Menuju konten utama

Drama Elite Politik Jadi Korban: Politikus Untung, Publik Buntung

Cara elite politik memainkan peran sebagai korban dinilai tak terlalu berpengaruh secara elektoral, tapi kenapa mereka masih mempraktikkannya?

Drama Elite Politik Jadi Korban: Politikus Untung, Publik Buntung
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyapa ribuan kader dan simpatisannya saat melakukan kunjungan ke kecamatan Tenayan Raya kota Pekanbaru, Pekanbaru, Riau, Sabtu (15/12/2018). ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid/hp.

tirto.id - Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengaku sedih atas insiden perusakan baliho dan atribut Partai Demokrat di Riau beberapa waktu lalu. SBY pun menyebut perobekan, dan pembuangan baliho bergambar wajahnya sama saja dengan "menginjak saya, merobek saya, dan membuang saya ke selokan.”

Selama ini, kata SBY, Demokrat bergerak dengan cara-cara yang baik dan elegan. Namun, ternyata partai berlambang mercy itu justru diperlakukan tidak adil, bahkan dizalimi.

SBY dalam ucapannya itu tampak sedang menjadikan kasus perusakan baliho dan atributnya sebagai arena dramatisasi politik dimana ia memposisikan dirinya sebagai satu-satunya korban politik.

Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Maruf, Erick Thohir juga demikian. Ia mengatakan sudah saatnya TKN "menyerang" dalam Pilpres 2019 ini karena selama ini kubunya selalu menjadi korban.

Intinya apa yang dilakukan SBY dan Erick Thohir memiliki satu kesamaan, yaitu mendramatisasi situasi seolah korban tunggal dalam kontestasi politik demi mendulang suara dan simpati publik.

Apakah tindakan itu efektif?

Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Aditya Perdana menilai cara elite politik memainkan peran sebagai korban tak terlalu berpengaruh secara elektoral, mengingat para pemilih sudah banyak yang paham jika hal itu bagian dari drama.

"Ini bagian dari strategi, branding image dan playing victim, menyalahkan dan menjadikan dirinya sebagai korban, itu salah satu hal yang dilakukan elite partai politik. Apa akan efektif? Harus dicek lewat hasil survei,” kata Aditya kepada reporter Tirto, Selasa (18/12/2018).

Aditnya justru melihat cara-cara seperti itu hanya efektif menurut para konsultan politik di kubu masing-masing. Karena itu, kata dia, maka tak heran jika cara seperti itu tetap dilakukan berulang-ulang.

“Bisa jadi ini hanya usaha membersihkan atau melupakan isu-isu yang sedang digoyang orang atau kubu lain, hanya untuk membuat suatu konteks pertarungan baru,” kata dia.

Berbeda dengan Aditya. Pengajar politik dan pemerintahan dari Universitas Gajah Mada (UGM) Arya Budi menilai, cara elite politik mendramatisasi situasi sebagai korban masih cukup memiliki pengaruh. Kendati besar atau tidaknya pengaruh tersebut, harus dibuktikan secara empiris.

Arya menganalisis fenomena seperti itu dengan teori politik underdog effect, yaitu keadaan politik di mana pemilih akan cenderung memilih mereka yang kemungkinan kalah atau ke kubu yang pantas untuk dikasihani.

“Pengalaman di Indonesia cukup berhasil. Contoh tahun 2004 lalu, ketika SBY mengundurkan diri dari pemerintahan Megawati karena merasa dizalimi. Saat pilpres melawan petahana, SBY memainkan narasi seperti itu. Jadi korban dan pantas dikasihani. Dalam beberapa kasus memang bekerja,” kata Arya.

Merugikan Diskursus Politik Publik

Akan tetapi, Arya belum melihat teori itu bisa berjalan efektif di pemilu 2019. Kata Arya, jika Jokowi sebagai petahana, dengan segala kekuatan aparatur negaranya, bisa tetap dianggap oleh oposisi sebagai penindas, maka tentu suara oposisi akan diuntungkan.

Sebaliknya, lanjut Arya, jika Jokowi berhasil membuktikan dan membongkar semua drama ini, tentu ini akan menjadi bumerang dan mendelegitimasi oposisi, hingga akhirnya suara berpindah ramai-ramai ke Jokowi.

“Ini bagaimana mengelola simpati saja,” kata Arya.

Namun fenomena tersebut, kata Arya, harus dikritisi secara terus-menerus karena hal itu akan menjauhkan diskursis politik dari wacana-wacana substansial, seperti program kerja dan visi-misi.

“Kita akan terlewat membahas hal-hal penting untuk publik. Tenaga kita habis untuk hal-hal emosional seperti ini. Sudahlah cukup kemarin tenaga kita habis untuk politik identitas,” kata Arya.

Menanggapi hal itu, Juru Bicara TKN Jokowi-Ma'ruf, Verry Surya mengatakan narasi yang dibangun Erick Thohir dengan diksi “menyerang” bukan bagian dari playing victim. Ia juga menolak bila timnya menggunakan cara-cara sandiwara dalam meraih simpati pemilih.

“Pak Erick Thohir menyampaikan narasi kata 'menyerang' itu dalam artian menyelesaikan segala kasus dalam perspektif hukum. Karena selama ini kami selalu mengalah dan tidak memproses hukum ketika mendapat tuduhan yang tidak mendasar dan ada banyak penyebar hoaks,” kata dia kepada reporter Tirto, Selasa (18/12/2018) malam.

Selain itu, Verry mengklaim TKN Jokowi-Ma'ruf selama ini selalu menggunakan cara-cara yang mendidik, seperti pemaparan visi dan misi, serta program kerja.

“Kampanye kami selalu mengedepankan program. Tak ada semangat untuk bersandiwara dengan menjadi korban dan mengambil empati masyarakat. Kami tidak memainkan narasi itu,” kata dia.

Sementara itu, Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade memastikan timnya juga tidak pernah melakukan playing victim untuk meraih simpati pemilih.

“Yang pasti pihak kami tidak memainkan playing victim. Contohnya, playing victim justru dimainkan oleh kubu Jokowi. Orang tiap hari mereka yang menyerang Pak Prabowo kok,” kata Andre kepada reporter Tirto, Selasa malam.

“Kami enggak ada program sandiwara kaya gitu. Fokus kami isu ekonomi saja udah,” kata politikus Gerindra ini.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz