tirto.id - Saat ini, saya baru menyadari satu kebiasaan buruk telah mengubah pola tidur saya. Dulu, saya bisa tidur tepat waktu, paling lambat pukul 22.00. Sekarang, jam tidur saya mundur hingga pukul 04.00, sebab saya masih terpaku di depan layar.
Kebiasaan ini saya sadari berawal dari kebiasaan menggulir konten secara berlebihan di media sosial. Seiring berkembangnya media sosial, generasi muda, termasuk saya, sering terpapar berita yang menekan dan bikin cemas.
Ketika beban akademik semakin berat, banyak mahasiswa mencari pelarian dengan membuka ponsel mereka. Ironisnya, kebiasaan ini tidak mengurangi kecemasan, melainkan malah memperburuk stres dan menyebabkan gangguan tidur.
Berdasarkan survey Manulife pada Januari 2024, gangguan tidur, kecemasan, dan stres merupakan tiga masalah kesehatan mental yang paling banyak dikhawatirkan masyarakat Indonesia. Dan salah satu penyebab gangguan ini adalah kebiasaan doomscrolling, menggulir konten media sosial secara berlebihan.
DataReportal 2025 menyebutkan, Indonesia memiliki 143 juta pengguna media sosial, dengan TikTok sebagai platform terbesar. Angka ini ekuivalen dengan 50.2% total populasi masyarakat Indonesia.
Di sini, kita bisa melihat betapa besar pengaruh media sosial terhadap kehidupan sehari-hari, terutama bagi mahasiswa yang sering kali terjebak dalam siklus stres yang tidak berujung. Fenomena doomscrolling tidak hanya menghabiskan waktu, tetapi juga merusak fungsi otak.
Studi Harvard Health Publishing menunjukkan, paparan konten negatif dapat mengaktifkan amigdala secara berlebihan, meningkatkan kadar kortisol hingga 27% lebih tinggi dibandingkan stres akademik biasa. Aktivitas amigdala yang berlebihan menyebabkan respons “fight-or-flight” yang tak terkendali, menjauhkan kita dari kemampuan berpikir rasional. Akhirnya, fungsi prefrontal cortex yang mengatur emosi dan kontrol impuls menurun drastis.
Menurunkan Kualitas Hidup
Menurut penelitian Satici dkk (2022), doomscrolling berhubungan secara signifikan dengan penurunan kesejahteraan mental dan kepuasan hidup, serta berhubungan positif dengan distress psikologis. Semakin banyak seseorang terlibat dalam doomscrolling, semakin besar risikonya untuk mengalami stres psikologis, yang pada gilirannya mempengaruhi kualitas hidup mereka.
Perilaku doomscrolling tidak hanya mengganggu kesehatan mental dalam jangka pendek, tetapi juga mempengaruhi kesejahteraan secara keseluruhan dalam jangka panjang. Alih-alih memberikan ketenangan, doomscrolling memperpanjang durasi respons stres, membuat tubuh dan pikiran kita berada dalam mode “siaga” terus-menerus. Dalam beberapa kasus, kita sadar bahwa kita tidak benar-benar ingin mengetahui lebih banyak informasi, tetapi sulit menghentikan rangsangan dopamin yang muncul setiap kali menggulir layar.
Selain itu, doomscrolling berdampak pada produktivitas akademik. Penelitian Universitas Kristen Satya Wacana (2022) menunjukkan bahwa kecanduan telepon pintar berhubungan signifikan dengan prokrastinasi akademik. Dalam hal ini, doomscrolling mendorong kita untuk menghindari tugas akademik dengan mencari hiburan melalui media sosial. Semakin tinggi tingkat kecanduan smartphone, semakin tinggi pula tingkat prokrastinasi, menciptakan siklus produktivitas rendah dan stres yang berkepanjangan.
Fenomena ini dijelaskan oleh konsep “popcorn brain” dalam jurnal Computers in Human Behavior (2024). Otak yang terbiasa menerima rangsangan cepat dan beragam konten media sosial kehilangan kemampuan untuk berkonsentrasi pada materi kuliah yang kompleks. Waktu yang seharusnya digunakan untuk belajar sering kali tersita untuk scrolling yang bisa berlanjut hingga berjam-jam tanpa disadari.
