tirto.id - Ribuan massa memadati Jalan Afandi atau Jalan Gejayan Yogyakarta melakukan aksi demo Gejayan Memanggil Jilid 2. Salah satu orator menyerukan agar semua agama bersatu atas nama kemanusiaan.
"Islam, Kristen, Hindu, Buddha harus bersatu atas nama kemanusiaan," kata salah satu perwakilan Fornt Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FKNSDA) Identitas saat orasi di simpang tiga Jalan Gejayan-Kolombo, Senin (30/9/2019).
Selain menyerukan persatuan dari seluruh agama, ia juga menyerukan adanya persatuan dari seluruh lapisan masyarakat. Dengan kondisi negara saat ini kata dia perlu adanya persatuan dari seluruh lapisan masyarakat.
"Bahwa hari ini kita turun ke jalan tak lagi mengenal sekat-sekat. Kita turun ke jalan berkaitan dengan nasib rakyat Indonesia," kata dia.
Dalam orasinya ia prihatin dengan adanya korban mahasiswa dua mahasiswa yang demo di Kendari Sulawesi Tenggara. Ia juga prihatin dengan kerusuhan di Wamena yang menewaskan puluhan orang.
Demo mahasiswa Gejayan Memanggil 2 menuntut presiden terbitkan Perppu terkait UU KPK, merevisi pasal bermasalah RKUHP hingga RUU Minerba.
Demo mahasiswa Gejayan Memanggil jilid 2 di Yogyakarta kembali digelar pada Senin (30/9/2019). Demo hari ini bakal diikuti ribuan massa yang tergabung mulai dari mahasiswa, pelajar, buruh, masyarakat umum hingga gelandangan.
Terdapat sembilan tuntutan yang diajukan dalam demo Gejalan Memanggil 2. Juru Bicara Aliansi Rakyat Bergerak, Nailendra, mengatakan terdapat sejumlah masalah demokrasi di Indonesia yang belum terselesaikan usai Reformasi 98.
"Permasalahan yang menyerang KPK. Pertama, permasalahan yang marak dibahas adalah bagaimana dengan statusnya sebagai lembaga independen menegakkan hukum di bidang korupsi dalam RUU Tindak Pidana Korupsi," kata Nailendra.
"Kedua, salah satunya yang juga menarik dibahas adalah pegawai KPK yang tidak lagi menjadi Pegawai tetap dan berasal dari luar KPK."
Ia melanjutkan, permasalahan ketiga, Status ASN yang akan memengaruhi dan menimbulkan pertanyaan terkait independensi KPK dan pemerintah. Keempat, adalah penyelidik KPK yang hanya berasal dari kepolisian.
Tak hanya KPK, persoalan lainnya soal pelanggaran HAM dan HAM berat. Hal ini implikasi dari permainan elite politik dalam dinamika UU Pengadilan HAM salah satunya adalah impunitas.
Impunitas didefinisikan sebagai ketidakmungkinan pelaku pelanggaran HAM untuk mempertanggungjawabkan tindakannya.
Hal ini menjadi kegagalan negara dalam menegakkan HAM di Indonesia. Terbukti, hampir seluruh pengadilan HAM berakhir tanpa pelaku yang dijerat pidana, ujar Nailendra.
Ada juga permasalah UU Pertanahan, militerisme dan pelanggaran HAM di Papua serta pembakaran hutan. Selain permasalahan di atas, ada pula beberapa hal mendesak yang perlu disuarakan.
Hal tersebut melingkupi penangkapan aktivis pro demokrasi, perlakuan represif aparat negara terhadap massa aksi beberapa hari ini, perlakuan represif terhadap petani penolak korporasi, revisi UU Minerba, dan juga RKUHP.
Atas hal tersebut Aliansi Rakyat Bergerak menuntut 9 hal:
1. Hentikan segala bentuk represi dan kriminalisasi terhadap gerakan rakyat.
2. Tarik seluruh komponen militer, usut tuntas pelanggaran HAM, buka ruang demokrasi seluas-luasnya di Papua.
3. Mendesak pemerintah pusat untuk segera menanggulangi bencana dan menyelamatkan korban, tangkap dan adili pengusaha dan korporasi pembakar hutan, serta cabut HGU dan hentikan pemberian izin baru bari perusahaan besar perkebunan.
4. Mendesak presiden untuk menerbitkan Perppu terkait UU KPK.
5. Mendesak presiden untuk menerbitkan Perppu terkait UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan.
6. Mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
7. Merevisi pasal-pasal yang dianggap bermasalah dalam RKUHP dan meninjau ulang pasal-pasal tersebut dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat sipil.
8. Menolak RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, dan RUU Minerba.
9. Tuntaskan pelanggaran HAM dan HAM berat serta adili penjahat HAM.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Yantina Debora