Menuju konten utama

Gejala Happy Hypoxia COVID-19 yang Bisa Sebabkan Pasien Meninggal

Pasien COVID-19 di Indonesia yang meninggal dunia mengalami happy hypoxia, apa itu? Dan bagaimana gejala happy hypoxia?

Gejala Happy Hypoxia COVID-19 yang Bisa Sebabkan Pasien Meninggal
Ilustrasi Masker Ventilator. foto/istockphoto

tirto.id - Pandemi virus corona COVID-19 yang sedang berlangsung menyimpan banyak misteri, salah satunya adalah kemunculan happy hypoxia.

Sejumlah pasien COVID-19 di Indonesia memiliki gejala ini dan dinyatakan meninggal dunia.

Apa Itu Happy Hypoxia

Arti happy hypoxia, seperti dikutip dari Medical News Today adalah penurunan kadar oksigen dalam darah. Ketika kadar oksigen darah mulai berkurang, seseorang mungkin mengalami sesak napas, yang juga disebut dispnea.

Jika kadar oksigen dalam darah terus menurun, organ-organ kemungkinan akan berhenti bekerja dan mengancam nyawa pasien.

COVID-19 pada dasarnya adalah penyakit pernapasan. COVID-19, dalam kasus parah dapat mengurangi jumlah oksigen yang dapat diserap paru-paru. Tingkat oksigen darah ditemukan sangat rendah pada beberapa pasien COVID-19.

Seperti diberitakan di berbagai sumber media, termasuk Science, meskipun kadar oksigen dalam darah rendah, beberapa pasien dapat berkegiatan tanpa masalah dan tak mengalami sesak napas.

Menurut penulis penelitian ini, kondisi tersebut "sangat membingungkan dokter dan dianggap bertentangan dengan biologi dasar".

Penulis utama studi tersebut adalah Dr. Martin J. Tobin - profesor kedokteran paru dan perawatan kritis di Loyola University Medical Center, di Maywood, IL.

Ia mencatat, “Dalam beberapa kasus, pasien merasa nyaman dan menggunakan telepon di saat dokter hendak memasukkan selang pernapasan [endotrakeal] dan menghubungkan pasien ke ventilator mekanis, yang, meski berpotensi menyelamatkan nyawa, memiliki risiko tersendiri.”

Studi ini melibatkan 16 pasien COVID-19 dengan tingkat oksigen yang sangat rendah (serendah 50%; saturasi oksigen darah normal antara 95 dan 100%), tanpa sesak napas atau dispnea.

Tobin menemukan, "beberapa mekanisme patofisiologis bertanggung jawab atas sebagian besar kasus happy hypoxia, termasuk penilaian awal tingkat oksigen pasien dengan oksimeter."

"Faktor lainnya adalah bagaimana otak merespons tingkat oksigen yang rendah. Ketika kadar oksigen turun pada pasien dengan COVID-19, otak tidak merespons sampai oksigen turun ke tingkat yang sangat rendah - di mana pasien biasanya menjadi sesak napas," ujarnya.

Selain itu, lebih dari setengah pasien memiliki kadar karbondioksida yang rendah dan dapat mengurangi dampak dari kadar oksigen sangat rendah di dalam darah.

"Mungkin juga virus corona melakukan tindakan aneh pada bagaimana tubuh merasakan tingkat oksigen yang rendah," kata Tobin. Hal ini dapat dikaitkan dengan berkurangnya kemampuan penciuman, yang dialami oleh dua pertiga pasien COVID-19.

Ia mengakui penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mendalami happy hypoxia. Studi ini menyimpulkan, happy hypoxia merupakan dampak COVID-19 yang aneh, jika dilihat dari sudut prinsip fisiologi pernapasan yang telah lama ada.

"Informasi baru ini dapat membantu menghindari intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanis yang tidak perlu, yang menghadirkan risiko, ketika gelombang kedua COVID-19 muncul," kata Tobin.

Infografik Happy Hypoxia

Infografik Happy Hypoxia. tirto.id/Fuadi

Gejala Happy Hypoxia

Happy hypoxia pada beberapa pasien COVID-19 tidak memiliki tanda dan gejala apapun. Adanya gejala tergantung pada usia pasien, tingkat keparahan penyakit, tingkat kesehatan, dan keberadaan penyakit kronis.

Sementara, hypoxia atau kurangnya oksigen dalam darah akan menunjukkan tanda-tanda seperti ulasan di bawah ini.