Selain berdampak pada produktivitas, doomscrolling juga merusak interaksi sosial. Ketika kita bertemu rekan sejawat untuk berdiskusi atau bekerja kelompok, pikiran kita masih terikat oleh konten negatif yang baru saja dilihat. Ini membuat kita sulit berfokus dan berempati, karena suasana hati yang tercemar oleh berita-berita menakutkan.
Semakin sering doomscrolling, semakin tinggi kecenderungannya untuk menarik diri dari pertemuan tatap muka. Hal ini memperparah perasaan kesepian dan meningkatkan risiko depresi, menurut penelitian Santini dkk (2024).
Perlu Intervensi Lintas Sektor

Melihat persentase kerusakan yang ditimbulkan, solusi untuk mengatasi doomscrolling membutuhkan pendekatan komprehensif yang melibatkan teknologi, kebijakan, serta intervensi berbasis terapi. Salah satu solusi teknologi yang dapat diterapkan adalah mode “jam hening digital”, di mana akses ke media sosial dibatasi selama jam pelajaran atau jam belajar.
Fitur tersebut, yang telah diuji coba di Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan aplikasi “Jomblo Mode”, terbukti efektif mengurangi durasi doomscrolling hingga 54% (ITB, 2025). Aplikasi ini mengunci akses ke media sosial kecuali untuk panggilan penting dan memberikan notifikasi waktu belajar. Pengguna yang berhasil menjalani “jam hening digital” diberikan penghargaan poin yang dapat ditukar dengan voucher atau akses ke ruang belajar khusus.
Selain teknologi, transparansi algoritma dalam media sosial juga perlu diterapkan. Perusahaan media sosial dapat diwajibkan untuk memberikan informasi tentang algoritma mereka, sehingga pengguna dapat memahami bagaimana konten dikurasi dan meminimalkan konten yang memicu kecemasan. Kebijakan ini sejalan dengan upaya untuk mengurangi kecanduan dan memperbaiki pengalaman pengguna.
Lengkapnya, intervensi berbasis terapi kognitif-perilaku (CBT) dan literasi digital juga menjadi solusi komplementer. CBT adalah pendekatan yang efektif untuk membantu kita mengatasi kecanduan teknologi dengan mengidentifikasi dan mengubah pola pikir negatif. Melalui CBT kelompok, kita dapat mempelajari cara-cara untuk menghadapi kecemasan yang muncul akibat doomscrolling dan menggantinya dengan rutinitas sehat, seperti mindfulness dan meditasi.
Di beberapa kampus di Jakarta, literasi digital juga diajarkan untuk membantu kita mengenali konten katastropik dan mengembangkan kebiasaan digital yang sehat. Dengan demikian, kita tidak hanya diberikan alat untuk memblokir godaan scroll tanpa henti, tetapi juga dibekali strategi kognitif untuk menghadapi kecemasan secara langsung.
Penerapan literasi digital ini menggunakan skema yang hampir sama dengan Digital Citizenship Curriculum yang telah terbukti berhasil di Amerika Serikat. Hal ini melibatkan tiga komponen utama: materi etika digital pada mata pelajaran, pelatihan guru untuk membimbing siswa dalam penggunaan digital yang bijak, dan workshop untuk orang tua dalam memahami aktivitas digital anak.
Penerapan Digital Detox Week di Indonesia dapat diadaptasi dari kebijakan yang telah terbukti efektif dalam sebuah studi yang melibatkan 300 mahasiswa keperawatan di Amerika Serikat. Program digital detox selama 8 minggu secara signifikan mengurangi penggunaan media sosial dan meningkatkan kesejahteraan mental.
Program tersebut mencakup digital hygiene, self-reflection, screen time management, serta kegiatan berbasis hobi yang mendorong interaksi sosial lebih sehat. Hasilnya menunjukkan penurunan yang signifikan dalam penggunaan media sosial, yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan mental dan produktivitas (Wiley, 2025).
