tirto.id - Ketika Uber angkat kaki dari Asia Tenggara pada Maret 2018, Grab sebagai korporasi yang mengakuisisi aset Uber kelimpahan untung. Laporan Frost & Sullivan pada Mei 2018 menyebut sejak itu Grab mendominasi 90 persen pangsa pasar transportasi online di Asia Tenggara.
Di sisi lain, sang rival Go-Jek mulai menjejaki tantangan baru dengan berekspansi ke luar Indonesia. Sejak Juli 2018, Go-Jek melebarkan sayap ke Vietnam, Thailand, dan Singapura.
Dalam hal pendanaan, menurut taksiran Crunchbase, Grab telah mengumpulkan lebih dari 6,8 miliar dolar AS, sementara Go-Jek mengumpulkan 3,3 miliar dolar AS. Angka ini bakal terus bertambah bila melihat korporasi besar di belakang mereka, sebut saja seperti Google, Tencent, Didi, SoftBank, dan Toyota.
Asia Tenggara adalah pasar menjanjikan. Menurut studi yang dirilis oleh Google dan Temasek Holdings, perputaran uang dalam sektor aplikasi transportasi online di ASEAN tahun 2018 mencapai 7,7 miliar dolar AS dengan 25 juta pelanggan aktif. Layanan aplikasi transportasi daring kini tersedia di lebih dari 500 kota di Asia Tenggara dengan 8 juta pesanan per hari.
Diprediksi, perputaran uang melonjak 30 miliar dolar AS pada 2025. Meskipun Grab dan Go-Jek sudah memiliki akar yang kuat di ASEAN, terbuka kemungkinan ada perusahaan rintisan baru yang bisa mengganggu dominasi keduanya.
Kita bisa menilik sampel dari Vietnam, Kamboja, dan Filipina. Pertumbuhan ekonomi pada tiga negara ini cenderung cepat dan selalu di atas 6,5 persen dalam lima tahun terakhir. Potensi pengguna aplikasi transportasi online di ketiga negara ini belum tergarap secara maksimal.
Populasi Filipina dan Vietnam adalah terbesar kedua dan ketiga setelah Indonesia. Filipina 105 juta orang, Vietnam 96 juta orang. Tingkat kepemilikan ponsel kedua negara ini lebih tinggi ketimbang Indonesia. Hampir 61 juta rakyat Filipina dan 70 juta warga Vietnam memiliki ponsel.
Dan, berkaca dari Vietnam, Filipina, dan Kamboja, hegemoni Grab dan Go-Jek agaknya bakal sulit tergoyahkan pemain lokal di kawasan Asia Tenggara.
Vietnam: Berusaha Menyaingi 'Pemain Asing'
Pada 2018, bisnis Grab di Vietnam semakin dominan ketika saingan utamanya, Uber, mengundurkan diri. Kondisi ini membawa Grab memonopoli aplikasi panggilan mobil dan motor. Di Vietnam, selain Grab, ada juga aplikasi lain seperti FastGo, Vato, Taxigo, Xelo, Be, dan anak usaha milik Go-Jek yaitu Go-Viet.
Namun, para penantang ini beroperasi saat Grab sudah memiliki lebih dari 160.000 pengemudi dan tersebar di 36 kota. Perang jadi timpang. Alhasil, pertempuran di pasar Vietnam saat ini bukan memperebutkan siapa terbaik, tapi siapa berebut posisi kedua.
Laporan cafef.vn bahkan menyebut Grab menguasai 70 persen pangsa pasar domestik. "Ini adalah kisah yang menyakitkan ketika bisnis domestik diserbu," kata Do Manh Tuan, Wakil Direktur Jenderal Be Group. Banyak pemain lokal yang mati dan gagal bersaing dengan Grab, di antaranya adalah Savico.
Memang ada pemain besar di Vietnam yang masih bisa bersaing dengan Grab, di antaranya MyGo dan FastGo, menguntit di belakang Grab dalam urutan aplikasi panggilan mobil.
MyGo dimiliki oleh Viettel Post, perusahaan logistik terbesar di Vietnam. Sementara FastGo didirikan oleh NextTech, salah satu grup perusahaan teknologi mapan di Vietnam yang didukung investor Cina, Jepang, dan Korea.
