tirto.id - Evakuasi korban jatuhnya Pesawat Sriwijaya Air SJ-182 di perairan Kepulauan Seribu terus dilakukan. Seiring berjalannya proses evakuasi, hari ini (12/1/2021) Tim Disaster Victim Identification (DVI) Polri telah mengumpulkan 58 sampel DNA keluarga korban untuk mendukung proses identifikasi.
"Sampai jam 9 pagi, tim DVI telah terima 58 sampel DNA dari keluarga korban, 56 kantong jenazah dan 8 kantong properti," ujar Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono di RS Kramat Jati.
Proses identifikasi korban berupa pencocokan data antemortem dan postmortem. Data antemortem merupakan data medis sebelum korban meninggal seperti warna kulit, warna dan jenis rambut, golongan darah, maupun tanda spesifik.
Sementara postmortem berupa data-data fisik melalui identifikasi personal usai korban tewas, antara lain sidik jari, golongan darah, ciri spesifik, konstruksi gigi geligi, dan lainnya.
Kecelakaan Pesawat Sriwijaya Air ini tentu tidak hanya meninggalkan luka bagi para keluarga korban, namun juga masyarakat Indonesia. Ada berbagai hal yang menyita perhatian dari kasus ini, salah satunya apa yang terjadi pada korban ketika pesawat jatuh?
Kehilangan kesadaran karena adanya G-force
Dalam kasus pesawat jatuh atau kehilangan daya angkut (stall) ada efek khusus yang bisa jadi dialami oleh penumpang. Hal ini berkaitan dengan akselerasi atau percepatan gaya gravitasi yang kemudian dikenal dengan istilah G-force.
Menurut Scientific American, normalnya akselerasi yang bisa diterima oleh manusia tidak lebih dari 9 G. Saat mengalami akselerasi 9 G, tubuh manusia akan terasa sembilan kali lebih berat dari biasanya. Sebagai bayangan, 1 G adalah akselerasi yang dapat timbul ketika manusia berdiri atau duduk, dan 9 G adalah sembilan kali lipatnya.
Ada efek tertentu apabila manusia mengalami akselerasi lebih dari yang bisa diterima. Pertama yang akan terjadi adalah darah akan mengalir deras ke kaki dan jantung tidak dapat memompa cukup kuat. Kemudian karena jantung tidak dapat mengaliri darah ke otak, oksigen di dalam otak menipis, mengakibatkan kemampuan pengelihatan menyempit dan pandangan menjadi hitam (blackout). Besar kemungkinan manusia akan pingsan pada situasi ini.
Durasi jatuh juga ikut berpengaruh dalam hal ini. Pada akselerasi gravitasi sebesar 5 G, manusia dapat bertahan tidak lebih dari dua menit, sementara untuk 9 G, manusia hanya bisa bertahan selama beberapa detik.
Kemungkinan Selamat
Sementara itu, dilansir Channel4 pada saat pesawat jatuh, impact force atau gaya tumbukan di depan pesawat memuncak pada 12 G atau 12 kali gaya gravitasi. Gaya tersebut akan berbeda pada tiap-tiap bagian pesawat tergantung dari posisi pesawat saat jatuh.
Impact force yang terjadi di bagian depan pesawat mencapai 12 G dan 8 G di bagian tengah. Sebaliknya, impact force pesawat bagian belakang lebih kecil daripada yang lain, yakni 6 G.
Secara sederhana, G-force itu seperti apa yang seseorang rasakan saat mobil belok tajam dan badan kita terlempar ke samping. Sedangkan impact force adalah apa yang kita rasakan saat mobil menabrak tembok. G force lebih berhubungan ke gaya sentrifugal.
Kendati impact force yang dialami di beberapa bagian pesawat berbeda, para ahli tidak berani mengklaim seberapa besar kemungkinan manusia selamat dari pesawat jatuh. Karena hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor. Dalam simulasi yang dipaparkan oleh Channel4 misalnya, dari simulasi tersebut para ilmuwan menyimpulkan adanya kemungkinan-kemungkinan berikut:
- Penumpang di baris terdepan dari posisi pesawat jatuh, hampir pasti tidak akan selamat dari kecelakaan.
- Penumpang di baris terdepan dari posisi pesawat jatuh akan selamat dengan cedera
- Penumpang di baris paling belakang dari posisi pesawat jatuh akan selamat dan sebagian tidak terluka.
- Penumpang yang tidak mengenakan sabuk pengaman akan terjebak ke bawah kursi depan dan berpotensi mengalami cedera serius
- Ada kemungkinan bagasi kepala tetap utuh, namun puing-puing kabin berpotensi melukai penumpang.
Di sisi lain, sebuah laporan forensik yang dipublikasikan pada 2013 menyebutkan dalam kecelakaan pesawat Aeroparkt 22-L di danau Dworackie, Olecko, Polandia, sebagian besar penumpang tidak sadarkan diri akibat cedera multiorgan dan trauma di kepala. Sehingga kematian akibat tenggelam menjadi penyebab langsung kematian dalam kasus ini.
Sehingga setiap kemungkinan kasus tidak bisa disamaratakan dengan seluruh kecelakaan pesawat. Faktor-faktor yang lain seperti ukuran pesawat, kecepatan saat pesawat jatuh, apakah pesawat jatuh di darat atau laut dan, pada tingkat yang lebih rendah, posisi seseorang di dalam pesawat, ikut berpengaruh terhadap keselamatan korban.
Meski kecelakaan pesawat sering kali terdengar mengerikan, transportasi udara ini secara statistik dinilai lebih aman.
"Statistik internasional menunjukkan bahwa secara umum, jika Anda jatuh saat lepas landas atau mendarat, peluang Anda untuk bertahan hidup lebih baik dari 50 persen," kata Profesor Klinis Universitas Sydney, Johan Duflou, seperti yang dikutip dari Huffpost.
Lebih lanjut, menurut Deflou, perjalanan menggunakan pesawat relatif lebih aman daripada menggunakan sepeda, kendaraan bermotor, dan kereta api. "Pesawat adalah hal teraman untuk dilalui” ujarnya.
--------------------------------------------------------------
Artikel ini telah diperbaharui pada Rabu (20/1/2021) pukul 18.12 WIB dalam keterangan yang berhubungan dengan G-force dan impact force.
Penulis: Yonada Nancy
Editor: Nur Hidayah Perwitasari