyeri di sekujur tubuh, ditambah mual, dan juga pusing. Pernah suatu waktu, saya nekat melakukan aktivitas harian di hari pertama menstruasi, tiba-tiba saja napas terasa sesak, pandangan kabur, dan saya pingsan.
Kemarin, saya mendapat salinan draf revisi UU Ketenagakerjaan. Di sampulnya tertulis judul “Laporan Akhir Kelompok Kerja Analisis dan Evaluasi Hukum Terkait Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan”. Bagian bawah draf, tercantum logo Pengayoman ditambah keterangan “Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham RI Tahun 2018”.
Saya membaca sekilas draf berisi 261 halaman itu, dan terhenti pada halaman 54. Di sana tertulis rekomendasi terhadap Pasal 81 UU No. 13 Tahun 2003, dicabut. Pasal 81 UU Ketenagakerjaan memuat hak bagi pekerja perempuan untuk mengajukan cuti haid pada hari pertama dan kedua menstruasi. Analisis pencabutan pasal tersebut mencantumkan kemajuan teknologi, perkembangan zaman, dan tingginya tingkat nutrisi sebagai faktor yang bisa menggugurkan nyeri haid.
“Timbulnya sakit haid bisa dihindari dengan meminum obat antinyeri khusus untuk masa haid,” demikian tertulis dalam draf tersebut.
Draf tersebut ditandatangani oleh Liestiarini Wulandari sebagai Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional. Meski demikian, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengatakan bahwa revisi UU Ketenagakerjaan masih dalam tahap menyerap aspirasi dan draf tersebut hoaks belaka.
Namun, dari usulan yang tercantum, peluang digagasnya pencabutan cuti haid adalah hal yang mungkin terjadi. Dari sisi pengusaha, cuti haid dianggap mengakibatkan kerugian perusahaan sebanyak 24 hari dalam setahun. Pihak pengusul menganggap kondisi tersebut menghambat karier para pekerja perempuan. Padahal, solusi yang ditawarkan dengan mengonsumsi obat pereda nyeri juga tak sepenuhnya menuntaskan masalah.
Dulu, dokter pernah meresepkan saya obat dengan kandungan parasetamol dan hyoscyamine untuk meredakan nyeri haid. Namun, nyatanya obat ini membikin saya mengalami kantuk sepanjang hari. Awalnya, saya mengonsumsi obat itu cukup 1 tablet tiga kali, tapi dua tahun kemudian, dosisnya baru berefek ketika saya mengonsumsi dua tablet sekali minum. Padahal, rekomendasi obat ini tidak untuk digunakan dalam jangka panjang.
“Penggunaan obat anti-nyeri haid bisa menyebabkan gugup, lemas, masalah kerusakan liver, sampai pada tahap transplantasi hingga kematian,” demikian laman drugs.com membeberkan efek samping dari parasetamol atau asetaminofen sebagai anti-nyeri haid, jika digunakan berkepanjangan.
Sementara itu, penelitian gabungan dari Cochrane Collaboration—jaringan peneliti internasional— menyebut obat antiinflamasi seperti diklofenak, ibuprofen, dan naproxen memiliki efek samping berupa masalah perut, mual, sakit kepala atau kantuk. Dari penelitian yang mereka lakukan, obat ini terbukti bisa meredakan nyeri haid pada 31 perempuan dari 100 responden.
Namun kelompok lain (51 dari 100 perempuan) masih melaporkan nyeri parah setelah beberapa jam berselang, meski sudah mengonsumsi pereda nyeri.
Dari mana Datangnya si Nyeri Haid?
Nyeri haid adalah penghalang terbesar bagi perempuan di bawah 30 tahun untuk beraktivitas. WebMD menyebut lebih dari setengah perempuan memiliki periode menstruasi yang tidak nyaman, dan 10 persen dari mereka sama sekali tidak bisa beraktivitas selama menstruasi. Bagi yang tidak paham bagaimana rasa sakitnya, survei singkat dari London bisa menjadi gambaran.
John Guillebaud, seorang profesor kesehatan reproduksi di Universitas College London pernah melakukan wawancara soal persepsi nyeri haid pada perempuan. Respondennya banyak yang mengibaratkan rasa sakit haid setara dengan serangan jantung.
Apa yang sebenarnya terjadi pada tubuh sehingga periode haid terasa begitu menyiksa?
Satu bulan sebelum menstruasi tiba, otak akan memproduksi hormon yang berfungsi untuk memerintahkan ovarium melepaskan sel telur. Dua minggu setelahnya, tepi rahim akan menebal agar siap menjadi tempat perkembangan embrio. Saat tidak dibuahi, tubuh memproduksi zat kimia yang bernama Prostaglandin. Zat ini berfungsi untuk meluruhkan jaringan pelapis rahim—yang mulanya disiapkan untuk embrio.
Prostaglandin bekerja dengan memaksa otot rahim berkontraksi sehingga menimbulkan rasa sakit. Biasanya, nyeri menstruasi menyebabkan kram di perut bagian bawah, menjalar hingga ke punggung dan paha. Prostaglandin juga bertanggung jawab pada gejala muntah, diare, dan sakit kepala ketika menstruasi. Semakin banyak Prostaglandin diproduksi, derajat nyeri haid juga semakin tinggi.
“Produksi Prostaglandin akan menurun jika pelapis rahim sudah meluruh, dan nyeri akan berkurang seiring bertambahnya hari menstruasi,” demikian WebMD menjelaskan.
Ada beberapa kondisi yang membikin perempuan berpotensi mendapatkan nyeri haid parah. Faktor yang paling menentukan adalah menstruasi dimulai dari usia yang muda (kurang dari 11 tahun). Obesitas, merokok, mengonsumsi alkohol, dan riwayat tidak pernah hamil juga dikaitkan dengan nyeri haid parah.
Namun, ada juga nyeri haid yang menjadi efek dari kelainan kondisi saluran reproduksi, seperti endometriosis, fibroid dan adenomiosis (pertumbuhan non-kanker di rahim), infeksi pada organ reproduksi, kehamilan abnormal, pemasangan IUD, kista ovarium, dan serviks yang sempit. Kondisi nyeri akibat kelainan ini disebut dismenorea sekunder, nyeri haid pada kondisi ini bisa hilang ketika kondisi medis diobati.
Jika rasa nyeri sudah dirasakan sejak pertama kali menstruasi, kondisi itu diklasifikasikan sebagai dismenore primer. Perempuan dengan kondisi ini biasanya akan mengalami nyeri setiap periode menstruasi datang. Tak bijak jika seumur hidup seseorang meminum obat anti-nyeri di saat menstruasi, karena hal itu bisa menimbulkan efek kesehatan.
Editor: Maulida Sri Handayani