tirto.id - Tanggal 26 Januari 2019, tepat hari ini dua tahun lalu, pendiri Sinar Mas Group, Eka Tjipta Widjaja wafat pada usia 98 tahun. Gandhi Sulistiyanto, Managing Director Sinar Mas, menjelaskan faktor usia dan kesehatan sebagai penyebab kematian salah satu taipan Indonesia ini.
Nama Eka Tjipta Widjaja identik dengan grup Sinar Mas. Eka Tjipta lahir di Quangzhou, selatan Fujian, Cina. Ia merintis usaha sejak remaja sampai akhirnya berhasil membesarkan bisnis hingga menggurita dengan enam pilar bisnis, antara lain pulp dan kertas, agribisnis dan pangan, keuangan, pengembang dan real estate, telekomunikasi, serta energi dan infrastruktur.
Eka Tjipta atau Oei Ek Tjong telah mengenal wirausaha sejak kanak-kanak. Ia membantu orang tuanya berdagang toko kelontong pada usia sembilan tahun, setibanya di Indonesia setelah bermigrasi dari Quangzhou. Ia berjualan biskuit dan permen dari pintu ke pintu dan cukup berhasil, hingga membawa Ek Tjong berhubungan dengan importir Belanda. Selain itu, ia juga mulai berdagang minyak goreng dan menjadi kontraktor untuk kuburan orang kaya.
Pada 1950, Oei Ek Tjong mulai berdagang kopra hingga ke Pulau Selayar, Sulawesi Selatan. Ia juga pernah menjadi pemasok kebutuhan TNI di Indonesia Timur. Setelah itu, ia kemudian pindah Surabaya. Namun, pada 1966 ia kembali mengadu untung ke Jakarta.
Dalam buku Sudwikatmono: Sebuah Perjalanan di Antara Sahabat (1997) disebutkan, Oei Ek Tjong mendirikan usaha dagang dengan nama CV Sinar Mas di Pasar Pagi, Jakarta.
Usaha awal CV Sinar Mas adalah aktivitas ekspor barang dan impor tekstil. Tiga dekade setelah menekuni usaha sejak usia 15 tahun, Eka Tjipta lantas mengembangkan bisnis minyak goreng. Daerah utama penghasil komoditas minyak kelapa (kopra) menjadi basis usaha perusahaan. Perusahaan kilang minyak kelapa dengan nama CV Bitung Manado Oli Ltd pun berdiri di Sulawesi Utara pada 1968.
Produk yang dihasilkan adalah minyak goreng dengan merek dagang Bimoli, yang sempat menguasai 60 persen pangsa pasar minyak goreng tanah air. Bisnis sektor perkebunan dan bahan pangan ini menjadi pundi uang Eka Tjipta yang membuatnya menjadi kaya raya. Sampai akhirnya ia harus melepaskan bisnis Bimoli dari genggaman dan merintis merek minyak goreng lainnya bernama Filma dan Kunci Mas.
Eka Tjipta juga mengembangkan sayap ke bisnis perumahan dan pabrik kertas. Tahun 1972 menjadi tahun penentu kepastian tentang perumahan di Indonesia.
Pemerintah Orde Baru tengah melakukan uji coba terhadap pembangunan perumahan sederhana. Berbagai persiapan yang dilakukan di antaranya pembentukan badan koordinasi perumahan nasional (BKPN), pembentukan Real Estate Indonesia (REI), serta merencanakan program Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Eka Tjipta lantas mendirikan anak usaha bisnis konstruksi, pengembang, dan real estate dengan nama PT Duta Pertiwi Tbk. Kota Bunga, Bogor, Kota Wisata, dan Legenda Wisata di Cibubur, serta Grand Wisata di Bekasi, hanya segelintir proyek perumahan yang telah diwujudkan oleh PT Duta Pertiwi Tbk. Dan kini menjadi induk di bawah mendera Sinar Mas Land, yang juga mengembangkan kota satelit Bumi Serpong Damai (BSD) sejak 2011.
Selain perumahan, Duta Pertiwi juga membangun perkantoran, pertokoan, pusat perbelanjaan seperti International Trade Center (ITC) Mangga Dua, Mega ITC Cempaka Mas, Pusat Niaga Duta Mas Fatmawati, Ruko Roxy Mas, ITC Fatmawati, serta Mangga Dua Center di Surabaya. Hotel dan apartemen pun dibangun Sinar Mas. Perusahaan holding properti ini tercatat di BEI, dengan kode DUTI untuk Duta Pertiwi dan BSDE untuk BSD.
Keberhasilan dalam bisnis komoditas mendorong Eka Tjipta melakukan diversifikasi dengan mengakuisisi pabrik pulp dan kertas pertamanya pada 1972. Ia mendirikan pabrik soda kimia bernama Tjiwi Kimia, yang kemudian menjadi pabrik kertas pertama Sinar Mas. Kegiatan usaha utama Tjiwi Kimia adalah industri kertas, produk kertas, pengemasan, dan lainnya. Perseroan tercatat di bursa saham dengan kode emiten TKIM.
