Menuju konten utama

Tunjangan DPR Melangit, Upah Masyarakat Sekadar Hidup Irit

Jika ditotal pendapatan anggota DPR mencapai Rp94 juta/bulan. Nilai tersebut 28 kali lipat UMP nasional yang sekitar Rp3,3 juta/bulan.

Tunjangan DPR Melangit, Upah Masyarakat Sekadar Hidup Irit
Suasana saat Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato kenegaraan dalam rangka Penyampaian Pengantar/Keterangan Pemerintah atas RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2026 beserta Nota Keuangannya di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (15/8/2025). ANTARAFOTO/Dhemas Reviyanto/sgd/YU

tirto.id - Akhir-akhir ini, jagat media sosial tengah ramai oleh isu pemberian tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan kepada para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ketua DPR RI, Puan Maharani, mengatakan, pemberian tunjangan perumahan itu ditujukan sebagai ganti dari fasilitas rumah dinas atau rumah jabatan anggota (RJA) yang kini sudah tidak lagi diberikan kepada para anggota DPR.

Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir, juga menilai bahwa tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan itu masih masuk akal. Adies menjelaskan, tunjangan perumahan yang diberikan telah disesuaikan dengan harga yang ada di wilayah Senayan, Jakarta Pusat. Menurutnya, indekos sederhana berukuran 4x6 meter dengan kamar mandi saja memiliki harga sewa rata-rata Rp3 juta per bulan, atau Rp36 juta setahun.

Adies mengakui bahwa selain tunjangan perumahan, sejumlah komponen tunjangan anggota DPR lainnya juga mengalami kenaikan. Beberapa komponen itu di antaranya adalah tunjangan bensin yang naik menjadi Rp7 juta per bulan dan tunjangan beras yang naik hingga Rp12 juta per bulan.

“Tunjangan beras karena kita tahu beras, telur juga naik, mungkin Menteri Keuangan juga kasihan dengan kawan-kawan DPR. Kami ucapkan terima kasih dengan kenaikan itu,” ujar Adies kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (19/8/2025).

Belakangan, Adies meluruskan pernyataannya terkait tunjangan beras yang diterima para anggota DPR per bulannya. Adies menyebut tunjangan beras yang diterima para anggotanya adalah Rp200 ribu per bulan, bukan Rp12 juta per bulan seperti yang dia sampaikan sebelumnya.

Selain beras, Adies juga meluruskan beberapa data terkait tunjangan yang diterima anggota DPR, seperti tunjangan bensin yang disebutnya bukan bernilai Rp7 juta per bulan, melainkan Rp3 juta per bulan. Adapun, penjelasannya ini disampaikan usai melakukan pengecekan data ke Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR RI.

“Kemudian saya ingin klarifikasi terkait dengan kemarin ada beberapa hal yang saya salah memberikan data. Setelah saya cek di Kesetjenan, ternyata tidak ada kenaikan baik itu gaji maupun tunjangan seperti yang saya sampaikan,” ucapnya di Gedung DPR RI, Rabu (21/8/2025).

Akibat kenaikan besaran sejumlah komponen tunjangan, pemasukan anggota DPR pun tampak mengalami kenaikan. Puan Maharani membenarkan soal adanya kenaikan total penghasilan atau take home pay yang diterima anggota DPR. Namun, ia kembali meluruskan, take home pay bukan karena adanya kenaikan gaji pokok, melainkan karena adanya komponen tunjangan baru.

Jika dijumlah, total pendapatan atau nilai take home pay anggota DPR mencapai Rp94 juta per bulan, selisih sedikit dari Rp100 juta. Sedangkan, pimpinan DPR mendapatkan gaji yang lebih tinggi. Ketua DPR memperoleh take home pay sebesar Rp107 juta per bulan dan Wakil Ketua DPR membawa pulang uang Rp102 juta per bulan.

Membandingkan Gaji Wakil Rakyat dengan Masyarakat di Indonesia dengan Negara Lain

Gaji bulanan para anggota DPR yang hampir menyentuh tiga digit itu lantas membuat banyak masyarakat geram. Pasalnya, besaran pendapatan yang diterima para wakil rakyat itu menunjukkan angka yang kontras apabila dibandingkan dengan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) di Indonesia pada tahun 2025.

Berdasarkan data yang dirilis oleh portal Satu Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), secara rata-rata, angka UMP nasional pada tahun ini hanya mencapai Rp3.315.761. Angka itu cuman setara dengan tunjangan bensin anggota DPR yang disebut Wakil Ketua DPR, Adies.

Bahkan jika dibandingkan dengan nilai UMP terbesar di Indonesia yang berada di Provinsi DKI Jakarta, gaji para anggota DPR masih berada jauh di atas. UMP Jakarta pada tahun 2025 masih berada pada angka Rp5.396.761.

Secara perbandingan, rasio gaji para anggota DPR memiliki kisaran 28 sampai 32 kali lipat lebih tinggi dari rata-rata UMP nasional.

Sementara itu jika dikomparasi dengan negara-negara lainnya di dunia, rasio gaji para anggota parlemen dengan rata-rata UMP nasional di Indonesia menjadi salah satu yang tertinggi. Di Jepang misalnya, para anggota parlemen mendapatkan gaji pokok sebesar 1.294.000 yen atau setara Rp142,34 juta setiap bulannya. Sedangkan untuk tunjangan bulanan mencapai 1.130.950 yen atau setara Rp124,4 juta per bulannya.

Secara total, pemasukan yang diterima anggota parlemen Jepang per bulannya mencapai kisaran Rp266,70 juta. Sedangkan untuk upah minimum masyarakat di Jepang, mengacu ke data Take-Profit.org mencapai 159,5 ribu yen atau sekitar Rp17,6 juta per bulannya.

Dengan begitu, rasio gaji anggota parlemen di Jepang memiliki kisaran 15 kali lebih tinggi dari upah minimum masyarakat.

Sementara itu di Selandia Baru, setiap bulannya para anggota parlemen digaji sebesar 26,71 ribu dolar Selandia Baru atau setara Rp253,44 juta. Sedangkan upah minimum masyarakat di Selandia Baru mencapai 3.763 dolar Selandia Baru, atau setara Rp35,8 juta setiap bulannya.

Dengan begitu, rasio antara gaji para anggota parlemen di Selandia Baru 7,08 kali lebih tinggi dibandingkan upah minimum masyarakat.

Gaji anggota parlemen ditetapkan tanpa dasar yang jelas

Ketimpangan yang tinggi antara pendapatan anggota parlemen dengan upah yang diterima masyarakat bukan hanya terjadi di Indonesia. Di Liberia contohnya, para anggota parlemen mereka menjadi salah satu yang dibayar tertinggi di dunia.

Berdasarkan laporan New Narratives, selama sebulan, para anggota parlemen Liberia mendapatkan gaji hingga 15.000 dolar AS atau setara Rp244,95 juta. Jumlah itu bahkan lebih besar jika dibandingkan dengan gaji anggota parlemen Jerman yang hanya mencapai 10.000 dolar AS atau setara Rp163,3 juta per bulannya.

Meski begitu, upah yang diterima oleh masyarakat Jerman dan Liberia berbanding terbalik. Masyarakat di Jerman mendapatkan upah sebesar 4.500 dolar AS atau setara Rp69,4 juta per bulannya. Sedangkan masyarakat Liberia hanya mampu menerima upah sebesar 50 dolar AS atau setara Rp816 ribu per bulannya.

Pembukaan Konferensi Ke-19 PUIC 2025

Sejumlah delegasi dari beberapa negara peserta mengikuti pembukaan Konferensi ke-19 Uni Parlemen Negara Anggota Organisasi Kerja Sama Islam atau Parliamentary Union of the OIC (PUIC) tahun 2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (14/5/2025). ATARA FOTO/Rivan Awal Lingga/rwa.

Pendapatan para anggota parlemen di negara-negara berkembang memang seringkali mengalami ketimpangan tinggi dengan upah yang diterima masyarakatnya. Hal ini bisa terjadi salah satunya karena tidak adanya indikator yang jelas untuk mengukur besaran gaji para anggota parlemen.

Kondisi ini jelas berbeda dengan Selandia Baru dalam menetapkan gaji bulanan para anggota parlemen. Dikutip dari portal resmi parlemen Selandia Baru, pendapatan atau remunerasi anggota parlemen ditinjau dan ditetapkan oleh Otoritas Remunerasi, sebuah badan independen yang ditugaskan khusus untuk menentukan besaran gaji para anggota parlemen. Otoritas ini memiliki tanggung jawab berdasarkan Undang-Undang Otoritas Remunerasi 1977, dan Undang-Undang Anggota Parlemen (Remunerasi dan Layanan) 2013.

Undang-Undang Otoritas Remunerasi telah menetapkan kriteria yang harus dipertimbangkan saat menghitung gaji anggota parlemen, yang meliputi relativitas yang adil dengan posisi yang sebanding; bersikap adil baik kepada individu yang gajinya ditetapkan maupun kepada wajib pajak; menyesuaikan dengan persyaratan pekerjaan; sampai dengan kebutuhan untuk merekrut dan mempertahankan individu yang kompeten.

