Menuju konten utama

Telat Tangani Corona COVID-19, Pemerintahan Jokowi Bisa Digugat?

Pemerintahan Jokowi bisa digugat karena lelet menangani Corona COVID-19.

Telat Tangani Corona COVID-19, Pemerintahan Jokowi Bisa Digugat?
Presiden Joko Widodo (kedua kiri) didampingi Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto (kedua kanan), Menseskab Pramono Anung (kiri) dan Mensesneg Pratikno menyampaikan konferensi pers terkait virus corona di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (2/3/2020). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc.

tirto.id - Lebih dari 600 dokter di Perancis yang bergabung ke dalam kolektif bernama C19 menggugat mantan Menteri Kesehatan Agnès Buzyn dan Perdana Menteri Édouard Philippe. Kedua pejabat ini dianggap tidak mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memperlambat penyebaran Corona COVID-19 meskipun mereka sadar akan bahayanya.

Serikat dokter memutuskan demikian karena salah satu korban meninggal karena Corona di negara itu adalah sejawat mereka.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), per 21 Maret ada lebih dari 14 ribu kasus terkonfirmasi di Perancis, dengan korban meninggal mencapai 562. Pada tanggal dan dari sumber yang sama, di Indonesia tercatat 450 kasus terkonfirmasi, dengan jumlah pasien meninggal mencapai 38. Angka ini jadi yang paling tinggi dibanding negara lain di kawasan Asia Tenggara.

Sama seperti di Perancis, korban meninggal di sini juga ada yang bekerja sebagai dokter. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menyebutkan ada lima dokter yang meninggal karena COVID-19, dan dua dokter lain belum terkonfirmasi.

Sama pula seperti Perancis, pemerintah Indonesia dianggap lamban merespons virus yang kelak jadi pandemi ini--predikat yang menunjukkan betapa luasnya persebaran penyakit. Hal ini terlihat dari pernyataan yang terkesan meremehkan dari para pejabat saat kasus ini belum (ketahuan) ada di Indonesia.

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, misalnya, menolak mentah-mentah hasil riset tim peneliti dari Harvard yang menyebut kalau mungkin sudah ada warga Indonesia terinfeksi Corona. "Kalau ada orang lain mau melakukan survei, riset dan dugaan, ya silakan saja. Tapi janganlah mendiskreditkan suatu negara. Itu namanya menghina," kata Terawan, Selasa (11/2/2020).

Setelahnya kita tahu: dua orang pertama dinyatakan positif COVID-19 pada 2 Maret 2020. Kemudian angkanya terus bertambah. Persentase kematian Indonesia bahkan lebih tinggi ketimbang rata-rata angka kematian global.

Namun dokter Indonesia belum terpikir melakukan hal serupa. Ketua Umum PB IDI Daeng M Faqih mengatakan kepada reporter Tirto, Senin (23/3/2020), bahwa "kami tidak terlalu jauh ke situ." Ia lantas mengatakan saat ini "semua pihak harus saling memahami dan gotong royong. Ini kondisi darurat, genting."

Bisakah Pemerintahan Jokowi Dituntut?

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid kembali menegaskan bahwa pemerintah memang tidak serius menangani COVID-19 saat periode awal menyebar. Padahal, seperti yang dinyatakan WHO, "pendeteksian yang lemah pada tahap awal wabah menghasilkan peningkatan signifikan dalam jumlah kasus dan kematian beberapa negara."

"Cenderung meremehkan, seakan-akan orang Indonesia kebal dari serangan virus ini. Prediksi kalangan sarjana Harvard bahwa virus itu sampai di Indonesia, disanggah dan tak dijadikan landasan mempersiapkan kebijakan kesehatan publik yang efektif," ujar Usman kepada reporter Tirto, Senin (23/3/2020). "Pemerintah Indonesia terlihat minim inisiatif dan ketinggalan," imbuh Usman.

Menurutnya, para pejabat lebih sibuk memberikan komentar yang tak relevan. "Dari mulai komentar perihal promosi wisata yang membuka wilayah negara sampai komentar seperti 'makan nasi kucing, jamu resep Jokowi, duta imun, makan tauge atau berdoa' tanpa bisa menyertainya dengan penjelasan dan bukti ilmiah."

