Menuju konten utama

Keluar Darah Haid Sedikit Apa Puasa Batal & Tidak Boleh Shalat?

Keluar darah haid sedikit apakah membatalkan puasa atau tidak? Keluar darah haid sedikit apakah boleh shalat dan harus mandi wajib?

Keluar Darah Haid Sedikit Apa Puasa Batal & Tidak Boleh Shalat?
Ilustrasi Perempuan Berkerudung. foto/istockphoto

tirto.id - Bagaimana jika sedang berpuasa tiba-tiba keluar darah merah haid walau sedikit? Apakah puasanya batal atau tidak? Bagaimana pula jika keluar darah saat puasa, tapi bukan haid?

Syariat ibadah puasa berlaku untuk semua umat Islam yang sudah balig, baik laki-laki maupun perempuan. Hukumnya pun sama, yakni wajib sebagaimana diperintahkan Allah dalam QS. Al-Baqarah: 183.

Namun, bagi sebagian golongan terdapat kekhususan tersendiri yang disebabkan oleh keadaan tertentu. Salah satu golongan dan keadaan tersebut adalah wanita yang sedang haid jelas dilarang melaksanakan puasa.

Adapun jumlah hari puasa yang ditinggalkan wajib di-qadha atau diganti pada hari lain di luar bulan puasa. Dalam Al Majmu Syarah Al Muhadzdzab, Imam Nawawi menyebutkan, para sahabat membedakan antara puasa dan salat.

Salat dilaksanakan berulang-ulang sehingga sulit menggantinya, berbeda dengan puasa. Perbedaan ini terjadi atas wanita haid, yakni ia harus mengganti puasa dan tidak perlu mengganti salat.

Begitu pula dijelaskan oleh Asy-Syirazi bahwa wanita haid dan nifas tidak diwajibkan puasa karena hal itu tidak sah dari keduanya. Kendati demikian, terkadang muncul pertanyaan bagi para wanita yang mendapati darah haid keluar hanya sedikit. Lantas apakah puasa mereka menjadi batal?

Keluar Darah Haid Sedikit Ketika Puasa

Perlu diketahui terlebih dahulu terkait identitas darah yang keluar. Jika darah yang keluar memang haid, maka puasanya batal. Namun, jika darah yang keluar adalah darah penyakit, maka puasanya tidak batal.

Hal ini menjadi persoalan tersendiri bagi wanita yang sedang berpuasa. Terlebih lagi, pada beberapa kasus terdapat wanita yang haidnya tidak lancar. Para ulama telah menguraikan persoalan seperti ini, tak terkecuali para ulama mazhab Syafi’i.

Melansir dari laman Kemenag, masalah haid yang tidak lancar dapat dikembalikan pada masa haid paling lama dan paling singkat yang setiap mazhab memiliki ketentuan tersendiri. Berdasarkan mazhab Syafi’i, haid paling singkat berlangsung satu malam atau 24 jam, sedangkan haid paling lama 15 hari.

Syekh Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil-Minhaj Jilid 1 memerinci haid paling singkat ke dalam dua kelompok berdasar jumlah darahnya dan jumlah waktunya, yakni paling singkat (sedikit) darahnya dan paling singkat waktunya.

“Sesungguhnya istilah haid paling singkat di sini memiliki dua bentuk. Pertama, keberadaan haid hanya satu hari saja, dimana ketersambungan disyaratkan di dalamnya. Kedua, keberadaan haid bersama hari lain. Di sini harus tidak ada ketersambungan."

Menurut Syekh Ibnu Hajar kasus paling umum terjadi pada kondisi kedua, yakni darah haid keluar tidak lancar dan lebih dari satu hari. Tak heran jika perempuan melihat darah haidnya kadang keluar dan kadang tidak.

“Ketika haid disertai keterputusan darah, maka bila jumlah waktu keluarnya mencapai sehari semalam, maka seluruhnya adalah haid. Pastinya ada penambahan waktu minimal. Jika tidak, maka secara mutlak tidak ada haid.”

