tirto.id - Emoji membuat berkomunikasi daring kini tak melulu berbasiskan huruf, angka dan tanda baca lagi. Dengan satu ikon emoji kita bisa langsung tahu pesan apa yang disampaikan. Kehadiran emoji yang sedemikian penting inilah yang kemudian melahirkan Hari Emoji Dunia.
Pemakaian Emoji di gawai pertama kali dilakukan oleh NTT DoCoMo, perusahaan Jepang yang waktu itu memiliki produk pocket belt (pager). Pada 1995, emoji bergambar jantung hati dirilis dan membuat NTT DoCoMo menguasai 40 persen market share. Inovasi pun dilakukan. Beban itu ada di tangan Shigetaka Kurita.
Dihadapkan dengan beberapa pilihan, Kurita meraih beberapa kertas dan pensil, mengumpulkan timnya, dan mulai bekerja. Dia tahu apa yang mesti dia lakukan. Pertama, memastikan ukuran karakter itu tak lebih dari 12 pixel. Alhasil 176 karakter dirasa sudah cukup untuk menggambarkan seluruh emosi manusia.
Untuk inspirasi, Kurita melihat ke berbagai elemen masa kecilnya, termasuk manga dan kanji. Ia mencari simbol yang dapat merangsang pikiran atau emosi. Syarat lain adalah simbolnya jangan sampai memicu rasa suka atau tidak suka yang ekstrem, layaknya yang mungkin terjadi dengan sebuah gambar biasa.
"Dalam komik Jepang, ada banyak simbol yang berbeda. Ketika seseorang mendapat ide, maka akan selalu muncul bola lampu. Dalam banyak kasus saya memakai ide itu sebagai petunjuk dan menyusunnya ulang untuk membuat lebih simpel."
“Dari kanji, saya mengambil kemampuan untuk mengekspresikan ide-ide abstrak seperti" rahasia "dan" cinta "dalam satu karakter,” ucap Kurita kepada The Verge. Emoji yang dibuat Kurita membuat pengguna dapat leluasa mengekspresikan emosi atau mood di surat elektronik maupun pesan singkat. 176 karakter emoji inilah yang jadi landasan bagi emoji pada generasi selanjutnya.
Kurita membuat emoji sekitar 10 tahun sebelum Apple meluncurkan App Store. Oleh App Store-lah emoji populer dan menyebar ke seluruh dunia. Dilansir dari about.com Emoji menjadi sangat populer pada tahun 2011, berkat iOS 5 yang dirilis oleh Apple. Dalam iOS 5, pengguna iPhone bisa mengaktifkan keyboard emoji pada pesan teks mereka.
Sejak saat itulah gerakan penggunan emoji menjamur di berbagai macam situs jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram dan lain-lain. Hasil survei baru-baru ini menemukan bahwa 74 persen pengguna gawai di Cina dan Amerika Serikat menggunakan emoji saat berkomunikasi.
Masalah akan muncul saat pesan emoji dikirimkan pada platform dan sistem operasi yang berbeda. Unicode Consortium sebuah lembaga yang menstandardisasikan kode, teks dan tulisan di seluruh dunia memang sudah mengatur agar penggambaran emoji bisa ditampilkan secara universal pada perangkat apapun. Namun, lembaga ini membebaskan tiap manufaktur untuk menvisualisasi ulang gambar emojinya sendiri-sendiri. Wajar jika emoji yang tampil di Android akan berbeda Apple, walaupun perbedaan itu kecil hal ini akan memunculkan persepsi yang berbeda.
Analisa inilah yang dilakukan oleh Hannah Millers, seorang peneliti GroupLens, di Departemen Ilmu Komputer dan Rekayasa University of Minnesota. Dia meneliti terkait miskomunikasi terkait emoji ini pada lima platform Apple, Microsoft, Samsung, Google dan LG.
Kesimpulan dari penelitian itu adalah “Untuk 5 platform rendering yang berbeda dari 22 emoji karakter Unicode, kami menemukan perselisihan baik dari segi sentimen dan semantik,” ucap Hannah. Perbedaan sentimen rata-rata antar platform berkisar 1.88 poin.
Miskomunikasi ini tentunya akan jadi hal bahaya. Neil Cohn seorang profesor dan ahli linguistik di University of California, San Diego menyebut emoji telah jadi bagian dalam evolusi peradaban manusia dalam konteks berkomunikasi. “Saya percaya bahwa emoji akan sangat berguna untuk meningkatkan dan memperkaya teks percakapan digital kontemporer kita dan interaksi yang menyuntikkan catatan humor, kasih sayang atau bahkan melankolis menjadi pesan yang paling ringkas,” ucapnya kepada BBC.
Dalam konteks neuroscience, peneliti dari Tokyo Denki University di Jepang mendapat temuan menarik pada 2006. Penelitian ini mengaitkan komunikasi lewat emoticon dengan kegiatan otak yang dipantau melalui menggunakan MRI fungsional (fMRI).
Ditemukan bahwa emoticon membuat penyampaian emosi lebih terasa sekaligus memperkaya komunikasi manusia. “Hasil percobaan menunjukkan bahwa emoticon menyampaikan emosi tanpa kognisi wajah. Hasil ini sangat penting dalam rangka untuk mempromosikan pemahaman tentang bagaimana wajah abstrak mempengaruhi perilaku kita,” ucap Masahide Yuasa, pemimpin proyek penelitian.
Sebagai tindak lanjut studi , Yuasa dan rekan-rekannya kembali melanjutkan penelitian pada 2011 lalu. Kali ini data yang dikumpulkan adalah gambar otak peserta. Hasilnya tetap sama seperti di atas. Namun kali ini, mereka juga menemukan aktivitas otak meningkat di daerah Broca, daerah yang terlibat dalam pemahaman teks. Dengan kata lain, sejauh otak yang bersangkutan, emoticon tampaknya mengantifkan garis antara komunikasi verbal dan non-verbal.
"Tiga puluh tahun lalu, aktivasi ini daerah otak ini tidak akan bekerja saat anda disodorkan emoticon :-)," katanya.
"Tapi dunia kita telah berubah dan begitu juga kami." Katanya.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti