Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dinilai belum menjadi pilihan utama dalam pengembangan kapasitas pembangkit listrik Energi Bari Terbarukan (EBT) hingga tahun 2030. Hal ini menyusul berbagai tantangan industri geothermal.
Peneliti INDEF, Mirah Midadan mengatakan, terdapat sejumlah tantangan dalam pengembangan PLTP dibandingkan dengan pembangkit EBT lainnya. Salah satunya memiliki tingkat risiko yang tinggi pada proses eksplorasi serta biaya investasi yang sangat besar.
“Biaya konstruksinya tidak murah. Dan hal-hal seperti ini melekat pada pembangunan proyek PLTP,” ujarnya dalam sebuah diskusi publik bertajuk ‘Quo Vadis Panas Bumi Indonesia’ dikutip Selasa (11/4/2023).
Berdasarkan skenario optimasi geothermal dan EBT merujuk Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2015-2050, diproyeksikan total kapasitas pembangkit listrik pada 2030 dari sektor EBT paling besar berasal dari PLTA dan PLTS, masing-masing sebesar 25 GW dan 14 GW.
“Untuk PLTP sendiri hanya menyumbangkan sekitar 9,3 GW," imbuhnya.
Adapun untuk pembangkit listrik fosil masih menyumbangkan 63 persen dari total bauran energi pada 2030 dengan porsi 46,4 GW berasal dari batu bara, 38,4 GW dari minyak bumi dan 35 GW dari gas bumi. Sedangkan target kapasitas terpasang untuk seluruh jenis pembangkit listrik pada 2030 mencapai 190,3 GW.
Masih dalam skenario yang sama, lanjut Mirah, rata-rata total investasi pembangkit listrik panas bumi dan EBT lainnya sebesar 11,19 miliar dolar AS atau setara Rp173,4 triliun (asumsi kurs Rp15.500 per dolar AS) per tahunnya berdasarkan kondisi eksisting hari ini.
“Secara biaya akumulasi, pengembangan pembangkit geothermal juga masih lebih mahal dibandingkan dengan EBT lainnya, seperti tenaga biomassa, surya, dan air,” jelasnya.
Mirah turut menyoroti tantangan industri geothermal pada sisi sosial, misalnya gesekan antara pelaku usaha dengan masyarakat di lokasi pengembangan PLTP.
“Untuk itu kami juga merekomendasikan perlu adanya komunikasi dan pendekatan ke masyarakat lokal dengan strategi khusus," pungkas dia.