Atas semua dasar itu ia berpendapat warga memang berhak menggugat, tak hanya dokter seperti kasus Perancis.

Warga menggugat karena dirugikan kebijakan pemerintah toh bukan hal baru di Indonesia. Dalam konteks Jakarta, misalnya, ratusan korban banjir melayangkan gugatan class action kepada Pemprov DKI pada Januari lalu.

Warga bahkan pernah menang melawan pemerintah dalam sidang. Itu terjadi dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, tahun lalu.

Pada 22 Maret 2017, Pengadilan Negeri Palangkaraya memenangkan gugatan Arie Rompas dan kawan-kawan terkait karhutla. Putusan tersebut kemudian diperkuat Pengadilan Tinggi Palangkaraya pada 19 September dengan menolak banding Jokowi dan menterinya serta Pemda Kalimantan Tengah. Pengadilan menyatakan Presiden Jokowi dkk melawan hukum dalam kasus karthula.

Vonis itu diperkuat putusan majelis hakim kasasi yang diketuai Nurul Elmiyah dengan anggota Pri Pambudi Teguh dan I Gusti Agung Sumanatha pada 16 Juli 2019 lalu.

Hukuman yang dijatuhkan kepada Jokowi dan pihak tergugat lainnya adalah menerbitkan sejumlah regulasi untuk menangani dan mencegah karhutla, yakni peraturan pelaksana dari UU tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan peraturan pemerintah soal tim gabungan yang bertugas meninjau izin pengelolaan hutan. Pemerintah juga diwajibkan mendirikan rumah sakit khusus paru dan penyakit lain akibat polusi udara di Kalimantan Tengah.

Peneliti dari Human Rights Watch Andreas Harsono menyatakan gugatan harus disertai alasan jelas. Misalnya, apakah ada pejabat berbohong atau membikin pernyataan kontroversial yang membuat penyebaran COVID-19 semakin ganas.

Jika bohong, "perlu dicari dahulu bukti bahwa pejabat ini tahu namun berbohong. Namun definisi berbohong harus dijelaskan. Bohong beda dengan misleading. Bohong tentu beda dengan kebodohan," ujar Andreas kepada reporter Tirto, Senin (23/3/2020). Sementara dengan pernyataan kontroversial, Andreas bilang, "kalau ada pejabat bilang virus ini bisa dihindari dengan berdoa, saya kira, sulit buat kita gugat. Persoalannya sederhana: Kita tak bisa lakukan verifikasi. Siapa bisa buktikan bahwa berdoa itu bisa atau tak bisa mengatasi wabah?"

Selain itu, yang menurutnya patut juga disasar adalah para pendengung (buzzer). Andreas menyebut kelompok seperti ini berbahaya karena membingungkan masyarakat dan berlebihan membela Presiden Jokowi atau Menkes Terawan, sementara jelas-jelas virus ini berbahaya dan antisipasi pemerintah semestinya bisa lebih baik. "Bila ada bukti cukup, buzzer ini tentu bisa digugat. Kicauannya dikunci dengan perintah pengadilan," jelas Andreas.

Kepala Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur, mempertegas bahwa "Korban yang merasa dirugikan bisa menggugat, asalkan ada pembuktian kerugian." Pembuktian ini juga perlu disertai dengan inventarisasi pelanggaran, analisis, dan materi hukum guna mengetahui kewajiban hukum yang diduga dilanggar pemerintah.

"Nanti pengadilan akan membuktikan pelanggaran oleh pemerintah. Pemerintah juga bisa membantah dalam persidangan," jelas Isnur, lantas mengatakan mekanisme yang bisa ditempuh adalah citizen law suit atau class action.

Salah satu orang yang sudah berniat menggungat negara karena persoalan ini adalah aktivis Lini Zurlia.

Lewat Twitter, ia menyerukan: "Ketika kita berhasil melalui masa sulit ini, dan kita masih bertahan hidup di kemudian hari. MARI KITA GUGAT NEGARA YANG ABAI DAN CENGENGESAN SAAT WABAH INI PERTAMA KALI MEREBAK! Termasuk kita GUGAT PARA BUZZERRp NGEHEK"

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino