Menuju konten utama

Banyak Siswa Perempuan Nyeri Saat Haid, Perlukah Diliburkan?

Nyeri saat menstruasi menjadi penyebab utama tidak masuk sekolah saat haid.

Banyak Siswa Perempuan Nyeri Saat Haid, Perlukah Diliburkan?
Ilustrasi Menstruasi . FOTO/iStockphoto

tirto.id - Bagi beberapa perempuan, kedatangan “tamu” rutin bulanan mungkin menjadi seperti petaka karena munculnya banyak dampak yang tak enak, seperti mood yang berayun, jerawat yang muncul di mana-mana, sakit perut yang tak tertahankan, dan gangguan-gangguan fisik lainnya.

Memang kondisi itu tak dialami oleh semua perempuan, sakit yang dialami pun berbeda antara satu dan lainnya. Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists, dismenore atau nyeri yang muncul akibat menstruasi tersebut muncul pada lebih dari separuh perempuan dengan kisaran waktu 1 sampai 2 hari.

Ada dua jenis dismenore, yakni dismenore primer yang berasal dari periode menstruasi yang biasa disebut “kram menstruasi” dan dismenore sekunder yang disebabkan kelainan sistem reproduksi.

Di kalangan pekerja, buruh perempuan yang merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid. Aturan ini telah diatur dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (PDF).

Dilansir situs resmi National Health Service Inggris Raya, perempuan biasanya mengalami periode menstruasi pertama ketika berusia 12 tahun, ada juga perempuan yang sudah mulai datang bulan di umur 8 tahun.

Menurut akun Instagram resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menstruasi memengaruhi partisipasi dan konsentrasi siswa perempuan di sekolah. Pernyataan itu berdasarkan survei yang dilakukan oleh Burnet Institute yang berjudul “Menstrual Hygiene Management in Indonesia” (PDF) (2015).

Studi itu mereka terhadap 16 sekolah di Papua, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Di setiap provinsi, mereka meneliti 4 sekolah yang ada di kabupaten (2 sekolah) dan kota (2 sekolah). Keempat provinsi tersebut menggambarkan keberagaman sosial-ekonomi, geografi, agama, dan kebudayaan.

Total responden dari survei itu berjumlah 1.159 anak perempuan, dengan rata-rata usia 14,9 tahun untuk responden di perkotaan dan usia 15 tahun untuk responden pedesaan.

Dari jumlah tersebut, 93,2 persen murid perempuan melaporkan bahwa mereka pernah mengalami nyeri saat menstruasi. Gejala yang biasanya muncul saat menstruasi, misalnya merasa lebih sensitif (66%), berjerawat (62%), lemah (61%), mudah lelah (52%).

Perlukah Libur Menstruasi bagi Siswi Sekolah?

Menurut penelitian dari Burnet Institute, kita bisa mengetahui bahwa beberapa siswa perempuan memilih tidak masuk sekolah saat menstruasi. Pada sekolah perkotaan, angkanya mencapai 12,7 persen, sedangkan di kabupaten, angkanya mencapai 19,9 persen.

Rata-rata, para siswi itu tidak masuk sekolah selama dua sampai tiga hari. Alasan mereka tidak masuk sekolah antara lain sakit, merasa tidak enak badan, pusing, takut “tembus”, dan takut akan mengeluarkan bau tidak enak.

Di India, angka ketidakhadiran siswi di sekolah akibat menstruasi juga sangat tinggi, angkanya 40,8 persen. Hasil itu diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Aditi Vashist bersama empat rekannya (PDF).

Dalam penelitian berjudul “School Absenteeism During Menstruation Amongst Adolescent Girls in Delhi, India” tersebut, para siswi melaporkan bahwa mereka bisa tidak masuk selama 1 hingga 7 hari saat menstruasi dengan alasan terbanyak karena nyeri (76,3%).

Pada 2014, Unesco (PDF) pernah merilis laporan berjudul “Puberty Education & Menstrual Hygiene Management” yang di dalamnya memuat soal ketidakhadiran siswi di sekolah akibat menstruasi. Dibeberkan pula masalah haid bagi di Nepal dan Ghana. Melihat angka penelitian tersebut, sakit-penyakit akibat menstruasi bisa hinggap pada perempuan mana saja tanpa pandang usia.

Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan, Anita Dhewy, mengatakan bahwa libur haid bisa saja diterapkan diatur untuk siswi sekolah. Namun menurutnya, kebijakan itu akan efektif jika sekolah juga memahami tentang kesehatan reproduksi.

“Kalau aku ngelihatnya lebih efektif di kebijakan di sekolahnya, ya,” ujar Anita.

Pernyataan itu bukannya tak berdasar, sebab menurut Anita, masih banyak kekosongan dalam pendidikan seksual di sekolah. Padahal isu itu tak hanya penting bagi anak perempuan, tapi juga laki-laki.

Anita pun melihat bahwa guru-guru di sekolah pun penting untuk memahami kesehatan reproduksi agar tak menjadi hal yang tabu untuk dibahas, sebab ada banyak persoalan seksualitas yang penting untuk dipahami, seperti perbedaan kondisi menstruasi yang berbeda-beda pada setiap perempuan.

Bagi Anita, libur bagi perempuan yang mengalami menstruasi penting untuk diterapkan. Namun, ia pesimistis aturan itu akan dipatuhi. Ia berkaca pada penerapan undang-undang ketenagakerjaan yang telah dikeluarkan bertahun-tahun, tetapi kerap dilanggar.

Infografik Menstruasi Anak Sekolah

Infografik Menstruasi Anak Sekolah. tirto.id/Quita

“Aturan memang perlu ada, tetapi juga pemahaman di masyarakat juga perlu dibangun. Jadi, kalau ada masyarakat yang mengajukan cuti haid kayak di lingkungan kerja, ya enggak perlu terus kemudian dipersulit,” tuturnya.

Anita berpendapat praktik libur saat haid itu bisa benar-benar terlaksana jika seluruh masyarakat sudah mengalami perubahan pola pikir. “Ya, ini kan kalau kita tarik lebih dalam ya karena soal pendidikan seksualitas di kita [Indonesia] masih jadi PR besar,” ungkapnya.

Selain masuk ke dalam kurikulum pendidikan, pendidikan seksual pun sudah seharusnya diajarkan kepada anak sedini mungkin, sejak mereka mengenal organ tubuh.

“Kalau memberi tahu ke anak-anak yang masih kecil, ini mata, hidung, penting juga menjelaskan organ seksual, ini penis, ini vagina, dengan bahasa yang bisa mereka tangkap,” kata tandasnya.

Baca juga artikel terkait MENSTRUASI atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani