tirto.id - Nilai tukar rupiah terus terperosok sejak dolar AS menembus level Rp15.000 pekan ini. Kurs rupiah di penutupan perdagangan pasar spot Kamis sore (4/10/2018) terpuruk lagi menjadi Rp15.165 per dolar AS atau melemah 0,63% dibanding posisi sehari sebelumnya.
Sementara berdasar kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) rilisan Bank Indonesia, nilai tukar rupiah mencapai 15.133 per dolar AS, pada 4 Oktober 2018. Kurs rupiah melemah 45 poin dibanding sehari sebelumnya, yang mencapai Rp15.088 per dolar AS.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengklaim pemicu utama pelemahan kurs rupiah yang berlanjut hingga hari ini adalah faktor eksternal.
“Kalau hari ini, memang mayoritas berasal, terutama trigger-nya, dari luar yang sangat dominan,” kata dia kepada wartawan di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis siang (4/10/2018) seperti dilansir laman Sekretariat Kabinet.
Dia mencontohkan defisit APBN Italia menjadi faktor eksternal yang memicu sentimen negatif, Rabu lalu. Tapi, setelah pemerintah Italia berkomitmen menurunkan defisit, sentimen eksternal lain muncul.
Meski demikian, Sri mulyani menegaskan pemerintah terus mewaspadai neraca pembayaran karena impor belum benar-benar terkendali. Karena itu, pengendalian impor 1.147 produk konsumsi dan barang yang bisa diproduksi di dalam negeri, akan terus dipantau setiap pekan. Dia pun berharap implementasi kebijakan B20 mengerem laju impor migas.
Adapun Bank Indonesia (BI), kata Sri Mulyani, tetap mengantisipasi laju pelemahan rupiah dengan tiga bauran kebijakan.
“Bauran kebijakan dari Bank Indonesia itu berhubungan dengan suku bunga, dengan makroprudensial, dan policy mereka mengenai intervensi untuk menciptakan perubahan yang bisa di-absorb [diserap] dan disesuaikan oleh perekonomian,” kata Sri Mulyani.
Dalam diskusi di Kompleks DPR Rabu lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo mengakui tekanan faktor eksternal sulit dibendung, khususnya kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS (The Fed) yang diprediksi berlanjut di tahun depan.
"Tahun ini sudah 3 kali [suku bunga The Fed naik]. Kemudian Desember [2018] naik lagi suku bunga, dan tahun depan 2 kali, serta 2020 sekali," kata Perry.
Pengaruh kuat faktor eksternal pun diakui sebagian analis pasar. Analis Monex Investindo Futures Putu Agus menilai dolar AS menguat terhadap mata uang banyak negara karena data serapan tenaga kerja AS dinilai positif oleh para investor.
"Data tenaga kerja AS [periode September 2018] mengonfirmasi pernyataan the Fed mengenai kuatnya perekonomian AS sehingga investor memburu aset berdenominasi dolar AS," kata dia, dikutip Antara.
Sedangkan ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih berpendapat kenaikan harga minyak mentah dunia bisa membuat depresiasi kurs rupiah terus berlanjut. Harga minyak dunia sudah tembus 85 dolar AS per barrel.
Pelemahan rupiah yang berlanjut hari ini sesuai prediksi mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli, pada 3 Oktober lalu. "Apakah Rp15.000 sudah akhir? Kami mohon maaf, ini baru permulaan," ujarnya di kompleks DPR RI, Jakarta.
Ia menilai kenaikan suku bunga acuan The Fed yang masih akan terjadi lagi memicu pembalikan modal dari negara berkembang dan membuat banyak mata uang, termasuk rupiah, melemah. Selain itu, indikator ekonomi negatif banyak negara berkembang dan perang dagang AS-Cina turut menambah masalah.
Rizal berpendapat langkah terbaik saat ini ialah pemerintah harus menekan impor secara agresif agar defisit transaksi berjalan bisa turun drastis. Tapi, kata dia, langkah pemerintah membatasi impor barang konsumsi bukan cara efektif.
"Kenapa tidak fokus untuk menekan 10 bahan impor Indonesia yang besar, seperti baja. Kalau hanya barang konsumsi, efeknya kecil," kata Rizal.
Sri Mulyani memang sudah menyatakan Indonesia sedang menghadapi dua tantangan berat: perang dagang AS-Cina dan kenaikan harga minyak dunia. Namun, ia berharap situasi ini tidak memicu kepanikan dan disikapi secara fleksibel.