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka keadaan haid dengan darah yang keluar hanya sedikit dan singkat waktunya, harus dipastikan apakah darahnya keluar terus menerus selama sehari semalam. Terdapat dua penjelasan berkaitan dengan hal ini.

Pertama, meskipun rentang waktu keluarnya darah mencapai sehari semalam, karena darahnya tidak lancar dan saat diakumulasikan tidak mencapai 24 jam maka itu bukan haid.

Kedua, darah keluar tidak lancar dengan waktu keluarnya lebih dari satu hari serta tidak lebih dari 15 hari, maka harus dihitung akumulasi waktu keluarnya.

Jika hasil akumulasinya mencapai 24 jam, maka itu darah haid. Sebaliknya, jika tidak mencapai 24 jam, berarti itu bukan haid. Saat haid tidak lancar dengan waktu keluarnya lebih dari satu hari lalu hasil akumulasinya mencapai 24 jam atau lebih, maka keadaan itu dianggap haid.

Waktu-waktu ketika tidak keluar darah menurut pandangan mazhab Syafi’i tetap dianggap haid dengan catatan akumulasi jam keluarnya lebih dari 24 jam dan rentang waktu hari keluarnya tidak lebih dari 15 hari.

Pada dasarnya, darah yang keluar dari rahim dengan jumlah sedikit pada saat berpuasa harus diidentifikasi terlebih dahulu apakah itu darah haid atau darah penyakit. Kaum perempuan juga harus memahami berapa lama masa haid yang ia alami biasanya dan kapan waktu terakhir kali haid.

Jika darah keluar dengan selisih waktu dua pekan sejak haid terakhir, maka darah yang keluar sedikit tersebut dapat disinyalir sebagai darah haid. Namun, jika tidak lebih dari dua pekan, maka bisa jadi darah yang hanya sedikit tersebut adalah darah penyakit.

Perlu diperhatikan pula kebiasaan lama haid (durasi hari). Jika biasanya haid berlangsung selama 7 hari dan suatu ketika masih keluar haid pada hari-hari setelah hari ketujuh, maka darah tersebut bukanlah haid.

Melansir dari laman Islamqa, terdapat sebuah pertanyaan berkaitan dengan haid, yakni darah keluar dari rahim setelah 10 hari haid dan ada keluhan sakit dari dalam rahim. Adapun bentuk darahnya seperti benang tipis, pendek, dan terjadi sekali dalam sehari kemudian terputus. Lantas bagaimana hukum puasa perempuan tersebut?

Jawaban atas kasus di atas adalah darah yang keluar bukan haid sehingga tidak berpengaruh terhadap puasa.

Sementara itu Al-Lajnah Ad-Daimah Kerajaan Arab Saudi ditanya, “Terkadang masa haid datang 9 hari terkadang 10 hari. Ketika telah suci dan saya melakukan pekerjaan rumah, datang lagi (haid) dengan cara terputus-putus. Apakah ketika datang lagi darah setelah waktu yang telah ditentukan agama, saya dibolehkan melakukan puasa, shalat dan umrah?"

Kemudian dijawab bahwa masa haid merupakan waktu kebiasaan datangnya haid seorang perempuan. Dengan demikian, ketika darah telah berhenti, perempuan tersebut harus mandi (wajib), shalat, atau berpuasa.

Jika ada darah yang muncul setelah waktu kebiasaan haid perempuan tersebut, karena pekerjaan atau amalan lain, maka darah tersebut bukan termasuk darah (haid). Bahkan itu adalah darah penyakit dan darah kotor. Hal tersebut tidak menghalangi seseorang melakukan shalat, puasa, thawaf atau amalan kebaikan lainnya.

Baca juga artikel terkait EDUKASI DAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Nurul Azizah

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Nurul Azizah
Penulis: Nurul Azizah
Editor: Fitra Firdaus