tirto.id - “[Data] kami sudah 1.000 sekian [hewan mati akibat PMK], kenapa pemerintah tidak seribu? Kan konyol.” Begitulah ungkapan salah seorang peternak, Asnawi merespons angka kematian hewan ternak akibat penyakit mulut dan kaki (PMK) di lapangan lebih besar ketimbang data pemerintah.
Asnawi yang juga menjabat Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Jaringan Pemotong dan Pedagang Daging Indonesia (JAPPDI) itu menilai, seharusnya pemerintah sudah menetapkan kejadian luar biasa (KLB) atau status tanggap darurat nasional terhadap wabah PMK. Namun hingga kini, pemerintah belum menetapkannya.
Dia juga menjelaskan alasan mengapa kasus PMK bisa meroket, karena penularannya sangat cepat dan bahkan bisa dikatakan kasusnya belum terkendali di Indonesia. Sayangnya, pemerintah terkesan lamban.
“Seharusnya sudah harus dilakukan, istilahnya KLB atau tanggap darurat. Begitu cepat penularan itu, bahkan lebih hebat lagi daripada COVID-19 karena airbone,” ucap Asnawi ketika dihubungi reporter Tirto pada Rabu sore (15/6/2022).
Meski demikian, Asnawi mengaku belum mengetahui pasti data peternak yang merugi akibat PKM ini. Namun yang jelas, kata dia, kerugiannya bisa sangat tinggi. Ia sebut, peternak yang banyak mengalami hewan ternaknya mati ada di Provinsi Jawa Timur dan terbanyak adalah sapi perah.
“Saya enggak tahu persis [jumlah kerugiannya]. Sekarang dijumlahkan saja jumlah sekarang berapa yang mati, nah kali 20 juta [per ekor],” ujar dia.
Menurut Asnawi, saat ini para peternak berharap agar pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian (Kementan) dapat serius menangani wabah PMK ini, terutama dari sisi pengobatan seperti adanya vaksin PMK.
“Berarti di sini pemerintah kurang tanggap, kurang cepat dari sisi pelayanan ya,” tutur dia.
Kasus PMK Capai 170 Ribu & Tersebar di 18 Provinsi
Kasus PMK saat ini terus membubung di Indonesia setiap harinya. Berdasarkan laman siagapmk.id, hingga Rabu (15/6/2022) malam pukul 19.17 WIB, tercatat ada 170.018 kasus PMK yang tersebar di 18 provinsi dan 190 kabupaten atau kota di tanah air.
Sementara itu, hewan ternak sembuh tercatat 46.549 ekor, dipotong bersyarat 1.144 ekor, mati akibat PMK ada 801 ekor, belum sembuh 121.524 ekor, serta yang telah divaksinasi PMK baru 33 ekor. Adapun laporan provinsi dengan kasus penambahan PMK tertinggi ada di Jatim, yaitu 68.155 ekor, diikuti Nusa Tenggara Barat (NTB) 25.625 ekor, Aceh 22.514 ekor, Jawa Tengah 19.792 ekor, dan Jawa Barat 13.492 ekor.
Untuk kabupaten atau kota, paling banyak ditemukan di Kabupaten Lombok Timur di NTB yaitu 8.698 kasus, diikuti Kabupaten Probolinggo di Jatim (8.692 kasus), Kabupaten Aceh Tamiang (8.636 kasus), Kabupaten Lombok Tengah di NTB (8.011 kasus), dan Kabupaten Lombok Barat (6.601 kasus).
Sementara kasus wabah PMK pada hewan ternak pertama kali ditemukan di Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Kala itu ada 402 ekor sapi terindikasi terjangkit PMK di lima kecamatan dan 22 desa pada 28 April 2022.
Kepala Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) Surabaya, Edy Budi Susila menuturkan, Indonesia sejatinya dinyatakan bebas PMK sejak 1986 dan vaksinasi PMK terakhir dilakukan pada 1983. Seusai vaksinasi terakhir itu, ternyata ada 1 kasus yang terjadi pada tiga tahun kemudian, tepatnya pada 1986 di Jawa Tengah, sehingga Indonesia melakukan vaksinasi massal PMK lagi dan monitoring terhadap kasus PMK pada tahun tersebut.
