Menuju konten utama

Tak Ada Cuti Haid bagi Pegawai Negeri Sipil

Tidak ada regulasi yang mengatur cuti haid untuk pegawai negeri sipil.

Tak Ada Cuti Haid bagi Pegawai Negeri Sipil
ASN di lingkungan Pemprov Papua Barat saat mengisi absensi usai mengikuti apel gabungan belum lama ini. Antaranews/Toyiban

tirto.id - Wajah Rani (30), bukan nama sebenarnya, lebih pucat ketimbang hari-hari biasa. Tubuhnya lemas, mood-nya memburuk. Dia tengah menstruasi.

Ia mengatakan badannya terasa “hancur” setiap kali siklus bulanan itu datang.

“Kalau aku, badan pegal, sakit-sakit. Terus perut kram, dan berasa enggak fit,” kata Rani kepada reporter Tirto, Senin (28/10/2019).

Biasanya puncak rasa sakit terjadi pada hari kedua dan ketiga menstruasi. Rasa sakitnya kadang dapat ditahan, kadang sangat menyakitkan sampai-sampai ia tak kuat bekerja.

Rani tahu betul tubuhnya hanya perlu istirahat di rumah saban siklus ini terjadi. Sayangnya dia tidak bisa mengambil cuti haid di tempat kerjanya itu, sebuah lembaga pemerintah.

“Jadi ya aku paksakan untuk bekerja,” katanya. Namun pada April atau Mei, selama dua hari, dia memilih di rumah saja karena betul-betul tidak kuat. Apalagi rumahnya di Depok. Untuk sampai ke kantornya di kawasan Jakarta Selatan, dia harus macet-macetan selama kurang lebih satu jam.

Rani lalu lapor ke atasannya di kantor. Tapi dia direspons negatif. Kalau sakit haid ke rumah sakit, jadi dihitungnya cuti sakit, kata atasannya itu. Bagi Rani mekanisme tersebut tidak masuk akal karena “sebenarnya itu adalah rutinitas bulanan yang pasti hadir, dan pasti sakit, lalu nanti hilang sendiri.”

“Itu yang tak bisa dipahami dari kantor ini,” ujar Rani. Akhirnya cuti tahunan Rani dipotong, padahal itu bisa dipakai untuk hal lain seperti memperpanjang libur lebaran dan sebagainya.

“Jadi ya sudah, setiap haid, aku pasti menahan itu. Tetap di kantor, ya sakit di kantor. Kalau siang enggak tahan, ya sudah tidur di perpustakaan. Jadi sama saja enggak produktif.”

Keluhan serupa diutarakan Irma, juga bukan nama sebenarnya. “Biasanya kram perut, mual, pusing atau anemia. Kalau lagi parah, diare dan muntah. Biasanya hari pertama,” katanya.

Ia juga tidak bisa mengambil cuti haid. Tapi kantornya menyediakan beberapa opsi: mengambil cuti sakit dilengkapi surat dokter--tidak mengurangi cuti tahunan dan gaji bersih; mengambil cuti setengah hari dengan mengurangi cuti tahunan tetapi tidak mengurangi gaji bersih; tidak masuk dan mengambil cuti tahunan; terakhir, bolos dan mengurangi gaji bersih sebesar 5 persen.

“Untuk opsi bolos, akan dicatat sebagai pelanggaran disiplin. Jamnya diakumulasi dan pada batas tertentu dapat dikenakan hukuman disiplin,” jelasnya.

Irma biasanya mengambil opsi pertama--datang ke rumah sakit dan minta surat dokter. Namun, diagnosis dokter biasanya bukan haid, melainkan anemia, sakit mag, atau demam.

Seperti Rani, Irma juga berharap “ada cuti haid” di tepat kerjanya.

Harapan serupa diutarakan Uli, PNS di lembaga negara yang gedungnya berdiri di Jalan Medan Merdeka.

Uli mengatakan cuti haid sangat penting “karena perempuan saat haid apalagi hari pertama dan kedua butuh penyegaran serta istirahat cukup agar dapat bekerja secara efektif dan optimal. Dan menghindari terjadi anemia juga.”

Tak Ada Peraturannya

Rani, Irma, dan Uli terpaksa bekerja karena cuti haid memang tidak diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam beleid ini hanya diatur bahwa “PNS berhak memperoleh cuti” (pasal 21).

Bentuk-bentuk cuti diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017. Jenis cuti yang dipaparkan dalam PP tersebut adalah cuti tahunan, cuti besar, cuti sakit, cuti melahirkan, cuti karena alasan penting, cuti bersama, serta cuti di luar tanggungan negara. Ringkasnya: tak ada cuti haid.

Komisioner Komnas Perempuan Riri Khariroh mengatakan semestinya pemerintah dan DPR mengakomodasi cuti haid sebagai salah satu hak PNS. Ini bisa dimasukkan ke PP, atau langsung lewat UU ASN.

Ini penting karena cuti haid merupakan bentuk “perlindungan negara terhadap hak-hak reproduksi perempuan.”

“Jadi seharusnya negara melindungi hak tersebut, bukannya malah membuat regulasi yang diskriminatif terhadap hak reproduksi perempuan,” katanya kepada reporter Tirto.

Riri menyebut kata “diskriminasi” karena buruh perempuan bisa mengambil cuti haid. Ini diatur dalam Pasal 81 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan--meski dalam praktiknya buruh perempuan pun masih sulit dapat cuti haid.

Aturan serupa semestinya diadopsi untuk PNS karena “tak boleh ada pembedaan antara perempuan yang bekerja di sektor swasta dan pemerintahan.”

Kalau memasukkan cuti haid di dua peraturan itu terlalu lama untuk direalisasikan, kata Riri, masing-masing kantor pemerintahan bisa membuat peraturan cuti lebih fleksibel: bagi perempuan yang cuti haid tidak perlu melampirkan surat dokter.

Akan Dikoordinasikan

Kepala Biro HKIP Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Andi Rahadian tidak menanggapi pertanyaan reporter Tirto, Senin (4/11/2019), sampai berita ini naik.

Namun anggota Komisi II DPR Sodik Mudjahid memastikan akan “segera koordinasi” membahas isu ini. Kepada reporter Tirto, ia mengatakan cuti haid bisa diakomodasi “di tingkat UU untuk kemudian diterbitkan PP, atau kepres [Keputusan Presiden], atau Kepmen [Keputusan Menteri].”

Salah satu mitra kerja Komisi II adalah Kementerian PAN-RB.

“Akan ada pertemuan [dengan pihak pemerintah] untuk membahas dan mempertanyakan hal tersebut,” pungkasnya.

==========

Jika ada pembaca mengalami kesulitan serupa seperti tiga narasumber kami, baik PNS maupun non-PNS, termasuk masalah hak pekerja lain seperti cuti melahirkan dan ruang laktasi, silakan berbagi cerita ke email: widiaprimastika@tirto.id atau fadiyah@tirto.id.

Baca juga artikel terkait CUTI HAID atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Rio Apinino