Menuju konten utama
Rhenald Kasali:

"DPR Sibuk dengan Pansus KPK Ketimbang Masa Depan Anak Muda"

Rhenald Kasali menekankan pentingnya regulasi untuk menyambut generasi baru dan perubahan bisnis karena revolusi digital.

Ilustrasi Rhenald Kasali. tirto.id/Sabit

tirto.id - Ketika disambangi di Rumah Perubahan, kediaman Rhenald Kasali di Jatimurni, Bekasi, namanya sedang ada dalam pusaran perdebatan ihwal daya beli masyarakat Indonesia. Beberapa pakar menunjukkan indikasi-indikasi bahwa daya beli masyarakat sedang turun, dan Rhenald menampiknya. Ia mengatakan bahwa daya beli bukanlah turun, melainkan ada perubahan cara belanja masyarakat, dari ritel konvensional ke online.

Di luar perdebatan itu, dalam beberapa tahun terakhir ini ia memang menjadi salah satu akademikus dan praktisi yang kerap menekankan perubahan besar dalam dunia bisnis. Profesor bidang manajemen dari Universitas Indonesia ini kerap berbicara tentang era disruption atau disrupsi, yakni perubahan fundamental bisnis yang terjadi di semua bidang, tak hanya dalam dunia rintisan digital.

Rhenald lantas disodori hasil riset Tirto mengenai Generasi Z, generasi yang lahir dan merumah di tengah perubahan fundamental itu dan ia mengungkapkan beberapa perhatian dan kekhawatirannya. Namun, satu hal yang Rhenald sorot adalah peran penting negara menyiapkan regulasi yang menyokong dunia bisnis dari perubahan generasi yang dekat dengan internet.

"Mindset-nya harus disruptif. Kalau mindset sudah disruptif, regulasi mengikuti," katanya.

Berikut wawancara lengkap Rhenald Kasali dengan Aulia Adam, Hendra Friana, Maulida Sri Handayani, dan pewarta foto Arimacs Wilander dari Tirto.

Apa yang Anda pikirkan ketika melihat Generasi Z? Apa pola yang Anda tangkap, perbedaannya dengan generasi sebelumnya?

[Di antara] anak-anak itu lahir di sebuah situasi di Indonesia yang disebut krismon (krisis moneter), tahun 1998. Jadi orangtuanya dalam keadaan gelisah, uang tidak banyak. Kecuali orang yang sangat kaya atau tiba-tiba kaya karena orangtuanya eksportir. Oleh karena itu, yang lahir tahun 1998 sampai 2004 itu kita khawatirkan ada masalah kurang gizi pada mayoritas anak-anak Indonesia.

Apa yang Anda sorot dari Generasi Z yang lahir pada 1998 sampai 2004?

[Tahun] 1998 sampai 2004 itu orangtuanya kocar-kacir. Yang kehilangan pekerjaan juga banyak sekali. Orang bank kehilangan pekerjaan, yang punya utang luar biasa banyak. Yang minoritas [Tionghoa], banyak ke luar negeri, untuk sementara atau untuk seterusnya. Perusahaan-perusahaan di Indonesia baru mulai berani rekrut pegawai setelah 2004.

Gap angkatan ini cukup besar sebetulnya. Kan, ada orangtua yang kehilangan pekerjaan dan ada orangtua yang cukup mapan. Yang banyak disorot [peneliti dan media] adalah yang orangtuanya mapan, karena studi tentang generasi itu [biasanya] orang terkait gaya hidup. Gaya hidup perkotaan.

Masalahnya, orangtua yang income-nya kuat dan pendidikannya bagus menjadi sok tahu. Anaknya dianggap sebagai gajetnya dia. Orangtuanya memutuskan [segala sesuatu], karena uangnya uang dia. Orangtuanya sugih. Kalau dulu, generasi saya, orangtua tidak banyak uang. Orangtua saya membiarkan saya, permainan kita permainan lapangan semua. Baret. Luka. Generasi saya itu bekas-bekas lukanya banyak.