Kondisi Indonesia: Biaya Politik Besar, Cenderung Permisif terhadap Birokrasi yang Membatasi Pendapatan

Dosen Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Ignasius Loyola Adhi Bhaskara, mengatakan, konsep serupa dalam menetapkan besaran gaji anggota parlemen belum bisa diterapkan di Indonesia.

Di Indonesia ada perbedaan biaya politik yang harus dikeluarkan oleh setiap calon anggota parlemen. Jika dibandingkan dengan Selandia Baru, mereka telah membangun suatu sistem dan aturan yang membatasi biaya maksimal untuk promosi calon legislatif dengan nominal tertentu.

“Di New Zealand, misalnya, biaya iklan untuk kandidat dibatasi. Misalnya, tahun 2023, biaya iklan yang dapat dikeluarkan suatu partai untuk promosi mereka dibatasi,” ujar pria yang akrab disapa Aska itu, saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (21/8/2025).

Sedangkan di Indonesia, katanya, biaya politik yang harus dikeluarkan masih sangat besar. Hal itu bisa terjadi karena praktik suap-menyuap dalam proses elektoral masih kerap terjadi.

Selain itu, Aska juga menyoroti tidak adanya political will dari koalisi partai di pemerintahan untuk menggagalkan upaya peningkatan gaji para anggota DPR itu. Ia menyesalkan kealpaan rasa empati para anggota DPR dalam menentukan peningkatan gaji itu, terlebih mengingat kondisi ekonomi saat ini yang sedang tidak baik-baik saja.

“Di tengah kondisi ekonomi yang kurang baik dan anggaran pemerintah yang banyak tersedot untuk program prioritas pemerintah yang belum ketahuan ujungnya baik atau buruk, tentu saja kenaikan tunjangan tersebut bukan sebuah keputusan yang bijak,” katanya.

Rapat paripurna DPR pembukaan masa persidangan

Sejumlah anggota DPR mengikuti Rapat Paripurna ke-20 DPR RI Pembukaan Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2024-2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/6/2025). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/nz

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai, kehadiran Otoritas Remunerasi di Selandia Baru menjadi kunci dalam memastikan gaji anggota parlemen tidak mengalami ketimpangan yang tinggi dengan upah minimum masyarakat. Dengan kehadiran lembaga itu, maka komponen gaji pokok maupun tunjangan yang ditetapkan kepada para anggota parlemen adalah komponen yang esensial dan tidak menimbulkan pemborosan.

Menurut Bhima, kondisi sebaliknya justru terjadi di Indonesia. Dalam menetapkan besaran gaji para anggota DPR, akuntabilitas masih menjadi isu terbesar. Penentuan besaran gaji pun disebutnya dilakukan tanpa melewati indikator yang jelas.

“Banyak yang tidak akuntabel. Ya dasarnya apa penentuannya, kemudian formulasinya apa bisa dapat tunjangan rumah sebesar itu, Rp50 juta per bulan. Kemudian tunjangan beras, apa gitu kan, padahal sudah ada gaji,” tuturnya kepada Tirto, Kamis (21/8/2025).

Selain itu, pemerintah juga disebut Bhima seringkali bersikap permisif dalam menghadapi kecacatan birokrasi semacam ini. Sedangkan di Selandia Baru, ketimpangan seperti itu tidak mungkin terjadi karena anggota parlemen sebagai wakil rakyat tidak boleh memiliki gaji yang besarannya jauh dari rata-rata upah yang diterima masyarakat.

Bhima beranggapan, momentum penyesuaian gaji dan tunjangan para anggota DPR ini seharusnya dimanfaatkan untuk membebani mereka dengan Pajak Penghasilan (PPh) 21. Menurutnya, PPh para pejabat seharusnya sudah tidak perlu lagi ditanggung oleh negara.

“Memang kita harus memanfaatkan momentum ini agar remunerasi pejabat DPR, kemudian menteri-menteri, bahkan presiden, termasuk wajib membayar pajak khususnya PPH 21, jangan lagi ditanggung oleh negara. Tunjangan-tunjangan semua dilakukan perombakan, ini adalah momentum yang tepat,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait DPR atau tulisan lainnya dari Naufal Majid

tirto.id - News Plus
Reporter: Naufal Majid
Penulis: Naufal Majid
Editor: Alfons Yoshio Hartanto