tirto.id - Koalisi Anti Mafia Hutan (KAMH) menilai ada potensi pengaturan harga (price fixing) yang dilakukan puluhan perusahaan pemasok kayu kepada Asia Pulp & Paper (APP). APP adalah salah satu perusahaan pulp dan kertas terbesar di dunia sekaligus anak perusahaan Grup Sinar Mas.
Anggapan itu muncul setelah koalisi yang terdiri dari 11 LSM—antara lain Auriga, Elsam, Haki, IBC, ICW, Jikalahari, Walhi, WWF, dan YLBHI—mengungkapkan indikasi keterkaitan langsung antara 24 perusahaan pemasok kayu yang disebut sebagai "mitra independen" APP dan Grup Sinar Mas.
"Kalau memang riil mereka adalah [mitra] independen, ketika jual kayu pasti mereka cari [penawaran] tertinggi. Ketika [kepemilikan dan direksi] mereka terkonsolidasi, itu akan sangat mungkin menetapkan harga," kata Peneliti Hukum dari Auriga, Syahrul Fitra, di Kantor YLBHI, Jakarta, Rabu (30/5/2018).
Koalisi pun meminta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan pemeriksaan terhadap Grup Sinar Mas. Dasar hukum yang mereka pakai adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang tidak memperbolehkan pengaturan harga dalam dunia usaha.
Riset Koalisi Anti Mafia Hutan bertajuk Tapi Buka Dulu Topengmu: Analisis Struktur Kepemilikan dan Kepengurusan Perusahaan Pemasok Kayu Asia Pulp & Paper (APP) di Indonesia menemukan banyak pemegang saham, komisaris, dan direktur pada 24 perusahaan pemasok kayu independen juga memegang jabatan atau mantan karyawan di perusahaan yang berafiliasi dengan Grup Sinar Mas.
Sumber utama yang digunakan oleh koalisi dalam laporan ini adalah profil perusahaan (yang sifatnya terbuka untuk publik) dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kemenkumham. Keseluruhan analisa dilakukan terhadap 78 perusahaan dengan data relatif mutakhir, terakhir 16 April 2018.
Kepemilikan saham mayoritas dari 24 perusahaan pemasok independen ini mengalir ke empat orang saja, lewat 21 perusahaan lapis kedua atau lapis ketiga (dalam laporan disebut "perusahaan induk"). Sebagian besar berdomisili sama dengan Grup Sinar Mas, yaitu di Plaza BII Thamrin, Jakarta, dan Wisma Indah Kiat di Serpong, Tangerang.
Saham minoritas pada 20 dari 24 perusahaan pemasok independen lainnya mengalir lewat 14 perusahaan induk dan juga berujung pada empat nama perorangan.
Ringkasnya, 24 perusahaan ini terkait dengan delapan orang pemilik individu, dengan inisial TW, SN, HA, MG, FM, MS, ST dan LTN. Tujuh orang di antaranya terindikasi sebagai pejabat atau mantan pejabat yang terafiliasi dengan Grup Sinar Mas. Hanya FM yang belum terkonfirmasi keterkaitannya.
Potensi Hilangnya Pendapatan dari Pajak
Selain menduga adanya praktik pengaturan harga, koalisi juga menyoroti potensi hilangnya pendapatan negara dari sektor pajak.
Potensi raibnya pendapatan negara timbul setelah ada temuan kepemilikan saham oleh belasan perusahaan dari negara surga pajak (offshore companies) di PT Purinusa Ekapersada, perusahaan induk dari beberapa pemasok kayu dan pabrik pulp serta kertas milik Grup Sinar Mas.
Laporan koalisi menggambarkan hubungan PT Purinusa Ekapersada dengan enam perusahaan pemasok kayu milik Grup Sinar Mas. Selain dimiliki perusahaan dari negara surga pajak, saham PT Purinusa Ekapersada juga dikuasai lima anggota keluarga Eka Tjipta Widjaja, pendiri korporasi itu.
