Menuju konten utama

Studi Harvard: Korelasi Polusi Udara dan Tingkat Kematian COVID-19

Peneliti Harvard menyebut ada korelasi antara tingkat paparan polusi tinggi dan rasio kematian akibat COVID-19 di satu wilayah.

Studi Harvard: Korelasi Polusi Udara dan Tingkat Kematian COVID-19
Foto udara suasana di salah satu ruas jalan di Jakarta, Minggu (5/4/2020). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.

tirto.id - Sebuah studi mengungkapkan pasien positif COVID-19 di wilayah dengan polusi udara tertinggi sebelum masa pandemi memiliki risiko kematian lebih tinggi ketimbang pasien di wilayah dengan kualitas udara lebih baik.

Temuan itu berdasarkan New Nationwide Study dari Universitas Harvard dan menjadi studi pertama menunjukkan hubungan antara tingkat paparan polusi berkepanjangan dan rasio kematian akibat COVID-19.

Dalam analisisnya terhadap 3.080 kota di Amerika Serikat, peneliti dari Fakultas Kesehatan Masyarakat T.H Chan Universitas Harvard menemukan semakin tinggi tingkat partikel kecil berbahaya dalam udara yang biasa disebut PM 2,5 semakin tinggi pula rasio kematian akibat COVID-19.

“Hasil dari studi kami memperlihatkan paparan polusi udara jangka panjang akan meningkatkan kerentanan terhadap penyakit COVID-19,” tulis laporan tersebut.

Studi ini sekaligus menjadi yang perdana secara nasional dalam kasus di AS, yang menunjukkan ada korelasi antara COVID-19 dan penyakit lain terkait kadar polusi udara.

Para peneliti mencontohkan Manhattan, salah satu kawasan paling sibuk di Amerika Serikat bahkan di dunia. Studi ini menyebut jika Manhattan menurunkan rata-rata particular matter hingga satu mikrogram per meter kubik, misalnya, ia bisa saja menurunkan angka kematian sekitar 248 kasus dari angka kematian saat ini.

Hingga 14 April 2020, New York City, termasuk di dalamnya Manhattan, mencatat kematian hingga 7.349 orang terkait COVID-19 dengan jumlah kasus positif 106.863 jiwa; tertinggi di Amerika Serikat, negara dengan kasus COVID-19 tertinggi di dunia.

Meski demikian, temuan ini menunjukkan sedikit kenaikan paparan polusi udara jangka panjang bakal berdampak serius terhadap penyebaran COVID-19. Studi menyebut faktor lain di antaranya kebiasaan merokok dan kepadatan penduduk.

Sebagai contoh, Distrik Columbia sangat mungkin memiliki tingkat kematian lebih tinggi ketimbang tetangganya Montgomery County, Maryland. Atau, Cook County di Illinois termasuk di dalamnya Chicago, seharusnya lebih buruk ketimbang Lake County. Atau, Fulton County di Georgia bisa juga lebih buruk ketimbang Douglas County.

“Studi ini membuktikan kota dengan tingkat polusi tinggi lebih, rasio kematiannya lebih tinggi akibat COVID-19,” ujar Fransesca Dominici, ketua tim riset dari Universitas Harvard, dikutip The New York Times.

Para peneliti mendorong agar regulasi terkait polusi dan udara bersih kembali dibahas secara serius setelah molor tiga tahun terakhir di bawah pemerintahan Donald Trump. Alasan Trump, kampanye krisis iklim menyulitkan dunia industri.

“Studi ini dapat mengingatkan kembali betapa penting regulasi polusi udara untuk melindungi kesehatan publik, selama maupun setelah pandemi COVID-19,” ujar Dominici.

Pemerintahan Trump, yang dikenal anti-sains, pada pekan lalu berusaha melemahkan regulasi emisi knalpot kendaraan bermotor yang diteken pada era Barack Obama.

Badan Perlindungan Lingkungan AS mengingatkan upaya pemerintahan Trump mengebiri regulasi emisi karbon yang mengatur pembangkit batu bara, akan memicu sekitar 1.400 kematian prematur akibat polusi udara.

Bagaimana dengan Indonesia?

Mari kita lihat di Indonesia. Per 14 April, DKI Jakarta mencatat 2.335 kasus positif dan 241 kasus meninggal; artinya, tingkat kematian mencapai 10,3 persen.

Angka kematian tertinggi kedua adalah Jawa Barat dengan 52 kasus, kemudian Jawa Timur dengan 41 kasus.

Kualitas udara DKI Jakarta selama sebulan terakhir berkisar pada status warna merah, oranye dan kuning. Artinya, kualitas udara Jakarta pada unhealthy (tidak sehat), unhealthy for sensitive groups (tidak sehat untuk kelompok tertentu), dan moderate. Hanya satu hari kualitas udara Jakarta pada status hijau atau baik, yakni pada 7 April 2020.

Sementara pada rekapitulasi tiga tahun terakhir yang dihimpun Air Quality Index (AQI), rata-rata kualitas udara di Jakarta antara moderat dan tidak sehat, dengan tingkat polusi tertinggi pada Mei-September.

Kendati demikian, masih berdasarkan AQI, kota dengan polusi udara tertinggi di Indonesia adalah Medan (indeks udaranya 155); disusul Tangerang Selatan (153), Pekanbaru (152), dan diikuti kota-kota lain seperti Mataram, Bandung, Pamulang, Parung, Sawangan, Cileungsi, dan Ciputat.

Tingkat polutan yang tinggi memang bukan satu-satunya pemicu angka kematian akibat COVID-19. Ada faktor lain yang memengaruhi, misalnya kepadatan penduduk dan tingkat mobilitas. Jakarta memenuhi keduanya.

Baca juga artikel terkait PANDEMI CORONA atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Restu Diantina Putri
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Gilang Ramadhan