Dia menambahkan, pada 1990, Office des Internationale Epizootis (OIA) atau Badan Kesehatan Hewan Dunia di bawah Food and Agriculture Organization (FAO) atau Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia memberikan resolusi kepada Indonesia bahwa negeri ini benar-benar dinyatakan bebas PMK setelah empat tahun evaluasi di lapangan.
“Jadi, mulai tahun 1986, baru muncul di Mei 2022,” jelas Edy sebagaimana ditayangkan dalam akun YouTube TV Tani Indonesia pada Senin (9/5/2022).
Ombudsman Nilai Pemerintah Lamban
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menilai pemerintah lamban dalam pengendalian dan penanggulangan wabah PMK pada hewan ternak. ORI juga mendorong agar pemerintah segera mempercepat proses vaksinasi ternak agar wabah PMK tidak semakin menyebar dan menambah kerugian peternak.
Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika mengatakan, berdasarkan alur yang telah ditetapkan sebagaimana mengacu pada UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 41 Tahun 2014, serta Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan, terdapat dugaan kelalaian dan pengabaian kewajiban hukum oleh pejabat otoritas veteriner terkait, kepala daerah terkait, serta mentan dalam pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan.
“Sehingga berdampak pada meledak dan meluasnya penyebaran PMK. PMK menyebabkan kematian ternak dan penurunan produktifitas ternak yang berdampak terhadap kerugian ekonomi yang menimpa peternak,” ujar dia dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman RI, Rabu (15/6/2022).
Yeka menegaskan, pemerintah mempunyai kewajiban hukum dalam melindungi peternak. Menurut dia, lambannya pemerintah dalam penanggulangan dan pengendalian PMK sama artinya dengan pengabaian kewajiban hukum dalam melindungi peternak.
Dengan ratusan ribu kasus PMK yang telah menyebar ke belasan provinsi di Indonesia, kata dia, pemerintah melalui Kementan sampai saat ini belum juga menetapkan status tanggap darurat nasional terhadap wabah yang menyerang hewan ternak ini.
Terkait masalah ini, redaksi Tirto sudah menghubungi Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, Nasrullah serta Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan, Kuntoro untuk meminta tanggapannya. Namun, hingga artikel ini dirilis, kedua perwakilan pemerintah tersebut belum merespons.
Namun, Kementan sebelumnya sempat membeberkan beberapa strategi menuntaskan wabah PMK ini. Beberapa langkah tersebut di antaranya agenda langkah awal (SOS), temporer hingga langkah permanen.
Beberapa kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh Kementan untuk mengendalikan penyebaran PMK antara lain pembentukan gugus tugas penanganan PMK. Selain itu, penataan lalu lintas hewan di daerah wabah penyakit PMK, melibatkan pemerintah daerah TNI/Polri, Kejati, Kejari, serta jajarannya dalam penanganan PMK, membuat prosedur pelaksanaan kurban dan pemotongan hewan dalam situasi wabah PMK hingga meningkatkan kewaspadaan para petugas karantina terhadap penyebaran PMK.
“Kementan juga secara rutin mengirimkan logistik kesehatan berupa vitamin, antibiotik, antipiretik, desinfektan dan APD ke beberapa daerah yang terjangkit PMK, serta mendirikan posko gugus tugas dan crisis center nasional hingga provinsi dan kabupaten/kota,” kata Kuntoro dalam keterangan resmi, Senin (13/6/2022).
Sementara itu, langkah konkret juga sedang dan terus dilakukan oleh seluruh jajaran Kementan bekerja sama dengan berbagai pihak, seperti mengatur pembatasan lalu lintas dan pasar ternak yang pada pelaksanaannya berkoordinasi dengan pemerintah daerah.
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Abdul Aziz