Hal begitu biasa, karena orangtua zaman itu tidak begitu berpendidikan, jadi tidak banyak aturan ini-itu. Akibatnya anak-anak [generasi saya] diberikan banyak kebebasan untuk mengambil keputusan.

Yang sekarang menjadi orangtua dari generasi Z ini tough. Tetapi karena mereka punya uang, mereka akan mengatur anak-anaknya. Dia sudah siapkan asuransi dari kecil. Kalau beli sepatu, orangtuanya yang menentukan. Perjalanan ke luar negeri juga orangtuanya yang mengatur. Orangtuanya begitu khawatir terhadap masa depan anak-anaknya.

Terjadi paradoks di situ: Generasi Z lahir dan hidup di awal-awal pada masa yang agak susah. Tapi begitu mereka remaja, ekonomi Indonesia sudah baik. Katakanlah setelah tahun 2006 atau lebih tepat lagi tahun 2012, di era SBY, itu pertumbuhan ekonomi bagus, subsidi juga bagus. Tapi subsidi lebih kepada bahan bakar minyak, BBM.

Jadi ABG-ABG (anak baru gede) itu mainannya motor, coba lihat sekarang. Terus kemudian televisi itu lebih mencapai puncaknya di zaman itu, tahun 2012. Mungkin kita lihat banyak yang menjadi anak alay di kafe-kafe, 7-Eleven, dan sebagainya. Sepatunya kiri sama kanan beda, kelihatan di situ. Tapi bagi yang sedikit lebih elite, orangtuanya sudah memikirkan sekolah. Mereka masuk ke pendidikan yang internasional, apalagi yang lebih muda lagi, orangtuanya mampu.

Jadi, ada dua kelompok. Kelompok yang pertama adalah [yang manut pada] orangtua dogmatis. Orang tuanya Fakultas Ekonomi anaknya Fakultas Ekonomi. Yang parah jurusan kedokteran, 90 persen mahasiswa fakultas kedokteran anak dokter. Lebih parah lagi di Akpol, IPDN. Sekarang [jurusan] hukum, karena hukum sedang jadi panglima di Indonesia.

Hampir semua anak-anak yang kuliah itu sama dengan orangtuanya. Artinya apa? Ada orangtua yang pegang peranan penting di situ.

Yang menarik adalah kelompok anak-anak yang melawan orangtuanya. Dan ini mulai banyak didengar ceritanya.

Bahaya orangtua yang ingin meninggalkan jejak pada anaknya, dan membuat anak bersalah. Padahal anaknya bisa lebih dari kemampuan orangtuanya. Zaman berubah, profesi berubah. Ke depan, polisi tentara bukan yang seperti kita kenal, nanti cyber troops.

Ekonomi saja udah lebih dari 60 persen ada di dunia maya. Makanya sekarang ribut soal daya beli karena banyak orang-orang tua yang tidak mengerti, semua bilang daya beli turun. Saya bilang enggak. Daya beli turun itu seharusnya ketika pendapatan kamu hilang. Banyak orang penganggur, gaji turun. Atau yang kedua, beli barang semakin mahal. Nyatanya beli barang makin murah lewat internet.

Pohon salak saja saya beli di internet. Orang yang punya pet, beli obat kutunya di internet.

Jadi bagaimana lingkungan dan pelaku bisnis harus menyesuaikan perilaku dengan generasi baru ini?

Hormati anak-anak ini berada di dunia baru. Minggu depan saya ngomong di [Bank] Permata untuk berbicara bagaimana orangtua menyerahkan tampuk ini kepada anak-anaknya. Anak-anaknya sudah nyaman belum di dunia konvensional? Konvensional turun semua. Yang disurvei para ekonom itu retail konvensional.