Menurut buku Clinical Procedurs for Safer Patient Care, tanda awal hipoksia adalah kecemasan, kebingungan, dan kegelisahan, yang jika tidak ditangani akan berkembang menjadi hipotensi.

Saat hipoksia memburuk, tanda-tanda vital pasien, toleransi aktivitas, dan tingkat kesadaran akan menurun.

Tanda-tanda akhir hipoksia termasuk perubahan warna kebiruan pada kulit dan selaput lendir, di mana vasokonstriksi pembuluh darah tepi atau penurunan hemoglobin menyebabkan sianosis.

Sianosis paling mudah terlihat di sekitar bibir dan di mukosa mulut. Jangan pernah menganggap tidak adanya sianosis berarti oksigen dalam darah cukup.

Beberapa tanda hypoxia adalah:

1. Takipnea: peningkatan laju pernapasan merupakan indikasi gangguan pernapasan.

2. Sesak napas (Dyspnea Shortness of breath / SOB) merupakan indikasi gangguan pernapasan.

3. Penggunaan otot aksesori: penggunaan otot leher atau interkostal saat bernapas merupakan indikasi gangguan pernapasan.

4. Pernapasan bising: bunyi napas yang terdengar, atau mengi dan berderak, merupakan indikasi kondisi pernapasan.

5. Penurunan tingkat saturasi oksigen: tingkat saturasi oksigen harus antara 92% dan 98% untuk orang dewasa tanpa penyakit pernapasan yang mendasari. Lebih rendah dari 92% dianggap hipoksia.

6. Lubang hidung melebar atau mengerucutkan bibir: pasien hipoksia mungkin bernapas dengan cara yang berbeda, yang mungkin menandakan perlunya oksigen tambahan.

7. Warna kulit pasien: perubahan warna kulit menjadi kebiruan atau abu-abu merupakan tanda akhir hypoxia.

8. Posisi pasien: pasien dengan gangguan pernapasan akan duduk atau membungkuk dengan mengistirahatkan lengan di atas kaki untuk meningkatkan ekspansi paru. Pasien yang mengalami hypoxia mungkin tidak dapat berbaring di tempat tidur.

9. Kemampuan pasien untuk berbicara dalam kalimat lengkap: pasien dengan gangguan pernapasan mungkin tidak dapat berbicara dalam kalimat lengkap, atau mungkin perlu mengatur napas di antara kalimat.

10. Perubahan status mental atau kehilangan kesadaran: ini adalah tanda hypoxia yang memburuk dan terlambat ditangani.

11. Kegelisahan atau kecemasan: Ini merupakan tanda awal hypoxia.

Oximeter untuk Happy Hypoxia

Alat pengukur kadar oksigen yakni oximeter menjadi salah satu bahan perbincangan di dunia maya saat ini, salah satunya terkait gejala happy hypoxia atau menurunnya kadar oksigen yang bisa berujung kematian pada pasien COVID-19.

Mengenai hal ini, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, Vito Anggarino Damay mengatakan, happy hypoxia bisa dialami pasien COVID-19 bergejala ringan yang dirawat mandiri, sehingga mereka perlu menyediakan oximeter di rumah.

"Seseorang yang happy hypoxia mungkin ada gejala yang ringan yang tidak disadari bukan sama sekali tidak bergejala. Mungkin perlu sediakan di rumah untuk mereka yang menderita COVID-19 ringan yang isolasi mandiri," kata dia.

Pada pasien COVID-19, oximeter bisa membantu memeriksa kadar oksigen sehingga saat level oksigen pasien rendah bisa dideteksi dini.

Alat ini biasanya berukuran kecil dan mudah dibawa. Alat ini dipasang di ujung jari lalu seberapa baik oksigen mengikat sel darah merah Anda akan diukur. Orang sehat angka pada oximeter menunjukkan angka antara 95-100 persen.

Lalu apakah orang sehat bisa terkena happy hypoxia? Tidak, Happy hipoxia tak akan terjadi pada orang yang benar benar sehat, kata Vito.

Tetapi orang sehat boleh memiliki oximeter di rumah? Vito membolehkannya. Dia sendiri memiliki alat ini untuk membuktikan pemakaian masker seharian tidak menganggu kadar saturasi oksigen.

Namun dia mengingatkan, oximeter tidak akan berguna jika seseorang lalai menerapkan protokol kesehatan yakni menjaga jarak, mencuci tangan dan memakai masker.

Baca juga artikel terkait KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Yantina Debora
Penyelaras: Yulaika Ramadhani