Sinar Dunia lebih dikenal dengan SiDu, Paperline, Paperline Gold, Paperline Plus, Paperline 2000, Foopak Packaging, adalah segelintir merek hasil produksi dan dipasarkan oleh Tjiwi Kimia. Pabrik ini lantas bertransformasi menjadi Asia Pulp & Paper.
Satu dekade kemudian, Eka Tjipta melalui Sinar Mas Group berekspansi ke layanan keuangan. Kegiatan usaha di bidang sewa pembiayaan, anjak piutang dan pembiayaan konsumen ini awalnya berada di bawah PT Internas Arta Leasing Company. Setelah itu, manajemen memutuskan mengubah nama perusahaan menjadi PT Internas Arta Finance Company, sebelum akhirnya kembali mengubah nama menjadi PT Sinar Mas Multiartha.
Induk holding company yang menaungi anak usaha bidang layanan keuangan seperti perbankan, sekuritas, asuransi, dan trading, mencatatkan diri di bursa efek dengan kode saham SMMA. Di bidang asuransi, ada PT Asuransi Sinar Mas dan Sinar Mas Insurance dengan kepemilikan masing-masing 100 persen. Selain itu ada PT Asuransi Jiwa Sinar Mas MSIG yang kepemilikannya masing-masing sebesar 50 persen antara Sinar Mas Multiartha dengan grup asuransi asal Jepang, Mitsui Sumitomo Insurance Co., Ltd.
Sinar Mas Multiartha melalui anak usahanya PT Asuransi Sinar Mas turut mengakuisisi 50 persen saham di PT Asuransi Jiwa Mega Life. Sinar Mas Multiartha juga memiliki masing-masing 48 persen dan 30 persen saham di PT Asuransi Summit Oto dan PT LIG Insurance.
Untuk sektor perbankan, Sinar Mas Multiartha mempunyai anak usaha bernama PT Bank Sinarmas Tbk (BSIM) dengan kepemilikan saham sebesar 59,98 persen. Untuk perusahaan pengelolaan dana, Sinar Mas Multiartha memiliki PT Sinarmas Sekuritas, Sinarmas Asset Management dan Sinarmas Futures. Di bidang pembiayaan, Sinar Mas Multiartha memiliki dua anak usaha yaitu PT Sinar Mas Multifinance dan PT AB Sinar Mas Multifinance dengan kepemilikan saham masing-masing 100 persen.
Sinar Mas lantas merambah bisnis energi yang bertujuan memfasilitasi listrik ke pabrik terutama APP, dengan mendirikan PT Dian Swastatika Sentosa tahun 1996. Tujuannya untuk memfasilitasi listrik ke pabrik grup Sinar Mas, terutama ke pabrik APP.
Bisnis operator telekomunikasi dan internet juga dirambah Sinar Mas dengan mendirikan PT Smart Telecom dengan produknya bernama Smart Fren. Perusahaan ini melantai di bursa saham dengan kode emiten FREN. Tak ingin ketinggalan di era financial technology (fintech) yang berkembang saat ini, Sinar Mas juga meramaikan bisnis peer-to-peer lending dengan produk Danamas.
Beberapa anak usaha grup Sinar Mas yang juga melantai di bursa saham adalah PT Sinar Mas Agro Resources & Technology Tbk (SMAR), PT Puradelta Lestari Tbk (DMAS), dan PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (INKP).
Berkat gurita bisnis Sinar Mas, Eka Tjipta Widjaja menjadi orang terkaya urutan ke-3 di Indonesia dengan total kekayaan bersih mencapai $8,6 miliar per Desember 2018 menurut catatan Forbes.
Dari sekian capaian gemilang, entitas bisnis Sinar Mas sempat tersandung kasus hukum antara lain pembakaran hutan yang masif terjadi di beberapa wilayah Indonesia pada 2014 lalu.
Laporan yang dirilis Koalisi Anti Mafia Hutan menyebut bahwa APP memiliki hubungan kepemilikan atau kepengurusan dari pemegang izin Hutan Tanaman Industri (HTI) yang bermasalah soal kebakaran hutan, PT Bumi Mekar Hijau (BMH). Perusahaan tersebut diputus bersalah oleh Pengadilan Tinggi Palembang pada Agustus 2016 dan harus membayar ganti rugi sebesar Rp78,5 miliar.
Pada medio Mei 2018, PT Duta Pertiwi juga sempat tersandung kasus hukum di PN Jakarta Pusat. Sebanyak 14 warga Duri Pulo, Gambir, Jakarta Pusat, menggugat perusahaan senilai Rp5,28 triliun. Alasannya, lahan seluas 29,361 hektar yang termasuk dalam sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Pusat kepada Duta Pertiwi, merupakan lahan warga.
Belum lagi kasus suap yang menyeret Wakil Direktur Utama PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (PT SMART) Edy Saputra Suradja, yang didakwa telah memberikan suap sebesar Rp240 juta kepada sejumlah anggota DPRD Kalimantan Tengah. Edy menggunakan uang perusahaan untuk melakukan transaksi haram tersebut.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 28 Januari 2019. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Suhendra & Irfan Teguh