Makanya saya bilang ini bukan daya beli yang turun, ini shifting, pindah. Yang diukur juga jumlah tenaga kerja di dunia real, padahal kalian banyak teman yang kerjanya di rumah di mal di Starbucks, kerjanya di bus pakai ponsel. Berapa banyak teman kita yang mengoperasikan bisnisnya dari rumah? Semakin banyak. Apakah mereka pengangguran?

Bagaimana para penentu kebijakan harus menyesuaikan diri dengan pola itu?

Presidennya sudah bilang harus ubah mindset-nya. Regulatornya yang enggak ngerti-ngerti. Regulator, kan, ada pusat, ada daerah. Di pusat disetujui, di daerah enggak. Lihat kasusnya Sevel? Itu banyak beda pendapatnya sama saya. Kalau saya bilang itu kerjaan regulator. Saya enggak bilang itu [salah] pemerintah. Regulator!

Dia [Sevel] dapat izin dari BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Namanya Badan koordinasi, seharusnya kalau kita ke sana sudah terkoordinasi, kan?

Izinnya adalah minimarket dan restoran, 2009. Tahun 2012 tiba-tiba Kemendag bilang kamu ini minimarket atau restoran? Kalau kamu minimarket, kenapa ada meja bangku makan? Kalau kamu restoran, kenapa ada rak-rak untuk jualan? Padahal itu bisnis model. [Generasi] Milenial itu berpikirnya bisnis model. Yang di atas, yang tua-tua, mikirnya marketing. Sekarang pertarungan bisnis, bukan lagi marketing lawan marketing, tetapi bisnis model lawan bisnis model.

Pernah ada pengamat ekonomi, pengamat kebijakan publik, bilang bahwa kereta cepat Jakarta-Bandung akan rugi waktu dicaplok sama Cina, [tiket] harga Rp500.000 pun tidak akan untung. Kalau Google ada di Indonesia, kira-kira jadi enggak, ya? [Layanan Google] dijual nol rupiah, jadi perusahaan terkaya di dunia.

Public transportation, kan harus murah. Karena cari uangnya bukan di situ. Memangnya mereka pikir tidak ada tempat untuk pasang iklan? Memangnya enggak bisa jual makanan? Memangnya enggak ada stasiun? Stasiunnya enggak bisa dibikin apartemen di atasnya? Lihat di luar negeri. Memangnya enggak bisa jadi office space? Dapat duit semua, kan? Ini justru mendatangkan duit untuk di sekitarnya.

Kenapa orang bikin usaha di terminal-terminal sampai kita lewatnya susah? Karena itu tempat massa berkumpul. Sekarang kereta sudah jelas tempat massa berkumpul. Bisa enggak cari duit di situ?

Jadi, Generasi Z ini memiliki banyak opportunity yang terbuka luas dari dunia kreatif yang diciptakan oleh generasi di atasnya atau dua generasi di atasnya yang masuk dalam gelombang informasi, information society.

Dengan adanya internet dan sebagainya, platform sekolah berubah, cara belajar berubah menjadi lebih fun. Tiba-tiba muncul sekolah-sekolah yang tidak kita duga. Pendaftar terpanjang di Amerika Itu bukan lagi Harvard atau sekolah kedokteran, tetapi CIA, The Culinary Institute of America.

Tiba-tiba acara televisi populer tentang chef. Tiba-tiba [di] internet kok ada artis chef baru. Berapa banyak orang ingin jadi chef? Industri yang berkembang saat ini adalah makanan. Ritel hancur, kalau konvensional tapi restoran makin bagus. Orang ngeluarin duit tuh sekarang buat makan bersama teman-teman.

Ini yang mengubah dunia. Segala sesuatu serba smart sekarang. Smart home, smart card, smart factory, smart farming. Sudah enggak seperti dulu jadi petani itu di gunung. Itu zaman dulu. Sekarang jadi petani itu high rise building, rak tinggi, dikontrol pakai internet semuanya. Terus kemudian dioperasikan dari rumah.

