Menuju konten utama

Gairah Pembangunan Infrastruktur Jokowi yang Tak Pedulikan Pandemi

Proyek baru ribuan triliun rupiah di saat pandemi Corona justru akan merusak lingkungan dan menambah risiko warga yang kena Corona.

Gairah Pembangunan Infrastruktur Jokowi yang Tak Pedulikan Pandemi
Kereta api melintas di samping proyek pembangunan jalur kereta cepat Jakarta-Bandung di Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu (27/5/2020). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/foc.

tirto.id - Langgam kepemimpinan Presiden Joko Widodo selama dua periode lekat dengan pembangunan infrastruktur. Wabah Corona yang melanda Indonesia bukan halangan merealisaskan inti dari visinya: kerja.. kerja.. kerja..

Ada 89 usulan proyek strategis nasional (PSN) baru pada periode 2020-2024 yang menelan biaya Rp1.422 triliun dari Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto kepada Jokowi.

Semula ada 245 proyek, hanya saja Jokowi meminta agar proyek baru harus punya daya ungkit besar terhadap pemulihan ekonomi setelah pandemi berakhir. Konsekuensinya, pengerjaan proyek mulai lelang hingga pembangunan terus berjalan meski pandemi.

Ruang lingkup proyek baru yang telah direstui oleh Jokowi mencakup Pulau Jawa ada 25 proyek berbiaya Rp462 triliun; Pulau Kalimantan, 17 proyek berbiaya Rp144 T; Pulau Bali dan Nusa Tenggara 12 proyek senilai Rp28 T; skala nasional 11 proyek Rp351 T; Sulawesi ada 8 proyek Rp208 T; Sumatera 7 proyek Rp11 T; Maluku-Papua Rp11 T.

Berdasar jenis proyek baru itu mencakup 56 program baru; 10 proyek perluasan dari proyek sebelumnya; 15 proyek dikelompokkan dalam program baru; dan 8 proyek ketenagalistrikan.

Ancaman di Balik Proyek Listrik

Proyek ini diklaim mampu memulihkan ekonomi. Namun, ada bahaya di baliknya. Di antaranya berkaitan dengan proyek listrik yang diyakini masih fokus pada pembangkit listrik berbasis batu bara.

Jokowi masih berusaha menggenjot proyek listrik 35.000 mega watt (MW). Kini realisasinya baru 6.811 MW. Proyek listrik yang dalam tahap konstruksi pembangkit listrik berkapasitas 20.168 MW.

Situasi pandemi COVID-19 diperkirakan meningkatkan risiko bagi warga yang hidup di tapak lokasi PLTU batu bara. Padahal PLTU batu bara masih mendominasi jenis pembangkit listrik di Indonesia.

Ahmad Ashov dari organisasi lingkungan Bersihkan Indonesia, menyebut warga yang punya penyakit kronis dari polusi udara di sekitar PLTU batu bara punya risiko kematian lebih tinggi bila terkena COVID-19.

Hal ini sejalan dengan studi New Nationwide Study dari Universitas Harvard sebuah kampus ternama di Amerika Serikat menunjukkan adanya paparan polusi udara jangka panjang di satu daerah akan meningkatkan kerentanan berujung kematian bagi seorang penderita Corona.

Menurut data Gugus Tugas Penanganan COVID-19, peningkatan risiko kematian penderita Corona akibat dari penyakit penyerta. Paling tinggi yakni hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, penyakit paru obstruktif kronis, kasus gangguan pernafasan lain, dan penyakit ginjal. Kemudian penyakit asma, kanker, TBC, penyakit hati dan gangguan imun tubuh.

Di antara penyakit komorbid (penyerta) pemicu kematian pasien Corona ada penyakit paru obstruktif kronis yang salah satu faktor risikonya akibat terpapar polusi udara bisa dari kendaraan bermotor atau asap pembakaran batu bara.

Meski demikian, potensi polusi udara dari proyek kelistrikan bukan hambatan pemerintah yang fokus memulihkan perekonomian usai pandemi.

Menurut Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto setiap dana Rp1 triliun yang dikeluarkan untuk proyek infrastruktur mampu menyerap 14.000 tenaga kerja.

Selama proyek berjalan sejak 2020 hingga 2024, ditarget ada sekitar 4 juta pekerja terserap per tahunnya. Sedangkan target selama 5 tahun proyek berjalan, totalnya ada 19 juta orang terserap sebagai tenaga kerja proyek baik langsung maupun tidak.

Bertolak Belakang dengan Pandemi

Di luar proyek kelistrikan, ada proyek usulan baru berupa pembangunan smelter atau tempat pemurnian hasil tambang di Pulau Sulawesi dan food estate di Provinsi Kalimantan Tengah.

Proyek smelter yang dikembangkan ada di Konawe, Morowali (Pulau Sulawesi) hingga Weda Bay (Pulau Maluku). Potensi penyerapan pekerja di smelter Morowali diklaim Airlangga Hartarto mencapai 40.000 orang, sedangkan di Konawe hingga 11.000 pekerja.

Direktur Eksekutif Nasional (Eknas) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Nur Hidayati menyebut, proyek baru yang akan digarap pada sisa pemerintahan Jokowi dinilai tak sensitif dengan kepentingan rakyat.

Pembiayaan proyek justru menghambur uang untuk kegiatan di luar penanganan pandemi dan dan tidak memedulikan wabah Corona.

“Ini semua proyek polusi. Kita bukannya justru menyembuhkan, memulihkan warga dari Corona, menjaga keseimbangan ekologis. Ini justru semakin dirusak,” ujarnya, kemarin.

Proyek listrik yang mengandalkan batu bara secara pararel meningkatkan pengerukan mineral dari bumi Indonesia. Ujungnya, katanya, terjadi kerusakan lingkungan dan menguntungkan segelintir elite pengusaha tambang.

Pemerintah Indonesia bukannya tak memedulikan Corona. Terdapat pengalihan anggaran yang besar dari APBN 2020 untuk penanganan Corona dari beragam kementerian. Masalahnya, kurva pandemi Corona masih menanjak dan belum ada tanda-tanda mereda.

Baca juga artikel terkait PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR atau tulisan lainnya dari Zakki Amali

tirto.id - Politik
Reporter: Zakki Amali
Penulis: Zakki Amali
Editor: Abdul Aziz