Menuju konten utama

Fahri Hamzah Minta Jokowi Perjelas Peraturan PJ Gubernur

Fahri menyarankan kepada Jokowi agar membuat peraturan khusus terkait PJ kepala daerah.

Fahri Hamzah Minta Jokowi Perjelas Peraturan PJ Gubernur
Presiden Joko Widodo bersama Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menghadiri peringatan HUT ke-45 PDIP di Jakarta Convention Center (JCC), Rabu (10/1/2018). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, meminta kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memperjelas peraturan PJ (Pejabat) sementara kepala daerah sehubungan dengan adanya kecurigaan konflik kepentingan dalam pengangkatan dua Perwira Tinggi (Pati) Polri sebagai PJ Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara oleh Mendagri Tjahjo Kumolo.

"Saya kira ya mestinya sih Pak Jokowi yang mengambil keputusan. Apa maksudnya, apa argumennya?" kata Fahri di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (26/1/2018).

Fahri juga menyarankan kepada Jokowi supaya membuat peraturan khusus terkait PJ kepala daerah. Karena, menurutnya, undang-undang dan peraturan menteri yang ada selama ini masih kurang jelas.

"Kepres atau Perpres cukup. Tidak perlu Perppu," kata Fahri.

Sebelum ada peraturan yang dibuat oleh Jokowi, kata Fahri, lebih baik Mendagri Tjahjo Kumolo tidak gegabah mengangkat dua Pati Polri sebagai PJ Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara.

"Kekhawatiran kita kan persepsi publik," kata Fahri.

Senada dengan Fahri, Ketua Advokasi Hukum DPP Demokrat, Ferdinand Hutahean menilai keputusan Tjahjo rawan kepentingan politik di Pilkada 2018. Pasalnya, di Pilgub Jawa Barat 2018, PDIP, mencalonkan cawagub yang berstatus sebagai Pati Polri aktif, yakni Irjen (Pol) Anton Charliyan. Sementara PDIP adalah partai Tjahjo Kumolo.

Tidak hanya itu, Ferdinand juga menilai kebijakan Tjahjo ini melanggar undang-undang TNI/Polri yang melarang anggota TNI/Polri aktif terlibat dalam kegiatan politik dan menempati jabatan di luar instansinya.

"Peraturan juga mengatakan PJS kepala daerah gubernur maupun bupati atau walikota adalah Apartur Sipil Negara, setingkat Madya atau Pratama. Bukan TNI/Polri," kata Ferdinand.

Secara terpisah, Wakil Ketua Dewan Pembina Demokrat, Agus Hermanto menilai kebijakan Tjahjo telah mencederai demokrasi. Pasalnya, PJ kepala daerah saat Pilkada merupakan tupoksi (tugas, pokok dan fungsi) pejabat sipil eselon I atau II.

"Kalau bukan tupoksi ada kecenderungan bisa mengurangi rasa demokrasi. Kita sedang tegakkan jabatan seseorang sesuai tupoksi tentunya bisa mengurangi kadar demokrasi bahkan mendistorsi demokrasi," kata Agus di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (26/1/2018).

Sementara, kata Agus, tupoksi utama dari kepolisian adalah untuk menegakkan hukum yang harus didahulukan daripada tugas-tugas lainnya.

"Memang Plt (pelaksana tugas) gubernur itu kewenangan dari Mendagri. Namun semuanya kita harus menggunakan mahzab yang jelas. Selama ini hal itu dilaksanakan eselon I Kemendagri untuk jadi pejabat," kata Agus.

Mendagri Tjahjo Kumolo mengangkat dua perwira tinggi (pati) Polri, Irjen Pol M Iriawan dan Irjen Pol Martuani Sormin yang akan menjadi PJ Gubernur Jawa Barat dan Sumatra Utara. Ia mengklaim mengusulkan sendiri dua nama tersebut.

Tjahjo menjelaskan Pj Gubernur ditunjuk untuk menggantikan peran kepala daerah provinsi yang habis masa jabatannya. Sedangkan status Pj sementara (Pjs) untuk mengganti kepala daerah yang cuti kampanye. Pjs adalah sebutan baru yang sebelumnya bernama Pelaksana tugas (Plt).

"Saya kan konsultasi sama Pak Kapolri [Tito Karnavian]. Kemarin (Pilkada 2017) lewat Menko Polhukam dikasih Pak Carlo Tewu (sebagai Pj Sulawesi Barat). Sekarang, sementara saya butuh dua nama. Saya, Pak Kapolri, Pak Wakapolri diskusi," ujar Tjahjo kepada wartawan di Jakarta, Kamis (25/1/2018).

Baca juga artikel terkait PILKADA SERENTAK 2018 atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Alexander Haryanto