Menuju konten utama

Dolar AS Sentuh Rp15 Ribu, INDEF: Ini Berbahaya Bagi Sektor Riil

Dolar AS kembali menyentuh Rp15 ribu, menurut ekonom INDEF hal ini cukup berbahaya bagi ekonomi khususnya sektor riil yang berkaitan dengan impor dan utang swasta.

Dolar AS Sentuh Rp15 Ribu, INDEF: Ini Berbahaya Bagi Sektor Riil
Karyawan menghitung mata uang Dollar AS di gerai jasa penukaran uang asing di Jakarta, Senin (13/8). Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS melemah menjadi Rp14.608 per dolar AS pada penutupan perdagangan Senin (13/8). ANTARA FOTO/Reno Esnir.

tirto.id - Rupiah kembali terperosok ke level Rp15 ribu terhadap dolar AS pada awal Oktober 2018. Dalam sesi perdagangan September dolar AS sempat menembus Rp 15 ribu, tapi kemudian ditutup di level Rp14.900.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan capaian tersebut cukup berbahaya bagi ekonomi khususnya sektor riil yang berkaitan dengan impor dan utang swasta.

"Dulu Standar and Poors pernah membuat uji stress test bahwa angka [nilai tukar dolar AS terhadap rupiah] yang bisa ditolerir di bawah Rp15 ribu," ujar Bhima kepada Tirto pada Rabu (3/10/2018).

Lebih dari Rp15 ribu, Bhima melanjutkan bahwa korporasi termasuk BUMN akan berdarah keuangannya. Mereka akan kesulitan membayar utang dalam bentuk valas. "Potensi gagal bayarnya akan berdampak sistemik ke ekonomi keseluruhan," kata Bhima.

Pemerintah maupun Bank Indonesia telah berkali-kali menerangkan bahwa anjloknya rupiah dominan dipengaruhi oleh tekanan eksternal, khususnya the Fed yang agresif menaikkan suku bunga acuannya. Kendati dari sisi internal dalam negeri, defisit transaksi berjalan (CAD) yang mencapai 3 persen atau senilai 8 miliar dolar AS terhadap PDB pada triwulan II/2018, juga berperan dalam anjloknya rupiah.

Bank Indonesia (BI) beberapa kali berusaha menahan anjloknya rupiah dengan menaikkan suku bunga acuan BI (BI-7 Days Reverse Repo Rate/BI-7DRRR). Terakhir, hasil Rapat Dewan Gubernur BI pada September memutuskan menaikkan BI-7DRRR sebanyak 25 basis points (bps) menjadi 5,75 persen.

"Dampak kenaikan suku bunga acuan BI sudah diprediksi pasar, jadi tidak ada surprise. Negara lain juga melakukan kenaikan bunga acuan. Ibarat parasetamol bunga acuan cuma buat redakan demam," ujar Bhima.

Persoalan utama yang menurut Bhima harus diselesaikan pemerintah untuk rupiah menguat terhadap dolar AS adalah dengan memperbaiki kinerja fundamental ekonomi salam negeri.

"Penyakit utama kita sumbernya di defisit transaksi berjalan, sehingga kekurangan pembiayaan dalam negeri karena defisit itu harus dipenuhi dari investasi portfolio jangka pendek. CAD yang sudah tembus 3 persen akan terus menggoyang fondasi ekonomi," ujar Bhima.

Menurutnya, pemerintah harus segera menekan defisit migas, mengendalikan 10 barang impor paling tinggi termasuk besi baja, meningkatkan kinerja ekspor barang maupun jasa, dan menarik lebih banyak Foreign Direct Investment (FDI) atau investasi langsung luar negeri.

"Sehingga investasi lebih berkualitas bukan hot money," kata Bhima.

Bhima mengatakan selama ini porsi FDI hanya 5,7 persen dari total investasi yang ada di Indonesia. "Rata-rata Asia Tenggara porsi FDI 17 persen. Minimal Indonesia mencapai angka itu, bisa dorong investasi di bidang manufaktur, pertanian, konstruksi, pariwisata, dan sektor produktif lainnya," ungkap Bhima.

Baca juga artikel terkait NILAI TUKAR RUPIAH atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Maya Saputri