Berstatus sebagai tuan rumah, dua aplikasi lokal ini dapat kemudahan beroperasi di 63 provinsi. Keduanya mengklaim memiliki mitra pengemudi yang tak kalah banyak dari Grab.
"Kami memiliki 105 ribu mitra driver yang mendaftar untuk layanan ojek, mobil, dan truk, untuk pengiriman barang," kata Kepala Eksekutif Viettel Post, Tran Trung Hung, seperti dikutip KrAsia, awal Juli lalu.
Go-Jek tak ikut turun dalam perang di pasar transportasi mobil online. Go-Viet masih terfokus pada layanan jasa antar via sepeda motor, berupa Go-Bike, Go-Food, dan Go-Send.
Dan, baik Go-Viet maupun Grab, mendapatkan penantang lain yakni Be Group.
Saat saya mengunjungi Kota Ho Chi Minh, saya melihat pengemudi Be Group berjaket kuning menyemuti jalan raya. Dan sama seperti Go-Jek di Indonesia, Be menjual embel embel-embel nasionalisme. Dan ini terkadang ampuh.
"Jika saat bersamaan Grab dan Go-Jek tak ada promo, aku biasa pakai Be. Hitung-hitung membesarkan karya anak bangsa," kata Nguyen Thanh Son, mahasiswa yang saya temui di Benh Tanh Market.
Tak hanya menjual nasionalisme, Be ikut serta dalam perang tarif dan lomba bakar uang dengan Grab dan Go-Viet. Dalam laporan kinerja keuangan Be untuk tahun buku 2018, hanya dalam satu bulan, perusahaan ini mengalami kerugian 88 miliar dong (setara Rp55 miliar). Be mulai beroperasi sejak awal Desember 2018.
Informasi dari pegawai internal Be, yang dibocorkan kepada cafef.vn, menyebut tindakan bakar uang itu terus berlanjut. Misalnya, biaya promosi perusahaan sejak awal 2019 hingga Mei 2019 bisa mencapai 5 juta dolar (Rp70 miliar) per bulan.
Dibandingkan perusahaan lain, napas Be Group relatif bisa lebih panjang. Dikabarkan, Be berafiliasi dan mendapat beking kuat dari VP Bank, salah satu bank swasta terbesar di Vietnam.
Perusahaan lokal ini tampaknya serius untuk bersaing dengan perusahaan multinasional seperti Grab dan Go-Jek. Sebelumnya, Wakil Direktur Jenderal Be Group, Do Manh Tuan, mengakui saat ini perusahaan berfokus untuk bersaing dengan pemain asing, bukan pemain lokal.
"Tidak akan ada persaingan sengit antara aplikasi seperti Be, Mygo atau Fastgo. Kami memiliki banyak keuntungan karena kami orang Vietnam, kami mendapat dukungan orang-orang Vietnam," klaimnya.
Filipina: Memanjakan Pemain Lokal lewat Aturan
Sama seperti di Vietnam, ketika Grab mengumumkan akuisisi atas Uber di Asia Tenggara, banyak perusahaan jaringan transportasi di Filipina sangat gembira. Grab dan Uber mendominasi pemesanan transportasi mobil online sejak 2015. Ketika Uber pergi, musuh itu kini tinggal satu.
Tidak lama setelahnya, muncul enam perusahaan di Filipina, yakni MiCab, Hirna, Hype, Owto, GoLag, dan ePickMeup, yang memperoleh akreditasi dari Badan Transportasi Filipina.
MiCab adalah aplikasi pemesanan taksi yang tersedia di lima kota: Cebu, Bacolod, Baguio, Iloilo, dan Metro Cebu. Jauh-jauh mendeklarasikan diri tak akan mampu memberi diskon melimpah seperti Grab, MiCab lebih memilih tidak bertempur di kota metropolitan sekelas Manila.
Filipina adalah pangsa pasar transportasi motor online, salah satu negara yang paling cepat pertumbuhan penjualan motor di Asia Tenggara. Tahun lalu, 69.627 unit motor terjual di negara ini. Memang tak sebanding dengan Indonesia yang angka penjualannya selalu di atas 150.000 ribu motor per tahun, tetapi rerata pertumbuhan pembelian motor di Filipina per tahun selalu di atas 20 persen.
