tirto.id - Sejak dilantik bulan lalu, Menteri BUMN Erick Thohir gencar membenahi kementerian yang dipimpinnya. Tidak tanggung-tanggung, pendiri Mahaka Group ini merombak struktur organisasi di Kementerian BUMN.
Erick mengangkat dua wakil menteri dan memangkas jumlah deputi dari semula tujuh orang menjadi hanya tiga jabatan. Pria asal Jakarta ini bahkan membentuk jabatan struktural baru yakni Inspektorat Jenderal.
Langkah restrukturisasi dari Erick ini tentu bukan tanpa sebab. Dia beralasan restrukturisasi dilakukan agar birokrasi menjadi efektif dan efisien, termasuk meminimalisir praktik-praktik korupsi di tubuh Kementerian BUMN.
“Restrukturisasi ini adalah bagian dari tour of duty, agar pejabat yang berasal dari birokrasi dapat memahami permasalahan di korporasi. Pejabat korporasi pun harus mengerti birokrasi,” kata Erick dikutip dari Antara, Rabu (20/11/2019).
Imbas dari restrukturisasi itu, lima eks deputi kementerian BUMN digeser menjadi direksi di sejumlah BUMN di antaranya Imam Apriyanto Putro yang diangkat menjadi Wakil Direktur Utama Pupuk Indonesia Holding Company dari sebelumnya menjabat Sekretaris Kementerian BUMN.
Kemudian, Gatot Trihargo diangkat sebagai Wakil Direktur Utama Perum Bulog. Gatot sebelumnya menjabat sebagai Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa Survei, dan Konsultan.
Selanjutnya, Hambra dari Deputi Bidang Infrastruktur Bisnis menjadi Wakil Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II,. Lalu, Wahyu Kuncoro dari Deputi Bidang Usaha Industri Agro dan Farmasi menjadi Wakil Direktur Utama PT Pegadaian.
Terakhir, Fajar Harry Sampurno diangkat menjadi Direktur Utama PT Barata Indonesia, di mana sebelumnya menjabat Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media.
Pelbagai Persoalan Membelit BUMN
Lantas, apakah restrukturisasi ini memang mendesak dilakukan?
Akademisi dari Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty menilai perombakan ini krusial dilakukan lantaran BUMN kerap dilanda masalah, mulai dari adanya temuan praktik korupsi, birokrasi berbelit-belit hingga keuangan BUMN yang buruk.
Sedikitnya ada delapan BUMN yang tersandung kasus korupsi ketika Kementerian BUMN dipimpin Rini Soemarno, seperti direktur PT Krakatau Steel Tbk., direktur keuangan PT Angkasa Pura II hingga dirut PTPN III.
BUMN yang dilanda krisis keuangan juga tak sedikit. Misal, PT Jiwasraya, PT Bumiputera, PT Pertamina, Krakatau Steel dan lain sebagainya. PT Garuda Indonesia Tbk. bahkan sempat memoles laporan keuangan agar terlihat baik.
“Jadi [perombakan di Kementerian BUMN] urgent. BUMN kita banyak bermasalah. Ada BUMN yang bentar-bentar minta modal. Jadi kayak manja ya,” ucap Telisa saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (20/11/2019).
Namun demikian, Telisa berharap proses perombakan tetap dilakukan secara hati-hati dan tak tebang pilih. Selain itu, perombakan juga diharapkan tidak malah membuat persoalan baru di masa mendatang.
Salah satu yang menjadi catatan Telisa terkait keputusan Erick adalah soal penempatan eks deputi menjadi wakil direktur utama di BUMN. Menurut Telisa, keputusan Menteri BUMN justru terkesan hanya menambah beban, terutama di BUMN.
“Ini perlu dicek kenapa perlu jabatan wakil direktur utama itu. Kalau deputi pakai APBN, dia jadi wakil direktur kan jadi beban BUMN. Jangan pindah kantong kiri ke kanan aja. Sama aja kan membebani uang negara,” ucap Telisa.
Terkait pembentukan inspektorat jenderal (irjen), Telisa menilai posisi struktural itu cukup penting karena bertujuan untuk mengawasi keuangan kementerian. Namun, ia berharap peran irjen juga bisa mencakup pengawasan kinerja BUMN.
Sementara itu, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas menilai pembentukan inspektorat jenderal di tubuh Kementerian BUMN belum tentu akan menyelesaikan masalah lembaga itu.
Terlepas niat positifnya, Firdaus mencatat seringkali jabatan inspektur jenderal kerap tidak efektif karena temuannya kerap sebatas rekomendasi dan seringkali tidak ditindaklanjuti.
Menurut Firdaus, pembentukan inspektorat ini perlu diberi kewenangan lebih baik langkah hukum maupun tindakan administarif sampai pembenahan budaya. Dia khawatir bila pembentukan irjen ini malah hanya berujung pada formalitas saja.
Sebab berkaca dari berbagai program pemerintah seperti sistem manajemen anti suap sampai peniup peluit saat ini praktis tidak efektif membendung masalah.
“Coba liat Irjen di tiap lembaga seringkali tidak pas untuk pengawasan maupun tindakan hukum. Perlu diberi kewenangan lebih jangan sekadar rekomendasi nanti jadi formalitas saja,” ucap Firdaus saat dihubungi reporter Tirto.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Mohammad Faisal menilai perombakan struktur organisasi umum dilakukan. Namun demikian, ia berharap kali ini orang-orang yang mengisi jabatan baru harus berintegritas.
Menurutnya, BUMN merupakan lahan yang paling diincar sejumlah pihak untuk mendulang keuntungan. Alhasil, tidak sedikit kebijakan BUMN yang diintervensi. Peran BUMN dalam mendorong perekonomian pun menjadi percuma.
“Pergantian personil umum terjadi. Namun juga jangan sampai perombakan hanya mengganti orang-orang lama dengan wajah baru yang lebih dekat dengan menterinya,” ucap Faisal saat dihubungi reporter Tirto.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Ringkang Gumiwang