tirto.id - Koalisi Anti Mafia Hutan akan mengirimkan hasil kajian ihwal indikasi keterkaitan 24 perusahaan pemasok kayu Asia Pulp & Paper (APP) dengan Sinar Mas Grup ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Peneliti Hukum dari LSM Auriga, Syahrul Fitra, menyebut laporan akan dikirim karena KPPU memiliki wewenang untuk menyelidiki dugaan kesalahan dalam dunia usaha. Koalisi menganggap besar kemungkinan terjadinya pengaturan harga (price fixing) yang dilakukan puluhan perusahaan pemasok kayu ke industri APP yang dimiliki Sinar Mas Grup.
"KPPU punya kewenangan. Ada di pasal 27 kalau tidak salah di UU KPPU. Kenapa itu [model bisnis seperti puluhan pemasok ke APP] dilarang? Itu potensi terkait penetapan harga dan manipulasi laporan keuangan, manipulasi informasi. Nah yang paling tepat itu [mengadu] ke KPPU," ujar Syahrul di Kantor YLBHI, Jakarta, Rabu (30/5/2018).
Banyak pemegang saham, komisaris, dan direktur pada 24 perusahaan pemasok kayu yang memegang jabatan atau mantan karyawan di perusahaan yang berafiliasi dengan Sinar Mas. Hal itu diketahui dari hasil analisa yang dilakukan Koalisi Anti Mafia Hutan.
Kepemilikan saham mayoritas dari 24 perusahaan itu mengalir ke 4 orang lewat 21 perusahaan lapis kedua atau lapis ketiga. Sebagian besar perusahaan berdomisili sama dengan Sinar Mas Grup di Plaza BII Thamrin, Jakarta, dan Wisma Indah Kiat di Serpong, Tangerang.
Sebagai contoh, PT Bumi Persada Permai, PT Ruas Utama Jaya, PT Tebo Multi Agro, dan PT Bina Dutalaksana, sebagian besar sahamnya dimiliki PT Hutami Pratama Makmur. PT Hutami sendiri dimiliki oleh perusahaan bernama PT Hutami Abadi Lestari, yang berkantor di Plaza BII. PT Hutami Abadi Lestari ini, pada ujungnya, dimiliki (sebagian besar saham) oleh SN.
Saham minoritas pada 20 dari 24 perusahaan mengalir lewat 14 perusahaan induk dan juga berujung pada empat nama perorangan.
Jika ditotal, 24 perusahaan ini terkait dengan delapan orang pemilik individual,TW, SN, HA, MG, FM, MS, ST, dan LTN. Ada 7 orang yang terindikasi sebagai pejabat atau mantan pekerja yang terafiliasi dengan Sinar Mas Grup.
"Kan lingkaran [hubungan] itu kelihatan, bagaimana terafiliasi antara satu sama lain bukan hanya [karena] dimiliki ownership [yang sama] saja," ujarnya.
Syahrul menduga ada potensi konsolidasi dan kesepakatan yang dibuat perusahaan pemasok kayu dengan APP, sehingga bahan baku dijual murah ke perusahaan itu.
"Kalau konteks kayu itu nggak mungkin mereka tempatkan harga tinggi. Karena ketika harga kayu tinggi, pembayaran PNBP [Pendapatan negara Bukan Pajak] harus disetor besar juga untuk PSDHDR [Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi] yang dibayar per harga kayu terjual. Dugaan kami akan sangat mungkin mereka tetapkan harganya rendah," tutur Syahrul.
Selain menduga praktik pengaturan harga, Koalisi LSM itu juga menyoroti potensi hilangnya pendapatan negara dari sektor pajak dari temuan mereka.
Potensi raibnya pendapatan negara timbul setelah ditemukan fakta kepemilikan saham oleh belasan perusahaan dari negara surga pajak (offshore companies) di PT Purinusa Ekapersada, perusahaan induk dari beberapa pemasok kayu dan pabrik pulp serta kertas milik Sinar Mas Grup.
Laporan Koalisi Anti Mafia Hukum menggambarkan hubungan PT Purinusa Ekapersada dengan 6 perusahaan pemasok kayu milik Sinar Mas Grup. Selain dimiliki perusahaan dari negara surga pajak, saham PT Purinusa Ekapersada juga dikuasai 5 anggota keluarga Eka Tjipta Widjaja selaku pendiri korporasi itu.
Peneliti ICW Tama Satrya Langkun berkata, pada prinsipnya ada kemungkinan kerugian yang diderita negara karena struktur kepemilikan perusahaan oleh pihak di negara surga pajak.
"Tentu ini menguntungkan jika perusahaan itu ada di sana (negara surga pajak), padahal sebagian besar dia mengambil banyak keuntungan di negara kita. Harus dijelaskan bagaimana selama ini perusahaan yang di bisnis kayu ditertibkan," kata Tama.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Yantina Debora