Ia optimistis tantangan global itu bisa diatasi jika komunikasi antara pemerintah dan dunia usaha berjalan dengan baik. "Kami [pemerintah] berkomunikasi dengan dunia usaha, sehingga kami bisa saling memahami situasi ini, kami bersama-sama hadapi dan kami sesuaikan," ujar dia.
Prediksi Dampak Terburuk Pelemahan Rupiah
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai, jika pelemahan rupiah terus berlanjut, bahaya bisa mengancam sektor riil yang terkait dengan impor dan utang swasta. "Dulu Standar and Poors pernah membuat uji stress test bahwa angka [kurs] yang bisa ditolerir di bawah Rp15.000 [per dolar AS]," ujar dia.
Bhima menilai keuangan BUMN pun berpotensi “berdarah” jika kurs rupiah terhadap dolar AS terus naik di atas level Rp15.000. Sebab, banyak BUMN akan kesulitan membayar utang dalam bentuk valas. "Potensi gagal bayarnya akan berdampak sistemik ke ekonomi keseluruhan," kata Bhima.
Ia berpendapat langkah BI mengimbangi kenaikan suku bunga The Fed dengan mengerek BI-7DRRR menjadi 5,75 persen tidak efektif menahan pelemahan rupiah karena sudah diprediksi pasar.
"Jadi tidak ada surprise. Negara lain juga melakukan kenaikan bunga acuan. Ibarat parasetamol, bunga acuan cuma buat redakan demam," ujar Bhima.
Dia mengatakan persoalan utama yang justru harus segera diselesaikan pemerintah adalah defisit transaksi berjalan (CAD). Apalagi, pada triwulan II 2018, CAD sudah mencapai 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau 8 miliar dolar AS.
"Penyakit utama kita sumbernya di defisit transaksi berjalan,” kata dia. Bhima menambahkan, “CAD yang sudah tembus 3 persen akan terus menggoyang fondasi ekonomi."
Menurutnya, pemerintah harus segera menekan defisit migas, mengendalikan 10 barang impor paling tinggi termasuk baja, meningkatkan kinerja ekspor barang dan jasa, serta menarik lebih banyak Foreign Direct Investment (FDI) atau investasi langsung luar negeri.
Bhima mencatat porsi FDI di Indonesia hanya 5,7 persen dari total investasi. Sementara rata-rata porsi FDI di negara-negara Asia Tenggara mencapai 17 persen. Untuk mengerek FDI, kata Bhima, pemerintah perlu mendorong investasi di sektor manufaktur, pertanian, konstruksi maupun pariwisata.
Sebaliknya, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengklaim pelemahan rupiah hingga level Rp15.100 per dolar AS pada 4 Oktober, masih di batas aman. Sebab, kata Mirza, sektor perbankan memiliki daya tahan dalam menghadapi depresiasi kurs rupiah.
"Sektor perbankan kuat. Semua bank kategori Buku I-IV, CAR [Capital Adequacy Ratio atau Rasio Kecukupan Modal Bank)-nya di atas 20 persen," kata Mirza, sebagaimana dilansir Antara.
Selain itu, menurut Mirza, BI menilai kondisi likuiditas di pasar masih memadai meski suku bunga acuan (BI 7-Day Reverse Repo Rate/BI-7DRRR) naik 25 basis poin menjadi 5,75 persen, 27 September lalu.
Akan tetapi, Mirza pun mengakui tingkat pelemahan nilai tukar di banyak negara berkembang dipengaruhi pula oleh besarnya defisit transaksi berjalan.
"Memang negara-negara berkembang yang defisit, itu lebih besar gejolaknya. Tetapi yang penting pemerintah dan BI sudah bersatu padu supaya CAD [defisit] ini bisa berkurang," kata dia.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso juga menegaskan perbankan masih mampu bertahan meski pelemahan rupiah berlanjut. Ia beralasan likuiditas perbankan masih mencapai Rp500 triliun.
"Perbankan tidak terlalu khawatir akan hal itu. Secara agregat atau individual tidak ada masalah," ujarnya.
Wimboh meyakini penguatan dolar AS terhadap rupiah hanya sementara. Dia menilai kebijakan-kebijakan pemerintah untuk menggenjot ekspor serta mengurangi impor dapat segera menuai hasil dan menggenjot perekonomian domestik.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Muhammad Akbar Wijaya