Lalu bagaimana pemerintah harus menyesuaikan diri? Sekolah harus berubah juga? Kurikulumnya?

Banyak sekali. Yang pertama mindset-nya dulu harus disruptif. Ini, kan, sedang terjadi disruption.

Tadi malam tiba-tiba ada yang bikin tulisan [bahwa] daya beli turun. Wah, dia enggak ngerti disruption, saya bilang. Ini terjadi di semua sektor, justru saya bilang disruption sekarang ada di semua sektor. Pendidikan kena, rumah sakit kena.

Jadi pertama, mindset-nya harus disruptif. Kalau mindset sudah disruptif, regulasi mengikuti.

Rektornya harus tahu ini [era] disruptif. Di Amerika saja sudah dua per tiga Generasi Milenial menggunakan sertifikat dari MOOC, Massive Open Online Course. Untuk apa? Untuk melamar kerja.

Jadi apa yang kira-kira harus dilakukan penentu kebijakan untuk menopang perubahan generasi ini?

Seharusnya [mulai dari] BKPM. Karena itu [lembaga] koordinasi. Di dunia ini, kan, yang paling mahal itu koordinasi. Kemudian, yang kedua, memperbaiki regulasi.

Misalnya gini: Di Singapura, kalau ada pergantian menteri, enggak ada yang tahu. Banyak doktor dari Oxford, hebat-hebat. Dan orang banyak yang enggak peduli, tuh. Jangan-jangan kewarganegaraan [menteri]-nya juga masih warga negara dari mana. Kenapa? Karena mereka perlu orang-orang ahli IT. Sekitar 125 ribu orang pekerja di sektor ritel akan kehilangan [pekerjaan] karena orang-orang tidak akan lagi belanja di Singapura. Dulu di generasi saya, waktu saya masih remaja, orang pergi ke Singapura [untuk] belanja.

Sekarang enggak. Semua ada di sini. Yang kedua, online. Atau yang ketiga, bisa nitip. Berapa banyak orang ke Paris bawa barang [jasa] titipan orang? Nah, Singapura kehilangan tempat ritelnya. Mereka punya program memindahkan 125 ribu orang-orang [di sektor] ini untuk pekerjaan yang lain.

Mereka sudah tunjukkan ke depan nanti transportasi di Singapura akan seperti ini seperti ini, kaget kita melihat teknologinya. Mereka pasang CCTV yang begini yang begini. Di sana regulasinya sudah jelas itu [mengikuti era] disruptif. Bikin aturannya disruptif.

Coba lihat saja sekarang self-driving car bisa masuk sampai Singapura, [tapi] tidak bisa masuk sampai di Indonesia. Karena undang-undang lalu lintas kita mengatakan setiap kendaraan harus ada pengemudinya. Mereka dengan cepat buat aturan yang baru. Regulasinya harus menyambut yang baru.

Orang DPR sini lebih sibuk bikin pansus angket KPK daripada mengurus aturan yang begini. Ya mungkin itu lebih menarik menurut mereka daripada urusan masa depan begini. Kan, kasihan anak-anak ini jadinya.

Kedua, kita harus mengajarkan kepada semua inkumben untuk berubah. Kita belajar dari kejadian setahun lalu, pada waktu taksi online berkelahi melawan taksi konvensional.

[Baca: Ramai-ramai Menolak Ojek dan Taksi Online]

Ya, pemerintah tidak bikin undang-undang e-commerce. Undang-undang e-commerce sampai sekarang belum keluar. Mereka lebih memilih mengurus Pansus daripada bikin undang-undang. Lebih senang membicarakan threshold daripada masa depan anak-anak muda.

[Baca: MK Solusi Terakhir Polemik Presidential Threshold]

Jadi saat ini belum datang keberpihakannya. [Dalam kasus taksi online vs konvensional] yang jadi wakil organisasi adalah Organda (Organisasi Pengusaha Angkutan Darat), sementara Organda adalah pelaku-pelaku usaha konvensional gitu loh. Which is sekarang usaha-usaha konvensional itu akan kolaps, karena internet sudah masuk ke seluruh sektor kehidupan.

Ada ekonom bilang itu bukan disruption, karena daya beli turun di semua sektor. Ya, karena disruption sudah masuk ke semua sektor.

Kenapa harga batubara jadi murah? Kenapa harga migas jadi murah? Disruption. Ciri-ciri disruption, kan, harganya jadi lebih affordable. Hotel, turisnya nambah tapi harga hotel turun, aneh enggak?

Berarti ada orang-orang di sektor distribusi yang kehilangan pekerjaan, dong?

Pindah. Bukan hilang. Kamu pikir tukang ojek pangkalan kehilangan pekerjaan dengan adanya tukang ojek online? Pindah, kan. Mereka sudah pakai Grab, sudah pakai Uber, Go-jek, yang katanya kemarin haram itu, sekarang pakai jaketnya. Malah dapat duit lebih banyak.

Kenapa enggak terdeteksi? Karena sektor ini enggak kelihatan. Taksi online kelihatan enggak barangnya di jalanan? Kamu bisa tahu enggak itu taksi atau bukan?

Online shop bisa, kan, kelihatan enggak? Kelihatan enggak orang penuh di mana di satu toko?

Fintech, itu kan online bank. More than online. Sudah dengan business model.

[Baca: Fintech Menggerogoti Bank Konvensional]

Jadi, pendidikan untuk anak-anak yang lahir setelah 1995 itu, wah, dunianya luas, karena [ini era] internet of things, internet of everything. That's way, to be Smart technology, simple. Semua menjadi simpel. Accessible. Semua belajarnya sekolah sudah lain. Saya datang ke Boston, caranya apa? Kuliahnya online.

Kalau tadi, kan, hal-hal yang terdengar optimistik, ada enggak yang mengkhawatirkan dari Generasi Z?

Oh banyak. [Mereka] tidak berani mengambil keputusan. Semua orangtua yang mutusin.

Tapi dari hasil riset kami, untuk konsumsi, misalnya beli tas, ponsel pintar, mereka sudah bisa memutuskan sendiri.

Soal produk memang mereka lebih pintar dari orangtuanya. Tapi cobalah, [minta] putusin untuk kuliah di mana? Keputusan strategis.

Di kelas saya, tiap mahasiswa harus mengunjungi satu negara yang berbeda. Minggu ini sudah punya paspor, minggu depan mereka harus putuskan mau pergi ke mana. [Ternyata], tanya mama.

Orangtuanya selalu membikin [mereka] seperti burung dara yang diikat sayapnya. Dia terbang bisa sampai genteng, tapi terbang tinggi enggak bisa. Kerjaan saya melepas jahitan sayapnya itu supaya mereka bisa terbang tinggi jadi rajawali. Orangtuanya ini menjadikan mereka seperti burung dara.

Hasil riset kami menunjukkan generasi Z mendapat asupan berita dari media sosial. Ada komentar?

Generasi di atasnya juga rata-rata sudah meninggalkan media konvensional.

Akan lebih buruk karena [media sosial] enggak ada editornya. Tidak ada check and recheck, kan. Sementara, mereka berpandangan bad news is a good news. Ingin menjadi yang pertama dalam mewartakan keburukan.

Sekarang orang pakai WhatsApp, kan? Yang disebarin dari mana? Media abal-abal, kan, banyak banget. Enggak ada editornya. Kamu bisa bilang [seseorang] koruptor padahal dia orang baik. Bisa, kan? Termasuk misalnya pergantian menteri. Bahaya enggak ada gate keepers-nya.

[Baca: Mengikuti Keseharian Generasi Z di Indonesia Golongan Pertama]

Baca juga artikel terkait GENERASI Z atau tulisan lainnya dari Maulida Sri Handayani

tirto.id - Indepth
Reporter: Aulia Adam & Hendra Friana
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Fahri Salam