Menuju konten utama

Duduk Perkara Pemerintah Kenakan Pajak Bahan Kebutuhan Pokok

Bahan kebutuhan pokok yang selama ini bebas pajak, akan segera dikenakan PPN menurut RUU KUP yang diusulkan pemerintah.

Duduk Perkara Pemerintah Kenakan Pajak Bahan Kebutuhan Pokok
Pekerja menata karung berisi beras di Gudang Bulog Kanwil DKI dan Banten, Kelapa Gading, Jakarta, Kamis (18/3/2021). ANTARA FOTO/ Reno Esnir/aww

tirto.id - Pengenaan pajak atas bahan kebutuhan pokok menjadi ramai. Pemerintah dianggap tidak adil karena mengenakan pajak atas bahan kebutuhan pokok, akan tetapi pada saat yang sama membebaskan pajak untuk mobil dan rumah.

Bagaimana sebenarnya?

Bahan pangan selama ini tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ini menurut UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Pasal 4A Ayat 2 UU tersebut berbunyi:

Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:

a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;

b. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;

c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan

d. uang, emas batangan, dan surat berharga.

Pemerintah berniat mengubah pasal tersebut. Menurut draf RUU KUP yang diperoleh Tirto, pasal 4A berganti menjadi:

Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai yakni barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:

a. dihapus;

b. dihapus;

c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah; dan

d. uang, emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara, dan surat berharga.

RUU KUP tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diusulkan oleh pemerintah sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 dan Prolegnas 2020—2024. Pemerintah dan DPR akan segera membahas RUU KUP ini untuk kemudian disahkan.

Terkait perubahan dalam pasal 4A yang memunculkan keresahan karena pengenaan pajak atas bahan pokok, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo memberikan penjelasan melalui akun Twitter-nya.

Ia mengakui bahwa rencana pemerintah ini memang menimbulkan kemarahan dan kebingungan publik, karena dikhawatirkan pengenaan tarif PPN akan memicu kenaikan harga-harga. Di saat yang sama, pemerintah sedang berupaya memulihkan ekonomi akibat pandemi.

Namun, ia menegaskan bahwa rancangan ini perlu disiapkan di saat pandemi. “Justru karena kita bersiap. Bukan berarti akan serta diterapkan di saat pandemi. Ini poin penting: timing,” tulisnya.

Yustinus menjelaskan, bahwa pandemi membuat penerimaan pajak turun sehingga menyebabkan penerimaan negara bertumpu pada pembiayaan utang. Kini, pemerintah sedang berupaya untuk memikirkan cara lain memaksimalkan penerimaan pajak dan tak bergantung pada utang, setelah pandemi berakhir. Pemerintah pun mulai memikirkan formula yang menjamin keberlanjutan fiskal jangka menengah/panjang.

Salah satu yang dipikirkan pemerintah adalah pengenaan multitarif PPN. Menurut Yustinus, penerimaan PPN selama ini tidak maksimal. Salah satu penyebabnya adalah terlalu banyak pengecualian dan fasilitas.

“Indonesia negara dengen pengecualian terbanyak. Ya memang dermawan dan baik hati sih. Cuma kadang distortif dan tidak tepat. Bahkan jadi ruang penghindaran pajak,” jelasnya.

Menurut Yustinus, pengaturan tersebut membuat tujuan pemajakan tidak tercapai karena yang mampu bayar tak membayar karena mengonsumsi barang/jasa yang tidak dikenai PPN. Untuk itu, pemerintah menilai perlu untuk menata ulang sistem PPN agar lebih adil dan fair.

“Yang dikonsumsi masyarakat banyak (menengah bawah) mustinya dikenai tarif lebih rendah, bukan 10%. Sebaliknya, yang hanya dikonsumsi kelompok atas bisa dikenai PPN lebih tinggi. Ini adil bukan? Yang mampu menyubsidi yang kurang mampu. Filosofis pajak kena: gotong royong,” papar Yustinus.

Pengenaan pajak atas bahan pokok membuat pemerintah dikritik. Yustinus mengakui hal itu karena memang pemerintah membutuhkan uang, apalagi saat pandemi.

“Tapi dipastikan pemerintah tak akan membabi buta. Konyol kalau pemulihan ekonomi yang diperjuangkan mati-matian justru dibunuh sendiri,” jelasnya. Ia memastikan, pengenaan PPN atas bahan pangan pokok ini akan diterapkan secara bertahap dan menunggu ekonomi pulih.