tirto.id - Lathifah Anggraheni, 27 tahun, punya adaptasi agak lambat dengan lingkungannya sejak menjalani studi di Yogyakarta delapan tahun silam. Ia kurang dekat dengan teman sekelas atau mahasiswa baru asal Lampung lain. Ia pun tak menolak digolongkan mahasiswi kupu-kupu—alias kuliah-pulang kuliah-pulang—karena tak punya referensi tempat makan atau tongkrongan yang memadai.
Adiknya, Neti Kusumawardani, usia 20 tahun, agak berbeda. Neti ikut kuliah di Yogyakarta sejak medio 2016. Mereka tinggal bareng di rumah kontrakan dan kakaknya menyebut Neti sebagai anak yang aktif banget.
Kebiasaan yang diperhatikan sang kakak adalah betapa sering Neti pergi keluar di malam hari atau di akhir pekan untuk berburu makanan bersama teman-teman satu geng. Tak hanya ke tempat yang sama, melainkan kerap menjajal tempat baru.
Mengapa demikian? “Aku enggak pegang smartphone. Zaman enggak enak,” katanya, terbahak.
“Dulu itu sampai aku semester 4 atau 5 masih pegang HP jadul, yang cuma bisa telepon dan sms itu. Lha, adikku aja dari pertama ke Yogya udah dibeliin HP Oppo sama bapak. Dia aktif banget di sosmed,” kata Lathifah.
Sejak menggenggam ponsel pintar, konsumsi Lathifah atas media sosial kian meninggi. Begitupun referensi soal tempat makan baru yang tersebar di sejumlah titik di area Kota Yogya dan pinggiran Sleman. Ia paham kemudian jika Instagram adalah sumber utama yang dipakai adik dan teman-teman sebayanya untuk mengakses info seputar wisata kuliner di Yogya.
Lathifah digolongkan sebagai Generasi Milenial, gerombolan anak muda kelahiran pertengahan 1980-an hingga medio 1990-an. Mereka adalah kelompok paling awal yang bersentuhan era penemuan ponsel pintar dan beragam aplikasi media sosial. Jadi wajar jika ada yang sebagian langsung ikut tren, dan sebagian lain ada yang terlambat.
Neti berbeda lagi. Ia dikategorikan sebagai Generasi Z atau mereka yang lahir pada medio 1990-an hingga 2010-an. Gengsi Neti dan kawan seangkatannya terletak pada kepemilikan ponsel pintar dan kebiasaan eksis di akun medsos. Saat beranjak kuliah, ponsel pintar bukan lagi dianggap elemen yang prestisius, tetapi menariknya turut membentuk kebiasaan makan.
Berkat media sosial, pendeknya, referensi tempat makan Generasi Z tambah luas.
Pada November 2015 Nielsen menerbitkan hasil riset yang melibatkan 30.000 partisipan dari 60 negara. Di dalamnya mencangkup perbandingan gaya hidup antara Silent Generation (di atas 65 tahun), Generasi Baby Boomers (usia 50-64), Generasi X (35-49), Generasi Milenial, dan Generasi Z.
Untuk urusan mengisi perut, Generasi Milenial dan Generasi Z adalah dua golongan yang paling sering makan di luar rumah. Persentase responden Silent Generation yang makan di luar setidaknya sekali dalam seminggu (26 persen), Baby Boomers 29 persen, dan Generasi X 44 persen. Persentase Generasi Milenial dan Generasi Z mencapai 58 persen dan 46 persen.
Riset Tirto, yang melibatkan 1.201 responden (usia 7-21 tahun) di Bandung, Denpasar, Jakarta, Surabaya, Tangerang, dan Yogyakarta, menunjukkan mayoritas Generasi Z memang masih sering makan di rumah. Namun, ada alasan-alasan khusus mengapa sebagian lain memilih hal tersebut. Temuan ini sekaligus menunjukkan pola hidup Generasi Z: mereka yang tinggal bersama orangtua dan tinggal sendiri (indekos, mengontrak, dsb).
Sementara alasan responden memilih makan di luar rumah karena tak ada yang menyiapkan makanan (24,1 persen), lebih banyak aktivitas di luar tempat tinggal (20,6 persen), atau karena tinggal sendiri (19,8 persen).
Sisanya responden menjawab karena tak punya kemampuan memasak, rasa makanan di luar yang lebih enak, pilihan menu lebih variatif, mencari suasana tempat makan, atau karena lebih praktis.
Restoran cepat saji jadi salah satu tujuan mereka. Survei Tirto menunjukkan jika Kentucky Fried Chicken (KFC) jadi restoran pilihan paling disukai generasi Z.
Tak heran jika pemasukan KFC pada 2015 sekitar Rp4,47 triliun. Hingga semester I-2016, si Kolonel Sanders mencatat kenaikan pendapatan 11 persen dan pertumbuhan labanya mencapai 55 persen dibanding periode yang sama pada 2015.
Di urutan kedua ada McDonalds (Jawa-Bali 23,1 persen, Jakarta 25,4 persen). Tempat lain yang dikunjungi Generasi Z meliputi restoran waralaba terkenal dan termasuk perusahaan multinasional, antara lain Burger King, Pizza Hut, HokBen, dan A&W.
Apabila dicermati, rata-rata restoran cepat saji yang dipilih Generasi Z Indonesia adalah yang menyajikan menu nasi. Nasi masih menjadi makanan pokok bagi mayoritas masyarakat Indonesia. Konsumsi beras atau nasi di Indonesia termasuk tertinggi di Asia Pasifik, menempati posisi ketiga dengan konsumsi 163 kg per kapita per tahun.
Di Amerika Serikat, menurut laporan Time, Generasi Z sudah jadi sasaran konsumen berikutnya oleh restoran-restoran dan perusahaan makanan. Merujuk data Piper Jaffray, dunia kuliner makin dilihat sebagai pilihan untuk bersenang-senang oleh generasi kekinian, alih-alih pemenuh kebutuhan lapar dan dahaga semata.
Generasi Z AS pada tahun lalu tercatat menghabiskan 20 persen lebih banyak di restoran dibanding Generasi Milenial pada 2003. Dalam laporanNation's Restauran News, uang yang dihabiskan Generasi Z saat ke restoran kurang lebih 78 miliar dolar AS per Februari 2016. Menurut grup NPD, Generasi Z suka pelayanan serba cepat dan efektif saat makan di luar, sebagaimana kemauan Generasi Milenial dan Generasi X.
Gen Z dan Bisnis Layanan Antar-Pesan Makanan
Hal lain yang sering dilakukan kakak-adik Lathifah Anggraheni dan Neti Kusumawardani sejak bergantung tinggi dengan ponsel adalah memesan makanan via Go-Food, layanan dari perusahaan fintechGo-Jek.
Dalam observasi Tirto, layanan beli dan antar makanan online tergolong tinggi peminat terutama dari kalangan Generasi Z yang beririsan dekat dengan usia Milenial (rata-rata sudah mandiri secara finansial). Aplikasi pemesanan dan pengantar makanan-minuman online adalah kemewahan bagi kedua generasi ini.
Moda transportasi online makin berperang penting di kota-kota besar di Indonesia. Peluang yang dilirik Go-Food sebagai fitur baru Go-Jek yang diluncurkan sejak 2015, misalnya, berasal dari sikap generasi muda kekinian yang makin malas mengangkat pantat tetapi sekaligus memiliki akses gampang ke internet maupun medsos.
Pembahasan tentang Generasi Milenial barangkali sudah overrated mengingat jumlah anak muda dalam kategori Generasi Z di tingkat global juga telah melampauinya. Di Indonesia, menurut sensus BPS 2010, jaraknya tinggal kurang lebih 10 juta. Peluang bagi pengusaha bidang kuliner pun masih terbuka lebar, asal kenal karakter Generasi Z itu seperti apa.
Baca:
- Selamat Tinggal Generasi Milenial, Selamat Datang Generasi Z
- Belajar dari Kegagalan Foodpanda di Indonesia
- Jurus Go-Jek yang Jadi Pembeda dengan Kompetitor
Generasi Z, dalam pandangannya, meski lebih tidak fokus dan individual tetapi lebih serba-bisa, lebih global, berpikiran lebih terbuka, lebih cepat terjun ke dunia kerja, lebih berjiwa wirausaha, dan tentu saja, lebih ramah teknologi.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Fahri Salam