tirto.id - Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop pernah dikritik keras di negaranya gara-gara emoji. Kehebohan itu bermula dari perkara yang tak bisa dibilang serius-serius amat: wawancara dengan Buzzfeed via aplikasi pesan iMessage dan Bishop diminta hanya menjawab pertanyaan dengan emoji.
Apa isi wawancaranya? Sederhana saja. Bishop diminta menggambarkan Presiden Rusia Vladimir Putin, lalu dijawab dengan emoji marah berwarna merah. Wawancara itu berbuntut respons aduhai di parlemen, khususnya dari senator dari Partai Buruh.
Menanggapi hal itu, seperti dikutip situs resmi Kementerian Luar Negeri Australia, Bishop menyatakan: "Saya terkejut bahwa begitu sedikit anggota Senator Buruh yang memahami konteks bagaimana Twitter dan emoji digunakan. Dalam kasus Presiden Putin, dia menggambarkan diri sebagai pria yang keras. [...S]aya pikir dia akan senang dengan penerapan emoji yang saya gunakan untuk menggambarkannya," katanya.
Meski telah dikritik, Bishop terus mengukuhkan diri sebagai "ahli" dalam menggunakan emoji. Seperti dikutip Twitplomacy, pada 22 Februari 2016 ia mengemas tiga emoji menjadi twit yang sangat serius, yang meringkas upaya bantuan Australia setelah topan tropis Winston melanda Fiji. Twitnya dianggap luar biasa karena dia bisa menyebutkan Menteri Pertahanan Australia, Maryse Payne, dua tagar, serta tautan ke situs web menteri luar negeri ke dalam satu twit.
Diplomasi Emoji
Emoji yang juga dikenal sebagai ideogram atau smiley telah banyak digunakan sebagai pelengkap atau pengganti teks biasa. Merujuk Xuan Lu (2016) dalam penelitiannya "Learning from the Ubiquitous Language: an Empirical Analysis of Emoji Usage of Smartphone Users", lema emoji berasal dari bahasa Jepang: "e" berarti gambar dan "moji berarti karakter. Fitur ini pertama kali digunakan oleh Jepang sebagai gambar karakter dalam pesan elektronik dan halaman web.
Sejak September 2015, Unicode—konsorsium yang membuat semua orang di dunia dapat menggunakan komputer dengan berbagai bahasa—telah menyediakan daftar emoji sebanyak 1.281 yang dapat digunakan di seluruh dunia. Setelah dibikin lembaga konsorsium tersebut, saat ini emoji mampu melintasi berbagai bahasa di banyak negara di dunia.
Seiring pesatnya perkembangan teknologi informasi di era digital ini, emoji semakin populer: dibagikan oleh pengguna media sosial di banyak negara dengan berbagai macam demografi dan dengan berbagai latar belakang budaya. Bahkan, emoji "wajah dengan tangisan kebahagiaan" terpilih sebagai "Oxford Dictionaries Word of 2015" karena dianggap sebagai bahasa yang paling baik merepresentasikan suasana hati di seluruh dunia pada tahun itu.
Emoji digunakan dalam komunikasi sehari-hari, dalam pemasaran, dalam kampanye persuasif, dan bahkan untuk berdiplomasi. Ia lebih dari sekadar simbol yang merepresentasikan sebuah ungkapan kesenangan, kesedihan, kelucuan, kegalauan.
Piktogram ini berkembang hingga dapat menawarkan cara yang benar-benar baru dan lebih mudah dicerna secara visual untuk mengekspresikan konsep-konsep yang lebih kompleks yang digunakan lebih sering oleh pemimpin dunia dan diplomat di media sosial.
Seperti dirangkum Twiplomacy dan disebut pada awal tulisan ini, banyak tokoh negara yang mengurus urusan internasional menggunakan emoji dalam menyampaikan pesan lewat media sosial mereka, khususnya Twitter.
Presiden Kolombia Juan Manuel Santos, misalnya, sering menggunakan emoji bendera Kolombia selama kualifikasi Piala Dunia Sepak Bola FIFA antara Kolumbia dan Ekuador pada Maret 2016. Kementerian Luar Pegeri Perancis menggunakan bendera Perancis, Jerman, dan Spanyol dalam twit tentang pertemuan antara tiga menteri Urusan Eropa. Harlem Desir dari Perancis dan Michael Roth dari Jerman juga tak jarang memeriahkan twitnya dengan bendera.
Departemen Perdagangan Internasional Komisi Eropa dalam akun twitternya @Trade-EU menggunakan serangkaian emoji untuk mengisi kolom biografinya. Twitnya juga lebih mudah dicerna dengan rata-rata menggunakan tiga emoji per twit. Terakhir, Perdana Menteri Denmark Lars Lokke Rasmussen juga sering menggunakan emoji-emoji klasik yang sering muncul di linimasa akun Twitter-nya.
Menurut Xuan Lu, dkk dalam penelitiannya, emoji dapat menjadi sinyal untuk memberi tahu perbedaan antara pengguna dari berbagai negara bahkan tanpa informasi tekstual.
Selain itu, penggunaan emoji juga dapat menangkap perbedaan budaya pengguna yang datang dari berbagai negara yang berbeda, tapi berbicara dengan bahasa alami yang sama. Misalnya, pengguna dari Brazil menggunakan emoji yang serupa dengan mereka yang berasal dari negara lain di Amerika Selatan.
Sementara itu, Tandyonomanu dan Tsuroyya dalam penelitiannya yang berjudul "Emoji: Representations of Nonverbal Symbols in Communication Technology" (2018) mengungkapkan bahwa emoji dapat membawa ekspresi emosional untuk pengguna aplikasi pesan daring. Menurut penelitian itu, pengguna emoji percaya bahwa pesan emoji digunakan sebagai pelengkap untuk percakapan nonverbal via aplikasi pesan daring.
Kedua peneliti itu juga memaparkan bahwa jarang terjadi salah pengertian dalam pesan yang memuat emoji. Dalam kasus Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop, emoji bisa diandalkan saat menjalankan tugas negara dan berdiplomasi. "Emoji adalah cara kontemporer yang umum dipakai dalam mengutarakan maksud-maksud tertentu," kata Bishop.
Editor: Maulida Sri Handayani