tirto.id - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus berlanjut. Berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) pada Rabu (10/10/2018), rupiah berada di posisi Rp15.215 per dolar AS. Posisi itu relatif menguat apabila dibandingkan sehari sebelumnya, yakni Rp15.233.
Sejak sebulan terakhir, kurs rupiah memang sangat fluktuatif. Berdasarkan data JISDOR, sejak awal Oktober ini nilai tukar rupiah bahkan selalu bertahan di atas Rp15 ribu. Misalnya pada 3 Oktober, rupiah tercatat Rp15.088 per dolar AS dan mencapai puncaknya pada 9 Oktober, yakni di angka Rp15.233 per dolar AS.
Namun demikian, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo menilai posisi mata uang rupiah sekarang masih berada dalam batas fundamental perekonomian Indonesia. Lagi pula, menurut Dody, pasar global tidak lantas melihat rupiah sebagai satu-satunya mata uang yang melemah.
"[Pelemahan] Ini merupakan dampak dari bagaimana normalisasi pada negara maju, ternyata cukup besar berpengaruh pada negara di kawasan. Jadi kami tentunya tidak menyalahkan rupiah. Kalau kami lihat, rupiah itu bergerak sesuai dengan kondisi yang ada,” kata Dody di Nusa Dua, Bali, Selasa (9/10/2018).
Sejauh ini, BI belum terlihat menyiapkan langkah khusus terkait pelemahan rupiah yang sudah berada di atas Rp15 ribu per dolar AS. Oleh karena pelemahan masih dipengaruhi faktor eksternal, kata dia, langkah yang dilakukan BI masih seputar intervensi di pasar seperti meningkatkan volume intervensi di pasar valas, membeli SBN (Surat Berharga Negara), dan membuka lelang swap.
Dalam kesempatan lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai tren pelemahan mata uang rupiah belum lepas dari pengaruh perekonomian AS yang terus menguat. Salah satu indikator dari perbaikan ekonomi AS itu ialah dengan menaikkan suku bunga acuan.
Tak hanya berencana menaikkan suku bunga hingga 4 kali pada tahun ini, kenaikan imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 10 tahun (T-bond) juga tercatat terus naik. Hingga saat ini, besarannya mencapai 3,4 persen.
Sri Mulyani mengklaim dinamika perekonomian AS memang bergerak sangat cepat dan mendominasi. "Kalau dulu, batas psikologis untuk T-bond itu adalah 3 persen," kata Menkeu saat ditemui di Hotel Melia Nusa Dua, Bali pada Senin (8/10/2018) lalu.
Saat disinggung apakah fenomena ini merupakan indikator menuju "the new normal" sebagaimana yang sering ia singgung, Sri Mulyani tidak membantah. Hanya saja, ia belum bisa memastikan posisi normal dari nilai tukar rupiah mengingat The Fed akan terus menaikkan suku bunga sampai tahun depan.
"Yang selama ini menjadi indikator global, kami lihat keduanya bergerak. Suku bunga The Fed naik, T-bond juga naik. Ini semakin mengonfirmasi bahwa akselerasi perekonomian Amerika Serikat semakin tinggi. Tapi normalnya ekuilibrium belum tercapai," jelas Sri Mulyani.
Menanggapi hal itu, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan pemerintah perlu memikirkan langkah jangka pendek untuk menjaga stabilitas nilai tukar.
"Setidaknya ada empat quick win yang menurut saya bisa dilakukan pemerintah. Karena tidak bisa terus menunggu investasi masuk, itu jangka panjang," kata Bhima kepada Tirto, Rabu (10/10/2018).
Menurut Bhima, pemerintah bisa memulai quick win itu dari upaya mengendalikan impor 10 barang terbesar. Praktiknya dapat dilakukan melalui kenaikan bea masuk dan kebijakan anti-dumping guna menekan defisit neraca perdagangan.
Selain itu, Bhima menilai, pemerintah perlu segera memberikan insentif yang lebih besar dan jaminan kurs preferensial kepada pengusaha agar segera mengonversi devisa hasil ekspor (DHE).
Bhima menyatakan pemerintah bisa mengurangi pungutan ekspor untuk CPO, mengingat minyak sawit merupakan penyumbang devisa nonmigas terbesar. Di samping itu, ia juga menyarankan pemerintah menghapus PPN untuk ekspor jasa, sehingga tidak kehilangan peluang.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Pertemuan Tahunan IMF-World Bank 2018 di Bali saat ini, Bhima melihat pemerintah bisa mendorong terciptanya local current settlement (LCS) untuk menjaga stabilitas rupiah.
"Karena ada 189 negara yang hadir, sehingga LCS bisa didorong agar kerja samanya tidak hanya dengan Malaysia dan Thailand. Lalu kalau bicara mengenai alternatif pasar, maka ini momentum tepat untuk bisa mendorong ekspor ke negara-negara di Afrika," jelas Bhima.
Sementara itu, analis dari Monex Investindo Dini Nurhadi berpendapat pelemahan nilai tukar rupiah tidak bisa diprediksi berlangsung sampai kapan. Selain karena faktor eksternal, Dini menyebutkan pelemahan itu juga dipengaruhi fundamental perekonomian Indonesia yang masih mengandalkan neraca perdagangan, inflasi, dan ritel.
Dini mengatakan pelemahan mata uang rupiah saat ini merupakan konsekuensi Indonesia sebagai emerging market.
"Saat otoritas mengeluarkan kebijakan, respons enggak bisa langsung seperti likuiditas pada mata uang lain. Oleh karena butuh proses, maka memang [pemerintah] butuh usaha lebih keras," ucap Dini kepada Tirto, Rabu (10/10/2018).
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Abdul Aziz