tirto.id - Banyak yang menganggap tak ada yang 'dijual' oleh masing-masing kubu yang bertanding di Pemilihan Presiden mendatang. Keduanya, mengutip kolumnis Tirto Wisnu Prasetya Utomo, lebih banyak mengemukakan pesan-pesan nyinyir kepada lawan politiknya.
Dosen Komunikasi Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Gun Gun Heryanto mengatakan pola komunikasi Jokowi dan Prabowi pada dasarnya bertolak belakang. Prabowo, di satu sisi, punya gaya komunikasi dinamis atau dikenal dengan istilah dynamic style.
Selain Prabowo, orang yang gaya komunikasinya seperti ini adalah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Ciri khas gaya komunikasi ini adalah ketegasan, struktur yang tidak teratur. Kelebihan gaya ini ialah mudah mempengaruhi orang lain, tetapi ia kerap disalahartikan oleh yang mendengar.
"Memang kecenderungannya memproduksi bahasa lugas dan tegas," kata Gun Gun kepada reporter Tirto. "Karena lugas kerapkali pilihan diksi itu kemudian dianggap nyinyir," tambahnya.
Gaya komunikasi ini cocok di Barat, yang lebih mudah menerima kritik. Tapi tidak di Indonesia. Itu kenapa pernyataan Prabowo kerap dikritik.
"Kalau manajemen komunikasinya tidak baik bisa memicu diskursus publik. Misal saja tentang narasi Indonesia bubar di 2030," tambahnya.
Bagaimana dengan Jokowi? Gun Gun bilang Presiden ke-7 Indonesia itu lebih dekat ke equalitarian style atau gaya komunikasi yang mengutamakan aspek kesamaan. Ketika Jokowi berbicara, ia akan sebisa mungkin membuat apa yang disampaikannya dipahami oleh masyarakat dengan ragam latar belakang.
"Ini tipikalnya harmoni, tidak terlalu eksplisit dan lebih adaptif terhadap situasi di mana dia berkomunikasi."
Orang-orang seperti ini cenderung tidak ahli dalam berpidato. Mereka lebih sukses bicara tatap muka.
"Mereka jarang mempunyai kemampuan berpidato yang baik. Dia bukan orator yang baik, tapi dia equalitarian yang baik. Blusukan [dianggap] lebih bagus daripada pidato di atas panggung."
Meski berbeda, tapi bagi Gun Gun keduanya tetap punya kesamaan: sama-sama verbal aggressiveness. Infante, D.A., dan Wigley, C.J mengatakanverbal aggressiveness adalah gaya komunikasi yang "mempengaruhi orang untuk menyerang konsep orang lain ketimbang posisi mereka sendiri."
Ini tercermin dari pesan yang disampaikan masing-masing kandidat, terlepas dari bagaimana cara mereka menyampaikannya. Misalnya politik "genderuwo" Jokowi atau "Indonesia bubar" Prabowo.
Pola komunikasi seperti ini akan tetap ada beberapa bulan ke depan.
"Kecenderungannya begitu. Karena data yang argumentatifnya akan disimpan untuk debat capres-cawapres. Harusnya debat ini enggak numpuk di belakang," kata Direktur Political Literacy Institute ini.
Masing-masing Minta Berhenti
Pola komunikasi ini, menariknya, diprotes masing-masing dari mereka. Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Ferdinand Hutahaean pernah mengatakan kalau Jokowi kerap membuat pernyataan yang lalu memancing perdebatan. Dan ia meminta itu dihentikan.
"Kami meminta capres-cawapres untuk mengubah narasi tak bermutu seperti kata-kata 'sontoloyo,' 'genderuwo,' 'tabok.' Itu harus dihentikan," kata Ferdinand pada reporter Tirto, Minggu (25/11/2018) lalu.
Tak mau kalah, Juru Bicara TKN Jokowi-Ma’ruf Irma Suryani Chaniago, Senin (26/11/2018) kemarin mengatakan justru pihak Prabowo lah yang mulai duluan. Apa yang dikatakan Jokowi cuma reaksi dari aksi tim lawan.
"Kami enggak pernah nyinyir. TKN [Tim Kampanye Nasional] enggak pernah nyinyir. Yang selalu jadi bahan kritisi kan kami dan yang dinyinyirin kami. Kalau mereka nyinyir kami klarifikasi," tegasnya.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino