tirto.id -
"Apapun keputusan MK pasti akan kami hormati dan kami laksanakan," kata pria yang akrab disapa Bamsoet ini, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (29/6/2018).
Bamsoet menilai keputusan MK merupakan bagian dari cara berdemokrasi di Indonesia. Bahwa, UU yang dibahas oleh DPR dan Pemerintah masih membuka ruang koreksi dari rakyat melalui MK bilamana dianggap belum sepenuhnya menampung aspirasi mereka.
"Sehingga menurut saya hasil keputusan MK yang terbaik bagi rakyat," kata Bamsoet.
Akan tetapi, Bamsoet mengakui DPR belum menemukan cara alternatif untuk menyiasati pemanggilan paksa terhadap pihak-pihak yang berkepentingan dalam proses pengawasan setelah Pasal 73 terkait pemanggilan paksa dibatalkan MK.
"Harus ada cara-cara yang lebih elegan agar keinginan rakyat untuk minta penjelasan kepada pemerintah melalui DPR bisa dilaksanakan," kata Bamsoet.
Salah satu cara yang kemungkinan akan ditempuh DPR untuk melakukan pemanggilan paksa terhadap pejabat pemerintah, kata Bamsoet, adalah dengan meminta persetujuan presiden dan wakil presiden.
Kemarin, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi tiga pasal kontroversial di Undang-undang Nomor 2 Tahun 2018 atau UU MD3. Uji materi ini diajukan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), Husdi Herman dan Yudhistira Rifky Darmawan.
Putusan MK itu terkait dengan uji materi Pasal 73 ayat 3, 4, 5 dan 6, Pasal 122 huruf l, dan Pasal 245 ayat 1 dalam UU MD3.
Pasal 73 UU MD3 mengatur kewenangan DPR untuk melakukan pemanggilan paksa dengan bantuan kepolisian. Adapun Pasal 122 huruf l memberi kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum pada pihak yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota dewan.
Sedangkan pasal 245 ayat 1 mengatur pemanggilan anggota DPR terkait kasus pidana yang harus mendapat izin presiden setelah ada rekomendasi dari MKD.
Rincian amar putusan sidang perkara yang dipimpin oleg Hakim Konstitusi Anwar Usman itu bisa disimpulkan dalam tiga poin berikut ini.
Pertama, MK memutuskan pasal 73 ayat ayat 3, 4, 5 dan 6 UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Kedua, MK memutuskan pasal 122 huruf l UU MD3 juga bertentangan dengan UUD 1945 dan karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Ketiga, untuk Pasal 245 ayat 1, putusan MK hanya dibatalkan sebagian. Putusan MK memberikan catatan terhadap dua penggal frasa pada ketentuan Pasal 245 ayat 1.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Maya Saputri