Peneliti ICW Tama Satrya Langkun berkata, pada prinsipnya ada kemungkinan negara kehilangan pendapatan karena struktur kepemilikan perusahaan yang ada di Indonesia tapi punya korelasi di negara surga pajak.
"Tentu ini menguntungkan jika perusahaan itu ada di negara surga pajak, padahal sebagian besar dia mengambil banyak keuntungan di negara kita," kata Tama.
Syahrul memang tidak menuding ada upaya mengemplang pajak yang dilakukan Grup Sinar Mas atau perusahaan yang terafiliasi korporasi itu. Namun, ia menyebut ada pola perencanaan pajak yang mungkin dirancang oleh perusahaan untuk mendapat keuntungan besar, tapi terhindar dari beban pajak tinggi.
"Nilai transaksi riil itu sebenarnya di negara yang surga pajak. Karena ketika [perusahaan] dapat untung besar di situ, pajaknya tidak ada atau kecil. Jadi ada pola perencanaan pajak yang mungkin dilakukan dengan pola struktur seperti ini," kata Syahrul.
Persoalan Ketimpangan dan Masalah Hukum
Koalisi tak hanya mendapati temuan soal potensi persoalan pengaturan harga dan pajak, tapi soal penguasaan lahan yang dominan oleh korporasi besar seperti Sinar Mas. Pengacara publik dari YLBHI Siti Rahma Mery menganggap temuan koalisi membuktikan anggapan adanya ketimpangan penguasaan lahan oleh satu entitas bisnis tertentu.
"Jadi melanggengkan ketimpangan penguasaan lahan karena HTI (Hutan Tanaman Industri) diberikan KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) hanya kepada satu tangan saja, yang kemudian menggurita dan memiliki perusahaan HTI di mana-mana," kata Siti.
YLBHI juga menyoroti adanya keleluasaan perusahaan induk melepas tanggung jawab saat ada kasus hukum yang menimpa unit usaha di bawahnya.
Siti mencontohkan, APP bisa dengan mudah melepas tanggung jawab dari masalah yang menjerat perusahaan pemasok kayu independen, karena berdalih hubungannya hanya sebatas relasi pebisnis antara pemasok dan penerima.
"Seharusnya Kemenkumham melakukan pengecekan SK badan hukum untuk melihat relasi-relasi perusahaan itu. Sehingga untuk tanggung jawab dalam konteks kejahatan pidana atau perdata semua bisa [dikejar]," kata Siti.
Sanggahan Sinar Mas
Dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Kamis (31/5/2018), beberapa poin klarifikasi mereka berikan atas keseluruhan laporan koalisi. Salah satunya adalah kemungkinan mengenai potensi hilangnya pajak.
Mereka menyebut seharusnya pihak terkait yaitu KAMH memberikan bukti bila dianggap ada pelanggaran yang dilakukan APP Sinar Mas.
"Laporan ini meminta APP Sinar Mas diselidiki terkait kemungkinan bahwa telah terjadi tindak kriminal, tetapi tidak memberikan bukti atas adanya kesalahan apapun," kata Direktur APP Sinar Mas Suhendra Wiriadinata dalam keterangan resminya.
"Berdasarkan hukum Indonesia, ada persyaratan ketat terkait kepatuhan hukum dalam kepemilikan perusahaan, dan APP Sinar Mas mematuhi semua hukum dan ketentuan yang berlaku tersebut," tulis mereka.
Mereka tidak menyinggung semua tuduhan, misalnya mengenai pengaturan harga. APP hanya mengatakan bahwa merupakan hal yang wajar "kalau perusahaan memiliki hubungan signifikan dengan perusahaan lain dalam rantai pasokan mereka."
Namun meski begitu, APP mengaku "akan melibatkan auditor pihak ketiga untuk meninjau seluruh bisnis kehutanan guna menentukan jika ada karyawan APP yang terlibat dalam bisnis-bisnis yang memiliki konflik kepentingan." Dan tujuannya tak lain "agar para pemangku kepentingan kami dapat lebih yakin."
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Rio Apinino