Penerapan Digital Detox Week di seluruh institusi pendidikan di Indonesia dapat memberi kesempatan bagi kita untuk memberi ruang bagi mahasiswa untuk bernapas, bekerja sama, dan merajut kembali hubungan sosial yang sempat terkikis.
Di sisi lain, kebijakan pemerintah juga bisa mencakup regulasi algoritma yang mewajibkan perusahaan media sosial untuk menyediakan alat yang memungkinkan pengguna untuk melacak waktu yang mereka habiskan di media sosial dan menetapkan batasan penggunaan.
Regulasi tersebut bisa dilakukan dengan mengedepankan prinsip transparansi desain media sosial dan mengutamakan kesejahteraan pengguna dibandingkan dengan mengejar engagement maksimal. Ini sejalan dengan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur dan mengawasi aktivitas digital demi melindungi masyarakat dari dampak negatif teknologi.
Sejatinya, doomscrolling bukan hanya kebiasaan buruk yang menghabiskan waktu, melainkan ancaman serius terhadap kesehatan mental kita yang harus segera diatasi. Melalui pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif, yang melibatkan intervensi teknologi, pendekatan kognitif, dan kebijakan pemerintah, kita dapat membantu mengurangi kecanduan media sosial, memperbaiki kesejahteraan mental, dan meningkatkan produktivitas kita.
Dengan mengimplementasikan teknologi seperti mode “jam hening digital” dan transparansi algoritma, serta program literasi digital dan terapi CBT, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih sehat secara mental dan produktif. Menurut Harvard Health Publishing, penanganan doomscrolling merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya menjaga kesehatan mental generasi muda.
Menyelamatkan Generasi
Memutus siklus doomscrolling bukan hanya tentang menghemat waktu, tetapi juga tentang menyelamatkan generasi muda dari krisis kesehatan mental yang dipicu oleh kebiasaan digital yang berlebihan. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu dalam generasi muda untuk menyadari bahwa menyetel ponsel ke modus senyap, menggunakan aplikasi pembatas akses, atau memanfaatkan fitur pengingat waktu bukanlah pengorbanan, melainkan investasi untuk kesehatan mental dan kesejahteraan mereka di masa depan.
Pentingnya peran institusi pendidikan dan pemerintah dalam mengintegrasikan literasi digital dan manajemen stres ke dalam kurikulum mereka sangat krusial. Selain itu, layanan konseling yang lebih mudah diakses untuk semua lapisan generasi muda, terutama yang sudah terjebak dalam siklus doomscrolling, juga harus menjadi prioritas. Transparansi algoritma di media sosial perlu diterapkan melalui kebijakan yang memberi kesadaran kepada pengguna tentang dampak dari setiap tindakan digital yang mereka lakukan.
Solusi ini membutuhkan upaya kolektif dari diri kita sendiri, lembaga pendidikan, hingga pemerintah, untuk memastikan adanya kebijakan yang mendukung keseimbangan digital dalam kehidupan generasi muda. Dengan dukungan teknologi yang sehat dan kebijakan yang mendukung kesejahteraan mental, generasi muda dapat kembali fokus pada tujuan hidup yang lebih sehat, mengembangkan hubungan sosial yang lebih kuat, serta mencapai produktifitas yang lebih tinggi.
Pada akhirnya, memutus doomscrolling adalah usaha untuk memutus mata rantai kehancuran mental, bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk komunitas yang lebih luas yang bergantung pada generasi muda sebagai agen perubahan dan inovasi.
Penulis adalah mahasiswa jurusan Sistem Informasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember, penerima Djarum Beasiswa Plus (Beswan Djarum) 2024/2025. Tirto.id bekerjasama dengan Djarum Foundation menayangkan 16 Finalis Nasional Essay Contest Beswan Djarum 2024/2025.
Editor: Zulkifli Songyanan
Masuk tirto.id


