Serupa Indonesia, lalu lintas mengerikan dan sarana transportasi umum yang buruk membuat mayoritas warga Filipina memilih sepeda motor untuk aktivitas sehari-hari. Melihat kesempatan ini, Grab mulai mengoperasikan GrabBike pada November 2015. Di sini, ojek lazim disebut habal-habal.
Apesnya, GrabBike hanya beroperasi dua bulan. Setelahnya, otoritas perhubungan melarang GrabBike di Filipina dengan dalih motor adalah sarana transportasi rawan kecelakaan. Sampai sekarang, GrabBike tak beroperasi di Filipina.
Namun, larangan serupa seakan tak serius diterapkan terhadap Angkas, salah satu kompetitor Grab yang cuma melayani jasa online habal-habal. Berbeda dengan Grab, aplikasi Angkas 100 persen bikinan lokal. Sejak 2016, Kementerian Perhubungan Filipina melarang penggunaan sepeda motor sebagai transportasi umum. Namun, aturan ini agak rancu sebab menyeret juga opang, habal-habal nonaplikasi.
Beda dengan Grab yang memilih mundur teratur, Angkas tetap lempeng beroperasi. Meskipun berstatus ilegal, penegak hukum tak pernah menutup perusahaan ini.
"Mereka sebenarnya ilegal, tapi bisa tetap beroperasi. Dan polisi tampaknya selalu membiarkannya. Aturan itu memang terlihat konyol," kata Emanuel De La Pazz, jurnalis ekonomi di Manila, kepada saya.
Setelah Grab mundur, meski dianggap ilegal, Angkas saat ini adalah satu-satunya aplikasi favorit transportasi motor online di Filipina. "Saya pikir itu cuma akal-akalan saja untuk menyingkirkan Grab dari persaingan bisnis ini. Mungkin saja, kan?" tambah De La Pazz.
Kamboja: Grab Digdaya
Grab datang di Kamboja sejak Desember 2017 dan segera merajai pangsa pasar transportasi online.
Sebelumnya, pemain besar di Kamboja adalah Uber dan PassApp, aplikasi lokal yang dimiliki perusahaan taksi nasional. Keduanya bermain di segmentasi berbeda: Uber untuk mobil, PassApp pada tuk-tuk. Namun, setelah Uber merger dengan Grab, dominasi Grab tak terhentikan, menguasai hampir 70 persen pasar di Phnom Penh dan Siem Reap. Terlebih, Grab membuka jasa tuk-tuk sejak 2018 dan membuat PassApp jadi goyah.
Prahara PassApp mulai merembet sejak awal tahun 2019. Puncaknya, 4 Juli kemarin, lebih dari 100 pengemudi tuk-tuk PassApp berdemonstrasi di Hun Sen Boulevard, meminta manajemen meninjau kembali pengurangan tarif. Mereka menuntut PassApp mengembalikan tarif ke 3000 riel (setara Rp10.500) per kilometer.
Salah seorang pegawai internal PassApp berkata kepada The Cambodia Post bahwa keuangan perusahaan sedikit goyah akibat perang tarif dengan Grab. Selain memotong tarif per kilometer, PassApp menambah persentase bagi hasil dari 13 persen menjadi 15 persen, yang bikin pengemudi menjerit.
Masalahnya, apa yang dilakukan PassApp belum bisa menanding Grab. Sejak Mei 2019, Grab memberikan promo tarif 1000 riel (Rp3500) untuk 7 kilometer pertama. Berbeda dengan PassApp, beban promo ini tak ditanggung oleh pengemudi tapi oleh perusahaan.
"Ketika Grab datang ke Kamboja, saya langsung berpikir bahwa ini perusahaan besar yang tak akan mampu dilawan perusahaan lokal," ucap Pen Neang, pengemudi Grab yang saya temui di Phnom Penh, akhir Mei lalu. Ia bercerita semula bekerja untuk PassApp, tapi sejak akhir 2019 menyeberang ke Grab. "Di sana uangnya tidak bagus," ucapnya.
Saat demo pengemudi itu, lucunya, tak hanya di depan kantor PassApp, melainkan juga di depan kantor Grab. Mereka memaksa Grab menaikkan tarif sama seperti PassApp.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam