tirto.id - Pelbagai tingkah laku para wakil rakyat belakangan tengah menjadi sorotan publik. Terutama beragam pernyataan kontroversial terkait kenaikan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Salah satunya, pernyataan anggota Komisi IX DPR-RI Nafa Urbach yang menyetujui soal kenaikan tunjangan dan gaji wakil rakyat. Dalam siaran langsung di akun Instagram pribadinya, ia menyatakan bahwa kenaikan tunjangan rumah dinas itu wajar karena banyak anggota dewan tidak mendapat fasilitas rumah jabatan.
Ia juga menambahkan, sejumlah legislator berasal dari luar kota dan terpaksa mengontrak di kawasan Senayan demi kemudahan akses ke gedung DPR. Ia mencontohkan kemacetan dari tempat tinggalnya di Bintaro sebagai pembanding sulitnya mobilitas ke Senayan.
"Anggota dewan itu gak dapat rumah jabatan, dikarenakan banyak sekali anggota dewan yang berasal dari luar kota, maka dari itu banyak sekali anggota dewan yang ngontrak di daerah Senayan, supaya memudahkan mereka untuk ke kantor DPR. Saya saja yang tinggalnya di Bintaro, macetnya luar biasa ini. Sudah setengah jam di perjalanan masih macet," ujar Nafa Urbach, Tirto kutip dari video yang kemudian viral itu.
Pernyataan tersebut segera memicu polemik baru dan menuai reaksi keras dari publik. Banyak di antara masyarakat menilai bahwa sebagai anggota DPR, yang menyandang status sebagai wakil rakyat, Nafa seharusnya lebih mengutamakan kepentingan masyarakat luas dibandingkan kepentingan pribadi maupun institusional.
Hal lain yang turut menjadi sorotan utama adalah keluhan Nafa mengenai kemacetan di rute perjalanan dari kediamannya di Bintaro, menuju Kompleks DPR RI di Senayan. Keluhan tersebut disambut warganet dengan saran agar Nafa turut merasakan pengalaman masyarakat pada umumnya, dengan menggunakan transportasi umum sebagai alternatif untuk menghindari kemacetan, ketimbang menyampaikan keluhan di ruang publik.
Apalagi, daerah kediaman Nafa di daerah Bintaro bisa dibilang merupakan wilayah yang menyediakan pilihan moda transportasi umum seperti kereta rel listrik (KRL) Commuter Line. Tak sedikit pula warganet yang memberi tahu Nafa dan sejumlah anggota DPR lain yang mungkin tinggal di kawasan tersebut, bahwa menggunakan moda transportasi publuik kereta listrik dapat mempercepat waktu tempuh menuju kawasan Senayan, lokasi Gedung DPR-RI.
Anggota DPR Harus Coba Naik Transportasi Umum
Tirto menguji klaim Nafa Urbach yang terkaitnya mobilitas dari rumahnya di Bintaro menuju Gedung DPR-RI Senayan. Jarak antara Bintaro dan Gedung DPR RI di Senayan memang bervariasi, tergantung dari titik keberangkatan di Bintaro. Kisarannya antara 12 hingga 20 kilometer (KM).
Seperti yang disampaikan Nafa, jika ditempuh dengan mobil pribadi, perjalanan ini bisa terasa jauh dan memakan waktu lama, terutama saat jam sibuk. Misalnya, untuk jarak 15 kilometer pada pagi hari saat macet, waktu tempuh bisa mencapai 1,5 jam.
Namun, sesuai saran dari masyarakat dan warganet, tersedia alternatif transportasi umum yang lebih efisien, salah satunya KRL.
Untuk menunjukkan seberapa strategis dan efektifnya perjalanan dari Bintaro ke Senayan menggunakan moda transportasi ini. Tirto mencoba langsung menjajal rute tersebut dengan KRL.
Di kawasan Bintaro sendiri tersedia dua stasiun KRL yang dapat digunakan, yaitu Stasiun Pondok Ranji dan Stasiun Jurang Mangu. Pemilihan stasiun dapat disesuaikan dengan lokasi tempat tinggal. Warga di Kelurahan Bintaro dan Bintaro Jaya Sektor 1-5 umumnya lebih dekat ke Stasiun Pondok Ranji, sedangkan Sektor 6-9 lebih mudah mengakses Stasiun Jurang Mangu.
Stasiun Pondok Ranji-pintu samping masuk DPR, cuma perlu 18 menit
Tirto mencoba berangkat dari stasiun Pondok Ranji sebagai titik awal. Kami tiba di stasiun ini pada Jumat (22/8/2025) pukul 10.08 WIB dan langsung menuju ke peron arah Tanah Abang.
Setelah menunggu sekitar 12 menit, kereta tiba dan berangkat pukul 10.20 WIB. Meleset sedikit dari jadwal yang nomor perjalanan 1681, yang tertera di situs resmi Commuter. Kereta seharusnya melesat dari Pondok Ranji pukul 10.19 WIB. Jika mengikuti jadwal, kereta berangkat dari Stasiun Jurang Mangu pukul 10.15 WIB.
Suasana dalam gerbong KRL di Jumat pagi menjelang siang masih padat. Tak ada jaminan bagi para wakil rakyat yang selama ini telah mendapatkan kursi di Senayan, untuk otomatis bisa dapat kursi di KRL. Toh, masyarakat juga berebut kursi di gerbong setiap harinya.

Sekadar informasi bagi para anggota DPR yang mungkin masih awam menggunakan KRL, memang ada kursi prioritas di dalam gerbong. Tapi Kursi itu hanya diperuntukan bagi penumpang dengan kebutuhan khusus, seperti lansia, perempuan hamil, disabilitas dan anak kecil/bayi.
Meski berstatus wakil rakyat, tak ada status spesial atau perlakuan khusus bagi anggota DPR yang ingin menggunakan KRL. Di sini semua penumpang dengan beragam latar belakang memiliki kedudukan yang sama.
Meski jika mau direnungkan lagi, gerbong kereta yang dipenuhi sesak dengan masyarakat harusnya bisa menjadi momentum bagi para wakil rakyat tersebut untuk berinteraksi langsung dan mendengar keluh kesah rakyatnya yang hari-hari berjubel di KRL.
Sebagai informasi, per Juli 2025 jumlah masyarakat yang menggunakan layanan KRL Commuter Line mencapai 31,4 juta orang. Bayangkan, jika mayoritas anggota DPR menggunakan KRL saat menuju dan pulang kantor bersama-sama masyarakat. Ini akan menjadi momentum yang baik untuk menyerap, menampung, dan memperjuangkan aspirasi masyarakat secara langsung tanpa perlu menunggu masa reses.
Kembali ke perjalanan Tirto menuju Gedung DPR-RI, perjalanan ini sendiri hanya akan melewati satu stasiun yaitu Stasiun Kebayoran sebelum berhenti di Stasiun Palmerah yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari Gedung DPR-RI. Pukul 10.33 WIB, kami tiba di Stasiun Palmerah. Artinya, waktu tempuh dari Pondok Ranji ke Palmerah hanya sekitar 13 menit.
Sesampainya di Stasiun Palmerah Tirto lantas berjalan menuju arah utara menuju pintu masuk samping Gedung DPR-RI. Hanya membutuhkan waktu lima menit dengan berjalan kaki, tepat pada pukul 10:38 WIB, kami tiba di pintu masuk samping Gedung DPR-RI yang berada di sisi pos polisi Palmerah.

Total dari sampai di Stasiun Pondok Ranji, sampai dengan pintu masuk Gedung DPR-RI, kami menghabiskan 30 menit, itu juga termasuk 12 menit waktu tunggu kami di stasiun. Sebanding dengan waktu bermacet-macetan yang dikeluhkan Nafa.
Eksperimen ini membuktikan bahwa komentar masyarakat adalah benar. Bagi para anggota DPR yang tinggal di Bintaro atau daerah penyangga lain menggunakan transportasi umum seperti KRL mungkin bisa dijadikan pilihan yang menarik dan menjadi solusi dari permasalahan yang ada. Opsi ini juga berarti anggota DPR tak perlu mengontrak rumah dengan nilai Rp50 juta di sekitar wilayah Senayan.
Anggota DPR Kurang Peka dengan Kondisi Rakyat
Peneliti Indonesian Parliamentary Center (IPC) Arif Adiputro menilai, pernyataan Nafa sebagai Anggota DPR yang mengeluhkan kemacetan dari Bintaro ke Senayan, sembari membela tunjangan perumahan justru memperkuat persepsi bahwa yang bersangkutan kurang memahami realitas dan perjuangan masyarakat pada umumnya.
“Banyak pekerja dari daerah penyangga seperti Bogor, Depok, atau Bekasi harus berangkat sebelum subuh menggunakan transportasi umum yang penuh sesak, tanpa tunjangan sebesar yang diterima anggota DPR,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Jumat (22/8/2025).
Arif menambahkan, dalam kapasitasnya sebagai wakil rakyat, pernyataan Nafa tersebut dapat dianggap tidak merepresentasikan aspirasi masyarakat secara utuh. Menurut dia bahkan hal ini mengesankan Nafa lebih mementingkan kenyamanan pribadi dibandingkan kepentingan publik.
Padahal, sebagai legislator dari Fraksi Partai NasDem, Nafa sejatinya memiliki peluang untuk menunjukkan kepemimpinan yang inklusif. Misalnya dengan mendukung penggunaan transportasi publik atau mendorong kebijakan alternatif yang lebih efisien dari sisi anggaran, seperti optimalisasi dan renovasi rumah dinas yang sudah ada.
“Ketidakmampuan menunjukkan empati dalam komunikasi publik, terutama di tengah polemik yang sensitif, dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap DPR sebagai institusi. Secara lebih luas, polemik ini mencerminkan masalah sistemik dalam pengelolaan anggaran negara dan persepsi publik terhadap DPR,” tambah Arif.
Tunjangan perumahan DPR setara Rp1,74 triliun untuk 5 tahun
Terpisah, Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai kebijakan tunjangan perumahan berpotensi membebani keuangan negara secara signifikan. Dengan perhitungan, tunjangan sebesar Rp50 juta per bulan untuk 580 anggota DPR selama lima tahun (60 bulan) maka akan menguras anggaran publik hingga mencapai Rp1,74 triliun.“DPR harus menjelaskan alasan yang lebih kokoh terkait keputusan tersebut. Seperti, mengapa angka Rp50 juta yang diambil? Apakah sudah mengikuti standar dan ketentuan yang berlaku?” ujar Kepala Divisi Advokasi ICW, Egi Primayogha kepada Tirto, Rabu (20/3/2025).
ICW menduga bahwa kebijakan tunjangan perumahan ini tidak sepenuhnya bertujuan untuk mendukung kinerja legislatif. Sebaliknya, tunjangan tersebut dicurigai menjadi sarana tambahan untuk menutup biaya politik tinggi yang dikeluarkan saat pemilu, atau bahkan untuk menjaga keberlangsungan jaringan patronase politik yang dimiliki oleh sejumlah anggota DPR.
“Dari sisi etika publik, itu bukanlah keputusan yang patut dan adil. Mengingat warga akan menghadapi kesulitan akibat kenaikan pajak dan kesulitan lain yang tengah dihadapi dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































