Menuju konten utama

Ekonom: Pajak Hiburan Naik Jadi 40% Tak Pengaruhi Penerimaan DKI

Bawono Kristiaji menyebut, kenaikan tarif Pajak Atas Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) tak akan mempengaruhi penerimaan pajak hiburan di DKI Jakarta.

Ekonom: Pajak Hiburan Naik Jadi 40% Tak Pengaruhi Penerimaan DKI
Ilustrasi informasi pajak. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

tirto.id - Director Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Fiscal Research & Advisory, Bawono Kristiaji menyebut, kenaikan tarif Pajak Atas Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) tak akan mempengaruhi penerimaan pajak hiburan di DKI Jakarta. Pemerintah sebelumnya menetapkan pajak khususnya diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa naik dengan batas bawah 40 persen dan batas atas 70 persen.

“Adanya kenaikan tarif PBJT hiburan khusus menurut saya tidak akan terlalu berpengaruh signifikan terhadap penerimaan PBJT hiburan secara umum,” kata Bawono kepada Tirto, Rabu (17/1/2024).

Menurut Bawono, jenis hiburan khusus yang tarif pajaknya disesuaikan mencapai 40 persen tidak serta merta berpengaruh positif bagi penerimaan. Sebab, cakupan wajib pajaknya tidak terlalu besar.

“Persoalan di sektor hiburan khusus ini justru bukan terletak pada tinggi rendahnya tarif, tapi kemampuan pemerintah dalam memetakan potensi dan aktivitas ekonominya secara tepat,” ucap dia.

“Kalaupun ada yang naik hingga 40 persen hanyalah jenis pajak hiburan khusus seperti spa, karaoke, bar, dan sebagainya yang cakupannya lebih sedikit atau tax base-nya terbatas,” tambahnya.

Dia melihat, secara umum, ambang batas tarif atas PBJT hiburan dalam kebijakan terbaru Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2024 justru ada kategori hiburan yang diturunkan, dari maksimal 35 persen menjadi maksimal 10 persen.

“Dan itu berlaku secara umum untuk seluruh jasa hiburan yang notabene mencakup banyak hal mulai dari pagelaran busana, panti pijat, konser, permainan ketangkasan, dan sebagainya,” ucap Bawono.

Pemerintah melakukan penyesuaian tarif untuk menyeragamkan dengan tarif pungutan berbasis konsumsi lainnya seperti makanan dan/atau minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, dan jasa parkir.

Selain itu, secara umum pemerintah juga memberikan pengecualian terkait jasa kesenian dan hiburan untuk promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran.

Lebih lanjut, menurut dia, untuk meningkatkan penerimaan sektor hiburan khusus seperti diskotek mensyaratkan adanya terobosan dalam pengawasan dan administrasi, bukan menyoal pada kebijakan tarif.

Sebagai informasi, pajak hiburan berkontribusi relatif sedikit terhadap total penerimaan pajak di setiap daerah. Bahkan, kontribusi pajak hiburan masih jauh lebih rendah daripada pajak kendaraan bermotor, PBB, dan sebagainya.

Rata-rata nasional selama periode 2015 sampai dengan 2019, pajak hiburan hanya menyumbang pada kisaran kurang lebih 2 persen. Sedangkan, saat pandemi sampai dengan 2022, kontribusi pajak tersebut turun hingga kurang dari 1 persen.

“Secara tidak langsung menyiratkan bahwa sektor hiburan juga turut terdampak dan belum sepenuhnya recover. Namun demikian, di 2022 sudah terjadi pertumbuhan penerimaan yang jauh lebih baik,” ucap Bawono.

Untuk DKI Jakarta, kontribusi pajak hiburan terhadap total pajak daerah sebelum pandemi (2015-2019) tercatat tidak jauh berbeda yaitu sebesar 2,2 persen. Sedangkan selama 3 tahun terakhir kontribusinya menyusut hingga kurang dari 0,7 persen.

Baca juga artikel terkait PAJAK HIBURAN NAIK 40 atau tulisan lainnya dari Faesal Mubarok

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Faesal Mubarok
Penulis: Faesal Mubarok
Editor: Anggun P Situmorang