Menuju konten utama

Dalih dan Usaha Pemerintah Soal Makin Anjloknya Nilai Tukar Rupiah

Pelemahan rupiah dinilai akan membebani APBN sehingga mendorong pemerintah menaikan harga BBM dan tarif dasar litrik.

Dalih dan Usaha Pemerintah Soal Makin Anjloknya Nilai Tukar Rupiah
Petugas teller menghitung pecahan uang dolar AS di Kantor Pusat Bank Mandiri, Kamis (28/6/2018). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Pelemahan kurs rupiah tidak terbendung hingga nyaris menyentuh level Rp15.200 per dolar AS pada pekan ini. Berdasar Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), nilai tukar rupiah mencapai Rp15.182 per dolar AS, pada Jumat 5 Oktober 2018. Level kurs rupiah itu melemah 49 poin dibanding posisi sehari sebelumnya, yakni Rp15.133 per dolar AS.

Akan tetapi, komentar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengesankan pemerintah belum menilai pelemahan rupiah membawa risiko serius. Menurut dia, depresiasi rupiah belum berdampak signifikan secara riil.

"Jadi ini sebenarnya gemuruhnya yang hebat, sebenarnya dampak riilnya itu enggak terlalu besar," kata Darmin di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, pada Jumat (5/10/2018).

Meski demikian, Darmin menegaskan pemerintah tetap mewaspadai dampak pelemahan rupiah terhadap inflasi. Sebab, lonjakan harga produk impor bisa mengerek nilai jual barang domestik yang bahan bakunya dari luar negeri.

"Rupiah melemah 10%, dihitung ke porsi impor di ekonomi. Impor kita kira-kira 30% dari ekonomi. Memang bisa agak tinggi pengaruhnya ke inflasi, bisa 2,5% atau 3%," kata dia.

Perkiraan demikian, kata Darmin, masih aman sebab inflasi tidak melampaui 3%. "Ada kenaikan, tetapi belum banyak. Saya belum bisa bilang berapa, karena harus dihitung dulu dalam inflasi inti itu sebenarnya berapa persen yang impor," kata dia.

Pendapat Darmin selaras dengan hasil survei Bank Indonesia (BI). Indeks Keyakinan Konsumen pada September 2018 masih sebesar 122,4 atau lebih tinggi dari bulan sebelumnya: 121,6. BI menyimpulkan keyakinan konsumen didorong persepsi positif pada ketersediaan lapangan kerja dan dibuktikan dengan peningkatan pembelian barang tahan lama.

Namun, hasil survei BI juga mencatat konsumen khawatir kenaikan harga terjadi pada 3 bulan terakhir tahun ini. Indeks Ekspektasi Harga 3 bulan mendatang ialah 177,1 atau naik dari bulan sebelumnya, yakni 172,6.

Pemerintah Sedang Menyiapkan Kebijakan Baru

Meski menilai pelemahan rupiah belum berdampak serius, Darmin mengakui perhatian pemerintah sedang tertuju pada dinamika global yang terus memicu ketidakpastian. Ia mengatakan dampak lanjutan perang dagang AS dengan Cina masih sulit diprediksi.

"Perang dagangnya bukan makin reda, mereka makin variatif, makin dikembangkan macam-macam cara sehingga tidak sekedar 'saya kenakan tarif sama barang anda'. Kan tadinya cuma gitu," kata dia.

Darmin juga memperkirakan pemerintahan Donald Trump akan kembali menurunkan tarif produk impor asal sejumlah negara dan memberi perlakuan sebaliknya pada barang asal Cina. Ia menduga AS juga akan merevisi perjanjian kerja sama ekonominya dengan sejumlah negara.

"Jadi makin runyam, makin ruwet. Sehingga yang perlu kita lihat, kalau midterm election [Pemilu Paruh Waktu di AS] yang November selesai, apa Trump masih begitu? Itu kita enggak tahu," ujar dia.

Karena itu, Darmin menambahkan, pemerintah sedang menyiapkan langkah-langkah baru yang akan diambil dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global saat ini.

"Langkah-langkahnya tidak lagi sekedar jangka pendek. Apa saja itu? Ya, tunggu saja nanti kami akan jelaskan," ujarnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengisyaratkan pemerintah akan merespons dinamika global yang memicu depresiasi rupiah dengan kebijakan baru.

"Pemerintah terus menjaga fleksibilitas dan bersikap mau berubah dan memperbaiki formula kebijakan, kalau kondisi global terus bergerak," kata Sri Mulyani di Jakarta, Jumat kemarin, dikutip Antara.

Menurut dia, pemerintah, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus memantau efek fluktuasi ekonomi global dan penguatan dolar AS terhadap kondisi di dalam negeri.

"Kita lihat aspek ekonomi kita, apa mampu menyerap dinamika yang terjadi, mulai dari kurs, capital inflow, neraca di lembaga keuangan, korporasi dan APBN. Termasuk kondisi di moneter dan riil, itu semua kita jaga," kata dia.

Sedangkan Gubernur BI Perry Warjiyo mengklaim Bank Sentral sudah menempuh sejumlah langkah untuk mendorong stabilisasi rupiah. Dia menyatakan hal ini di Kompleks Kantor BI, Jakarta, Jumat kemarin, seperti dilansir Antara.

"Kami terus berada di pasar. Tidak hanya memantau. Kami juga melakukan langkah stabilisasi sesuai mekanisme pasar, supaya supply and demand bergerak secara baik di pasar valas," kata Perry.

Menurut Perry, BI aktif berkomunikasi dengan perbankan, pelaku sektor riil, serta para importir dan eksportir untuk memastikan suplai dan permintaan valas di pasar berjalan baik.

"Kami juga mempercepat persiapan teknis untuk berlakunya Domestic Non Deliverable Forward atau DNDF [instrumen lindung nilai]. Memang sudah berlaku secara ketentuan [akhir September], tapi teknis operasionalnya perlu persiapan," kata dia.

Harga BBM dan Tarif Listrik Dikhawatirkan Naik

Berbeda dari klaim Darmin, Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Misbah Hasan menilai pelemahan rupiah akan membebani APBN.

"Ada beberapa [utang luar negeri] jatuh tempo di 2018, dan [beban bayarnya] sangat terpengaruh oleh pelemahan rupiah," ujarnya dalam diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, 5 Oktober kemarin.

Misbah khawatir beban berat APBN mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan yang merugikan masyarakat menengah ke bawah, seperti kenaikan harga BBM dan Tarif Dasar Listrik.

Sementara Manajer Program Riset Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Meliana Lumbantoruan menilai beban APBN bisa semakin berat pada 2019 jika rupiah tidak kunjung menguat.

"Tahun 2019 kita [pemerintah] bayar bunga utang lebih dari Rp200 triliun atau sekitar 10 persen [dari APBN] dengan asumsi APBN Rp14.400 per dolar AS,” kata dia.

Karena kurs dolar AS sudah melampaui Rp15.000, menurut Meliana, beban pembayaran bunga utang pemerintah bisa melampaui asumsi di RAPBN 2019. “Akan membengkak dan gerus fiskal,” ujar dia.

Apalagi, kata Meliana, defisit transaksi berjalan pada triwulan II tahun ini sudah mencapai 3,04 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan selama 2018 diprediksi akan sebesar 25 miliar dolar AS.

Kekhawatiran para aktivis beralasan mengingat cadangan devisa (cadev) Indonesia terus merosot. Data BI mencatat posisi cadev di akhir September 2018 sebesar 114,8 miliar dolar AS atau turun 3,1 miliar dolar AS dibanding bulan sebelumnya. Cadev Indonesia pada Agustus lalu tercatat 117,9 miliar dolar AS.

Posisi cadev memang masih di atas standar kecukupan internasional (3 bulan impor). Devisa sebesar 114,8 miliar dolar AS mencukupi pembiayaan 6,5 bulan impor atau 6,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Namun, dalam keterangan resminya, BI mengakui penurunan cadev dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan upaya stabilisasi kurs rupiah di tengah ketidakpastian pasar global.

Penurunan kali ini juga melanjutkan tren sejak awal 2018. Cadev hanya sempat membaik di Januari 2018: sebesar 131,98 miliar dolar AS atau naik tipis dibanding akhir 2017 (130,2 miliar AS). Setelah cadev melorot menjadi 128,06 miliar dolar AS pada Februari 2018, penurunan terus berlanjut selama 7 bulan berikutnya.

Baca juga artikel terkait NILAI TUKAR RUPIAH atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom