tirto.id - Greenpeace Indonesia menyoroti pidato kenegaraan Presiden Prabowo Subianto yang dinilai absen memberi perhatian terhadap krisis iklim. Pidato presiden itu disampaikan dalam rangka Penyampaian Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2026 dan Nota Keuangan, Jumat (15/8/2025).
Berdasarkan catatan Greenpeace, 5 dari 10 orang Indonesia terdampak perubahan iklim secara signifikan dalam kehidupan mereka. Jumlah itu dinilai melampaui persentase responden yang mengalami dampak serupa di negara-negara di belahan bumi utara.
Sayangnya, kelompok paling terdampak krisis iklim ini tidak masuk dalam radar pidato kenegaraan Prabowo. Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Sekar Banjaran Aji, mengatakan masyarakat adat dan komunitas lokal yang menjadi garda terdepan dalam upaya penanggulangan krisis iklim tidak diidentifikasi sebagai komponen penting dalam penyelenggaraan negara.
“Padahal selama ini, masyarakat adat dan komunitas lokal dalam praktik kehidupan sudah menjaga hutan, tanah dan air Indonesia, hal tersebut adalah praktik konkret solusi terhadap krisis iklim yang seharusnya diadopsi oleh negara sebagai bentuk keseriusan pemerintah. Jangankan dilibatkan, diakui keberadaannya pun tidak," terang Sekar dalam siaran pers yang dinukil Tirto, Sabtu (16/8/2025).
Pemerintah disebut telah melewatkan peluang besar untuk membangun ekonomi yang lebih adil dan ramah lingkungan.
Sekar menyampaikan, ketimbang terus membebani kelas menengah dengan pajak tambahan, instrumen fiskal seperti pajak progresif bagi industri perusak lingkungan seharusnya bisa menjadi sumber pendanaan penting. Hal itu misalnya bisa dilakukan lewat skema pajak karbon dan pajak laba ekstra (windfall tax), serta pajak terhadap kelompok super kaya di Indonesia.

Senada dengan Greenpeace, Satya Bumi juga menilai bahwa pidato kenegaraan Prabowo tak memprioritaskan lingkungan. Dalam pidato sepanjang 3.944 kata, Prabowo hanya menyebut kata "lingkungan" sebanyak dua kali.
Alih-alih mengenai penyelamatan lingkungan dan ekosistem yang telah banyak hancur akibat praktik industri ekstraktif tak bertanggungjawab, Satya Bumi menyatakan, penyebutan kata lingkungan itu disampaikan dalam konteks perekonomian dan pendidikan.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Intan Umbari Prihatin
Masuk tirto.id


































