Menuju konten utama

Emisi Karbon Besar, Truk Ilegal Bikin Sektor Tambang Kian Runyam

Banyak truk operasional di kawasan tambang ditengarai masih menggunakan EURO 2, bukan EURO 4. Hal demikian berpotensi memperparah kerusakan lingkungan.

Emisi Karbon Besar, Truk Ilegal Bikin Sektor Tambang Kian Runyam
Ilustrasi Kendaraan Tambang. foto/istimewa

tirto.id - Laporan Neraca Arus Energi dan Neraca Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia 2018-2022 Volume 4 rilisan Badan Pusat Statistika (2024) menyebut sektor pertambangan dan penggalian sebagai salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di Indonesia. Angkanya: 16.144 Gg CO2e pada 2022.

Pertambangan punya kontribusi signifikan terhadap emisi karbon bukan tanpa alasan. Sektor ini lazimnya membuka lahan dengan membabat hutan, di samping menggunakan alat berat dan moda transportasi berbahan diesel.

Fakta bahwa dunia pertambangan berkontribusi pada besarnya emisi karbon diakui oleh Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi dan Batu Bara Indonesia (Aspebindo), Anggawira.

"Memang benar, operasional pertambangan, khususnya transportasi batu bara dan mineral masih menjadi kontributor utama emisi karbon," kata Anggawira, Selasa (12/8).

Anggawira menekankan, untuk mengurangi emisi karbon di industri pertambangan, transisi menuju net zero emission perlu diupayakan. Salah satunya, mendorong penerapan inovasi teknologi seperti hybrid haul truck, conveyor belt listrik, dan panel surya di lokasi tambang.

"Pemerintah perlu memberikan insentif transisi hijau, misalnya subsidi untuk elektrifikasi alat berat atau akses kredit hijau untuk tambang yang memenuhi standar ESG," sambung Anggawira.

Khusus kendaraan operasional tambang, pemerintah Indonesia sendiri melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2017 mengharuskan Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M (angkutan orang), N (angkutan barang), dan O (penarik gandengan/tempel) menerapkan EURO 4.

EURO 4 sendiri merupakan standar emisi yang ditetapkan Uni Eropa untuk kendaraan bermotor yang bertujuan mengurangi polusi udara dengan membatasi kadar emisi gas buang seperti nitrogen oksida (NOx), karbon monoksida (CO), hidrokarbon (HC), dan partikel padat (PM).

Tidak Adil

Di satu sisi, produsen kendaraan bermotor di Indonesia sudah berupaya mengikuti aturan dengan memproduksi kendaraan-kendaraan dengan standar EURO 4. Di sisi lain, fakta di lapangan menunjukkan bahwa kendaraan yang digunakan di area tambang masih banyak yang belum menerapkan standar EURO 4. Situasi ini semakin pelik setelah maraknya truk ilegal memasuki kawasan tambang di Indonesia. Truk-truk dari Cina ini ditengarai masih menerapkan standar emisi EURO 2.

"Nah truk ilegal yang masuk justru sebagian masih menggunakan teknologi Euro 2, maka orang awam bilang truk ini tangguh dengan kualitas BBM di Indonesia," ungkap Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno saat dihubungi reporter Tirto.id awal bulan ini.

Djoko menjelaskan, truk-truk dari Cina bisa masuk ke Indonesia dalam kondisi "gelondongan" atau sudah dirakit (Complete Build Up) karena pemerintah menganggapnya sebagai masterlist atau barang modal investasi. Pada saat bersamaan, truk-truk ini juga diduga tidak mengantongi Sertifikat Uji Tipe (SUT) dan Surat Registrasi Uji Tipe (SRUT), dan masuk ke Indonesia tanpa melalui pemeriksaan bea cukai. SUT dan SRUT adalah legalitas yang mesti dimiliki produsen kendaraan bermotor sebelum barangnya mengaspal di jalanan Indonesia.

"Ini yang menjadi aneh atau tidak adil. Dari segi harga truk ilegal menjadi lebih murah, dan dari segi legalitas truk-truk resmi yang ada di Indonesia menjadi ribet urus surat-suratnya," ungkap Djoko

Djoko berpendapat, pemerintah harus segera mengeluarkan aturan untuk menertibkan keberadaan truk-truk ilegal dari Cina. Alasannya, tanpa ada aturan yang jelas, industri truk tanah air terancam babak belur, sekalipun mereka sudah mati-matian mengikuti prosedur.

"Mayoritas mereka sudah mengikuti regulasi. Bukan hanya soal teknologi Euro 4, tapi juga soal Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Mereka sudah membangun pabrikan dan menyerap banyak tenaga kerja. Pelan tapi pasti, jika mereka kalah bersaing, mereka akan tutup. Dampak ekonomi dan sosialnya begitu besar. Belum lagi berapa besar potensi pajak yang akan hilang," papar Djoko.

Dampak lainnya, jika truk Cina sampai diminati pasar lantaran lebih praktis dalam urusan legalitas dan lebih murah dalam perkara harga, kelancaran lalu lintas akan terancam. "Volume kendaraan tidak sebanding dengan kapasitas jalanannya," kata Djoko.

Aturan Mendesak Ditegakkan

Senada dengan Djoko, Pengamat Ekonomi dan Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menyebut pemerintah harus menindak tegas keberadaan truk ilegal. Fahmy menilai ada dua alasan mengapa truk-truk itu harus segera ditertibkan.

"Pertama, truk seharusnya tidak masuk dalam kondisi siap pakai, karena semua barang impor harus dirakit di dalam negeri. Masterlist investasi tetap harus taat aturan," kata Fahmy kepada reporter Tirto.id, Kamis (21/8) lalu. Alasan kedua, sambung Fahmy, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2017 jelas-jelas mengharuskan truk menerapkan standar EURO 4.

"Di situ disebutkan, truk wajib menggunakan EURO 4. Kalau masih pakai EURO 2, yang ada malah memperparah kerusakan lingkungan. Truk-truk ilegal itu harus ditertibkan karena melanggar aturan," sambung Fahmy.

Fahmy menegaskan, aturan mesti ditegakkan agar tidak menjadi preseden. "Jangan kompromi! Kalau aturannya tidak dipatuhi, nanti akan jadi preseden bagi perusahaan asing untuk melanggar peraturan yang ada.”

Tirto.id sudah berupaya menghubungi sejumlah pejabat di lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup serta Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM). Hingga tulisan ini dirampungkan, Jumat (29/8/2025), semua pertanyaan yang dikirimkan reporter Tirto.id atas saran para pejabat tersebut belum mendapatkan jawaban.

"Saat ini pertanyaan Saudara sedang dalam proses tindak lanjut oleh unit teknis Direktorat Udara. Mohon menunggu informasi selanjutnya," bunyi balasan Layanan Pengaduan dan Informasi Humas Kementerian Lingkungan Hidup, Jumat lalu (22/8/2025).

Hal yang sama disampaikan Direktur Wilayah V Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Ady Soegiharto. "Izin saya sedang berkoordinasi dengan unit teknis. Segera kami sampaikan," kata Ady, Senin (25/8/2025).

Baca juga artikel terkait ISU LINGKUNGAN atau tulisan lainnya

tirto.id - Insider
Reporter: Zulkifli Songyanan
Editor: Dwi Ayuningtyas