tirto.id - Amerika Serikat menjadi negara terparah yang terpapar pandemi COVID-19. Angka penderitanya melebihi negara mana pun di dunia, termasuk Cina dan Italia. Per Sabtu (28/3/2020) kemarin, sudah ada lebih dari 103 ribu kasus positif.
Lonjakan pasien rawat inap terjadi di sejumlah kota seperti New York dan New Orleans, sementara staf medis, tempat tidur, dan fasilitas kesehatan seperti ventilator dan masker terbatas. Dampaknya tak main-main: angka kematian terus bertambah hingga lebih dari 1.600 per Sabtu kemarin.
“Skenario apa pun yang realistis sekarang akan tetap memberatkan kapasitas sistem perawatan kesehatan kita,” kata Gubernur New York Andrew Cuomo yang nampak frustrasi dalam konferensi pers, Kamis, 26 Maret. Cuomo mengatakan masalah utama yang dihadapi salah satu negara bagian terbesar di AS itu adalah kurangnya ventilator alias alat bantu pernapasan. “Bukannya mereka ada di gudang dan tinggal ambil, tapi sama sekali tidak ada stok yang tersedia.”
Kengerian karena kurangnya fasilitas itu direkam dokter Colleen Smith dengan ponsel dari Elmhurst Hospital, New York City, rumah sakit yang dijadikan pusat perawatan pandemik COVID-19 di AS. Angka antrean di rumah sakit itu naik seratus persen dari 200-an orang pada 24 Maret menjadi lebih dari 400-an orang sehari kemudian.
“Kami sekarang sedang berusaha berebut beberapa ventilator tambahan, atau bahkan mesin CPAP. Kalau sampai bisa dapat mesin CPAP, kami bisa pakai untuk pasien yang membutuhkan ventilator,” dokter Smith menggambarkan situasi RS Elmhurst pada Rabu 25 Maret kemarin kepada New York Times.
Rumah sakit ini sempat dapat bantuan ventilator dari rumah sakit lain hari itu juga—yang kata Smith adalah suplai darurat ketiga dalam seminggu terakhir.
“Yang paling bikin frustrasi dari semua ini adalah semuanya terasa sedikit sudah terlambat. Kayak, kita sebetulnya tahu kalau bakal begini kejadiannya,” katanya, lalu melanjutkan keluhan panjang lebar: “Pemimpin dari level mana pun, dari presiden sampai kepala-kepala rumah sakit, bilang kalau kita akan baik-baik saja. Semuanya baik-baik saja. Dan dari perspektif kami (petugas medis), semuanya tidak baik-baik saja. Saya tidak punya semua bantuan yang saya butuhkan, dan bahkan material yang dibutuhkan fisiknya untuk merawat pasien saya.”
Tiga minggu sebelumnya, Gubernur Andrew Cuomo sempat mengingatkan Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) agar mewaspadai penyebaran COVID-19. Cuomo meminta CDC untuk ‘bangun’. Jangan sampai Amerika separah Italia, katanya. Waktu itu, angka kasus positif masih relatif kecil dibandingkan negara-negara lain.
Oleh karena itu pemerintah harus menyediakan tes massal secepat mungkin, dan mulai memikirkan opsi karantina. Ia juga meminta pemerintah membuka sebanyak-banyak laboratorium untuk melakukan tes tersebut. Salah satu yang ia contohkan adalah laboratorium swasta macam Northwell Lab, New York, yang dapat melakukan seribu sampai dua ribu tes per hari.
“Kalian (pemerintah) tidak bisa menyuruh orang-orang tes kalau kalian tidak punya kapasitas cukup untuk mengetes mereka. Makin banyak orang positif yang kita temukan, makin baik,” kata Cuomo dalam konferensi pers di Northwell Lab.
Setidaknya ada tujuh laboratorium, termasuk Northwell Lab, yang bisa melakukan tes COVID-19 di seluruh AS, kata Cuomo. Ia menyayangkan lambannya pemerintah mengizinkan laboratorium-laboratorium itu untuk melakukan tes.
Malamnya, setelah melakukan lobi berhari-hari, Cuomo dapat kabar Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) AS akhirnya mengizinkan Northwell Lab untuk melakukan tes COVID-19.
Trump yang Meremehkan COVID-19
Lambannya sikap pemerintahan Donald Trump menghadapi COVID-19 bukan cuma tergambar dari leletnya kebijakan-kebijakan penanganan yang mereka keluarkan. Sejak virus ini merebak Desember lalu di Wuhan, Cina, Trump cenderung menyepelekannya. Ini terlihat jelas dari pernyataan yang ia keluarkan.
Pada 28 Februari lalu, misalnya. Trump menyebut virus Corona jenis baru ini akan hilang seperti mukjizat. Ia juga sempat berspekulasi bahwa cuaca panas akan membunuh virus ini dan menghentikan penyebarannya. Tak satu pun klaim itu berdasarkan penelitian, atau pendapat ahli dalam pemerintahannya.
Dalam wawancara dengan Fox News, 4 Maret lalu, Trump mengeluarkan pernyataan terkait angka kematian akibat COVID-19. Pernyataan ini tidak berdasarkan keterangan para ahli, tapi cuma atas dasar firasat.
“Ini cuma firasat saya, tapi berdasarkan banyak sekali perbincangan dengan banyak orang yang meneliti ini, bakal banyak orang yang terjangkit dan [virus] ini sangat ringan… Jadi, kalaupun kita punya ribuan atau ratusan ribu orang yang terkena, mereka akan sembuh cuma dengan duduk-duduk saja dan bahkan pergi kerja. Sebagian pergi bekerja, tapi mereka akan sembuh dan ketika kalian punya angka kematian seperti yang terjadi di negara bagian Washington, seperti satu [angka kematian] di California, mungkin satu di New York. Tahulah, tiba-tiba angkanya jadi 3 atau 4 persen, yang mana cukup tinggi, kalau dibandingkan satu persen,” kata Trump, menanggapi angka kematian akibat virus ini yang cukup tinggi di AS.
Awal Maret kemarin, Badan Kesehatan Dunia (WHO), menyebut prediksi angka kematian 3,4 persen di AS cukup tinggi mengingat kemampuan AS harusnya lebih baik dalam penanganan wabah dibanding banyak negara lain.
Dalam laporan berjudul Kesalahan Manajemen Trump Membantu Memicu Krisi Virus Corona, 13 staf dan bekas staf Trump di Gedung Putih—yang dirahasiakan identitasnya—menyimpulkan kebanyakan kebijakan penanganan COVID-19 di AS yang buruk berasal dari kekhawatiran Trump sendiri tentang dampak ekonomi yang diakibatkan virus ini.
“Tangganya selalu ke atas,” kata salah satu orang yang membantu menyusun respons pemerintahan Trump terkait isu ini. “Trump menciptakan atmosfer di mana ia sepertinya tidak perlu tahu penilaian staf-stafnya [tentang virus ini].”
Pada masa awal wabah ini menyeruak, Trump tampak terlalu fokus ingin angka kasus positif dan kematian di AS tetap kecil—yang menurutnya bisa menjaga perekonomian AS. Sayangnya, Trump terlambat sadar bahwa keputusan itu salah.
Sejak Senin, 16 Maret kemarin, Trump tampak lebih serius lagi menghadapi wabah COVID-19. “Ini buruk. Ini buruk,” kata Trump saat meluncurkan rencana 15 hari menurunkan kurva infeksi baru dalam konferensi pers. “Masing-masing dari kita punya peran penting untuk menghentikan penyebaran dan penularan virus.”
Salah satu yang dilakukannya adalah menghubungi Cina untuk menjalin hubungan bilateral menangani COVID-19 di AS. Jumat kemarin, 27 Maret, Trump membahas hal ini dengan Xi Jinping lewat telepon.
Namun, seperti biasa, Trump sama sekali tak mau disalahkan. Sebelum telepon bilateral itu terjadi, dilansir dari South China Morning Post, Trump melimpahkan kesalahan terjadinya wabah COVID-19 yang menyerang seluruh dunia pada Cina dan Xi Jinping. Apa yang terjadi di dunia saat ini, menurut Trump, merupakan imbas dari ketidakterbukaan Cina selama menangani wabah.
Menurutnya, jika Cina lebih terbuka, AS dan negara-negara lain dapat mempersiapkan diri lebih awal.
Namun, menurut Xi Jinping dalam sambungan telepon itu, Cina telah sangat transparan tentang epidemi yang telah menginfeksi lebih dari 80 ribu warganya ini.
Setelah telepon itu, Trump mencuit di Twitternya: “Cina telah melalui banyak hal dan telah mengembangkan banyak pengetahuan tentang virus ini. Kami bekerja sama dengan erat. Sangat hormat!”
======
Informasi seputar COVID-19 bisa Anda baca pada tautan berikut:
1. Ciri-Ciri Corona & Gejala COVID-19, Apa Beda dari Flu & Pneumonia?
2. Gejala Coronavirus Selain Demam dan Batuk: Tak Mampu Mencium Bau
3. Pentingnya Jaga Jarak di Tengah Pandemi COVID-19
4. 8 Cara Mencegah Penularan Virus Corona pada Lansia
5. Cara Deteksi Dini Risiko Covid-19 Secara Online
6. Update Corona Indonesia: Daftar Laboratorium Pemeriksaan COVID-19
Editor: Rio Apinino