tirto.id - Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta Hardiyanto Kenneth mengemukakan jalan berbayar elektronik (Electronic Road Pricing/ERP) yang rencananya diterapkan di 25 titik jalan Ibu Kota bisa diterapkan jika layanan transportasi massal sudah maksimal.
Namun sejauh ini, kata Kenneth, pelayanan transportasi publik belum maksimal sehingga akhirnya terus menuai polemik karena banyak kalangan yang menganggap kebijakan tersebut akan menyengsarakan warga Jakarta.
"Karena itu dikaji kembali secara komprehensif agar pengguna jalan tidak semakin resah dengan dampak ERP itu," kata Kenneth di Jakarta, Rabu (31/1/2023), seperti dikutip Antara.
Menurut Kenneth, kebijakan ERP di 25 titik Jakarta akan berdampak langsung pada perekonomian masyarakat sebagai pengguna jalan dan berpotensi menambah masalah baru.
Kebijakan ini, imbuh dia, akan membuat resah masyarakat dan berdampak negatif terhadap perekonomian masyarakat menengah ke bawah, banyak yang akan terkena imbasnya.
"Seperti warga yang tinggal di sekitar jalan ERP, lalu juga ojek daring, kurir, pekerja dan lainnya yang memiliki penghasilan pas-pasan, tentu akan menjerit karena harus membayar ERP ini," tutur Kenneth.
Kenneth mengakui dirinya setuju dengan rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI yang akan menerapkan ERP di 25 ruas jalan. Namun ia menyarankan agar hal tersebut dilakukan secara bertahap.
Seperti di jalan-jalan protokol atau daerah perkantoran saja dulu untuk menghindari penolakan dari masyarakat, terutama dari mereka yang tinggal di wilayah yang tadinya tidak perlu bayar, harus melakukan pembayaran untuk melalui jalan tersebut.
Seharusnya, kata dia, jangan langsung diterapkan di 25 ruas jalan, tetapi lakukanlah secara bertahap sambil melihat perkembangannya. Kemudian lakukan evaluasi secara terus-menerus, sambil menunggu peningkatan pelayanan angkutan umumnya.
"Apalagi kan sebentar lagi ada LRT Bodebek," tutur dia.
Kenneth menilai Jakarta belum bisa mengikuti negara-negara maju yang juga menerapkan kebijakan ERP itu dengan dukungan layanan transportasi dan disinsentif yang dikenakan jika menggunakan kendaraan pribadi.
Dia mencontohkan Singapura yang menerapkan parkir mahal dan susah sehingga warganya lebih memilih transportasi umum. Di sisi lain transportasi umum juga mumpuni dengan cukup membawa satu kartu bisa mengantarkan mereka ke semua tempat yang diinginkan.
Jakarta harus melakukan banyak sekali kajian-kajian lebih mendalam. Di luar negeri, layanan publik sudah selesai, pajak kendaraan bermotor ditinggikan harganya, otomatis orang enggak akan mau beli kendaraan bermotor karena mahal akhirnya memilih transportasi umum.
"Kalau Jakarta sudah dalam kondisi seperti ini barulah pantas menerapkan ERP di 25 ruas jalan," katanya.
Dia melanjutkan, jika Pemprov DKI Jakarta dan Polda Metro Jaya tetap bersikukuh menerapkan kebijakan ERP di 25 ruas jalan, hanya memindahkan kemacetan ke jalan-jalan non protokol.
Jika tetap ngotot memberlakukan ERP di 25 ruas jalan, dia yakin kendaraan roda empat maupun roda dua akan mencari jalan alternatif lain dengan melintas di jalan-jalan lingkungan yang terdapat di permukiman padat penduduk atau kata lainnya jalan tikus.
"Ini pasti akan menimbulkan masalah baru," tutur Ketua IKAL PPRA LXII Lemhannas RI ini.
Kenneth juga mengungkapkan kekhawatiran penerimaan tarif ERP ini akan dijadikan lahan korupsi baru bagi sejumlah oknum yang memanfaatkan momen tersebut. Karena itu dia menekankan adanya transparansi.
"Jangan sampai nanti malah menjadi lahan korupsi baru, tolong jelaskan dan sampaikan ke publik untuk apa uang ini. Jadi peran serta keterlibatan masyarakat juga harus ada dalam hal ini agar semua jelas dan transparan," kata Kent.
Terkait masalah pengemudi ojek daring hingga kurir paket, kata Kent, hal tersebut seharusnya bisa dikomunikasikan dengan pihak provider. Jangan sampai pembayaran ERP malah dibebankan kepada pengemudi yang penghasilannya tidak seberapa, ditambah lagi harus membayar setiap melintas di 25 ruas jalan tersebut.
"Bisa melakukan komunikasi yang solutif dengan pemprov terkait kebijakan ERP ini. Jangan malah tarif tersebut dibebankan kepada kawan-kawan ojol atau kurir," katanya.
Hal itu dilakukan agar semua bisa berjalan dengan baik dan tidak menambah beban kurir atau pengemudi ojek di kemudian hari.
ERP di Jakarta rencananya berlaku setiap hari mulai pukul 05.00 hingga 22.00 WIB di 25 ruas jalan Ibu Kota sepanjang 54 kilometer (km). Tarif yang diusulkan berkisar antara Rp5 ribu hingga Rp19 ribu.