Menuju konten utama

Gencatan Senjata Israel-Palestina: Harapan Baru atau Retorika?

Meski telah disepakati, sejumlah aspek penting dalam penjanjian gencatan senjata masih menyisakan ketidakjelasan.

Gencatan Senjata Israel-Palestina: Harapan Baru atau Retorika?
Para pendukung Palestina melambaikan bendera Palestina raksasa selama unjuk rasa pro-Palestina yang menandai Hari Hak Asasi Manusia Sedunia di luar Masjid Hagia Sophia, di Istanbul, Turki, Minggu, (10/12/2023). (AP Photo/Emrah Gurel).

tirto.id - Pemerintah Israel secara resmi meratifikasi kesepakatan gencatan senjata dengan kelompok militan Hamas pada Jumat (10/10/2025). Berdasarkan kesepakatan tersebut, penghentian tembakan akan dimulai dalam waktu 24 jam sejak ratifikasi. Sementara itu, proses pembebasan sandera asal Israel dijadwalkan berlangsung dalam 72 jam berikutnya.

"Pemerintah baru saja menyetujui kerangka kerja pembebasan semua sandera, baik yang hidup maupun yang meninggal," tulis Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, melalui akun X resminya dan dilansir Reuters.

Kabinet Israel pun memberikan persetujuan terhadap kesepakatan ini sekitar satu hari setelah para mediator mengumumkannya secara publik. Kesepakatan mencakup beberapa poin penting, yakni pembebasan sandera oleh Hamas dengan imbalan pembebasan tahanan Palestina, serta penarikan pasukan Israel dari Gaza.

Seluruh inisiatif ini berada di bawah kerangka rencana perdamaian yang diusung oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

Presiden AS Donald Trump

Presiden AS Donald Trump memberikan pidato pada pengarahan pemulihan pasca Badai Helene di hanggar Bandara Regional Asheville di Fletcher, North Carolina, pada 24 Januari 2025. Trump mengatakan ia mungkin akan 'menyingkirkan FEMA,' jika dianggap perlu. Badan Penanggulangan Bencana Federal Badan Penanggulangan Bencana (FEMA) bertugas mengoordinasikan respons terhadap bencana. (Foto oleh Mandel NGAN / AFP)

Menurut juru bicara pemerintah Israel, gencatan senjata akan mulai diberlakukan dalam waktu 24 jam setelah keputusan kabinet. Setelah itu, proses pembebasan sandera akan dilakukan secara bertahap selama tiga hari. Bantuan kemanusiaan pun akan segera mulai mengalir ke wilayah Gaza.

Truk-truk yang membawa makanan, obat-obatan, dan kebutuhan darurat lainnya diperkirakan segera masuk untuk membantu ratusan ribu warga Gaza yang kehilangan tempat tinggal akibat operasi militer Israel.

Presiden Donald Trump selaku mediator utama dijadwalkan akan mengunjungi Timur Tengah pada Minggu (12/10/2025). Dia akan menghadiri upacara penandatanganan kesepakatan di Mesir dan juga telah menerima undangan dari Ketua Knesset Israel, Amir Ohana, untuk menyampaikan pidato di badan legislatif Israel.

Bagaimana Proses Negosiasi Gencatan Senjata Ini?

Kesepakatan atas tahap awal dari kerangka kerja 20 poin yang diajukan Trump dicapai melalui pembicaraan tidak langsung di Mesir sehari setelah peringatan dua tahun serangan Hamas ke Israel yang menjadi pemicu serangan balasan besar-besaran oleh Israel ke Gaza.

Trump secara resmi mengumumkan bahwa Israel dan Hamas telah menyetujui fase pertama dari rencana perdamaian tersebut. Fase ini mencakup pembebasan seluruh sandera, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal, serta penarikan pasukan Israel ke "garis kuning" yang menjadi batas awal penarikan militer berdasarkan rencana Trump.

Kepada Reuters, seorang sumber keamanan senior Israel mengonfirmasi bahwa garis tersebut merupakan batas awal penarikan pasukan yang telah disepakati.

Sementara itu, Hamas mengonfirmasi bahwa kesepakatan mencakup komitmen penghentian perang, penarikan pasukan Israel, dan pertukaran sandera dengan tahanan Palestina. Namun, mereka juga mendesak agar Trump dan negara-negara penjamin memastikan Israel melaksanakan seluruh poin gencatan senjata secara penuh.

Meskipun kesepakatan ini membawa harapan baru untuk mengakhiri perang yang telah berlangsung selama dua tahun, sejumlah aspek penting masih menyisakan ketidakjelasan. Hingga kini, misalnya, belum ada kejelasan mengenai waktu pasti pelaksanaan setiap tahap yang tercantum dalam kesepakatan.

Situasi hari pertama Ramadhan di Gaza

Situasi hari pertama Ramadhan di Gaza di tengah gencatan senjata. FOTO/BASHAR TALEB/AFP

Rincian terkait jadwal maupun urutan implementasi masih belum diumumkan secara terbuka oleh kedua pihak maupun mediator internasional. Selain itu, masa depan politik dan pemerintahan di Gaza pascaperang juga masih menjadi tanda tanya besar. Siapa yang akan memegang kendali atas wilayah tersebut setelah penarikan pasukan Israel belum ditentukan.

Meski Hamas telah menguasai Gaza sejak 2007 setelah menyingkirkan rival politiknya dari Otoritas Palestina, baik Netanyahu, Trump, maupun sejumlah negara Barat dan Arab sama-sama menolak peran Hamas dalam pemerintahan pascakonflik.

Langkah Positif yang Harus Dikawal

Pengamat Hubungan Internasional dari Fakultas Humaniora Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, Sofi Mubarok, menilai bahwa setiap bentuk kesepakatan damai, apa pun motif dan latar belakangnya, pada dasarnya merupakan langkah positif.

Dalam pandangannya, esensi utama dari hubungan internasional adalah upaya menuju perdamaian. Oleh karena itulah, kesepakatan fase pertama antara Hamas dan Israel kali ini mencerminkan titik maju dari tekanan serta usaha kolektif internasional untuk menghentikan kebiadaban, bahkan genosida, yang dilakukan Israel terhadap warga Gaza.

“Kesepakatan damai fase pertama antara Hamas dan Israel adalah langkah maju dari upaya dunia internasional dalam menghentikan kebiadaban dan genosida yang dilakukan oleh Israel terhadap masyarakat Gaza,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Jumat (10/10/2025).

Namun demikian, Sofi mempertanyakan masa depan dari kesepakatan tersebut. Dia menekankan bahwa ini bukanlah kesepakatan yang mudah dicapai, mengingat kedua pihak yang terlibat membawa warisan ideologis yang sangat dalam.

Di satu sisi, Hamas mewakili semangat perlawanan terhadap penjajahan—perjuangan yang diwariskan secara turun-temurun dengan keyakinan kuat untuk mempertahankan tanah air dan agama.

“Sementara, Israel dengan intensi hegemoni, untuk mengeliminir dan menghapus Hamas, bahkan Palestina, dari tanah mereka sendiri,” ujarnya.

Lebih jauh, Sofi menggarisbawahi pentingnya mencermati rekam jejak Israel dalam proses-proses perdamaian sebelumnya. Dia mengingatkan bahwa Israel hampir selalu memiliki kecenderungan untuk mengingkari kesepakatan.

Salah satu contoh terdekat, menurutnya, adalah insiden pada Maret 2025, ketika serangan besar-besaran Israel menewaskan lebih dari 400 orang dan mengakhiri gencatan senjata yang sebenarnya telah diberlakukan sejak Januari di tahun yang sama.

Pembebasan Sandera Israel oleh Hamas

Para sandera yang diculik oleh orang-orang bersenjata Hamas selama serangan 7 Oktober terhadap Israel diserahkan oleh militan Hamas ke Palang Merah Internasional, sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran sandera-tahanan antara Hamas dan Israel di tengah gencatan senjata sementara, di lokasi yang tidak diketahui di Israel. Jalur Gaza, (30 /11/2023). Sayap/Handout Militer Hamas via REUTERS

Mengapa Israel dan AS Akhirnya Menyepakati Gencatan Senjata?

Dalam konteks kesepakatan kali ini, Sofi melihat adanya perubahan signifikan yang mendorong Israel akhirnya bersedia membuka ruang damai. Menurutnya, hal itu tidak lepas dari semakin efektifnya upaya pengucilan internasional terhadap Israel, baik oleh negara-negara sebagai entitas politik global maupun masyarakat dunia secara umum.

“Gerakan ini semakin masif, bahkan negara-negara Barat yang biasanya mendukung Israel, seperti Perancis, Inggris, dan Kanada, pun telah berpaling dari dukungan tersebut karena masifnya tekanan masyarakat mereka,” ujar Sofi.

Menurutnya, kesepakatan fase pertama antara Hamas dan Israel bukan muncul dari niat murni kedua pihak untuk mengakhiri konflik, melainkan karena adanya tekanan global yang sangat besar, tajam, masif, dan berlangsung secara terus-menerus.

Sofi menilai bahwa baik Amerika Serikat maupun Israel terpaksa mengambil langkah ini sebagai respons terhadap gelombang penolakan yang datang dari berbagai penjuru dunia.

“Baik dalam forum internasional seperti di United Nations General Assembly (UNGA) beberapa waktu lalu, maupun gerakan masyakat langsung seperti kasus Global Sumud Flotilla beberapa hari lalu, yang membawa voluntary dari 46 negara berbeda,” ujarnya.

Dari situ, Sofi menegaskan bahwa keberlangsungan kesepakatan ini sangat bergantung pada konsistensi tekanan dan isolasi dunia internasional terhadap Israel. Jika tekanan ini melemah atau bahkan berhenti, besar kemungkinan ia akan runtuh seperti yang sudah-sudah.

Sejarah telah membuktikan, kata Sofi, bahwa setiap kali tekanan global mereda, Israel kembali pada pola-pola pelanggaran perjanjian.

“Namun, jika tekanan dan pengucilan tetap digencarkan bahkan diperkuat, meskipun poin-poin kesepakatanya akan memakan perdebatan panjang, kita masih bisa berhadap kesepakatan ini akan berlanjut ke tahap setelahnya,” katanya.

Sofi juga menyebut bahwa pengucilan terhadap Israel sebagai "kata kunci" dalam upaya menciptakan keadilan dan perdamaian yang berkelanjutan. Pengucilan ini, menurutnya, merupakan bentuk nyata dari resistensi global terhadap kekejaman dan kesewenang-wenangan yang dilakukan Israel.

“Dalam istilah Syaikh Mohamed Mutawalli Syar'awi, seorang ulama dari Al-Azhar Mesir, dalam menguraikan makna Surah Al-Hajj ayat 40, kondisi ini adalah equilibrium mechanism yang memastikan adanya keseimbangan di bumi. Atau dalam istilah Morgenthou, pengucilan ini adalah bentuk balance of power dunia terhadap kesewenang-wenangan Israel yang didukung oleh Amerika Serikat,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait GENCATAN SENJATA ISRAEL-HAMAS atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News Plus
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi