tirto.id - Laba bersih PT Pertamina (Persero) pada semester I/2018 tercatat kurang dari Rp5 triliun. Capaian ini jauh dari Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) Pertamina Tahun 2018 yang menargetkan laba bersih sebesar Rp32 triliun atau hanya sekitar 15 persen.
Hal itu diungkapkan Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (6/9/2018). Kondisi ini tidak lepas dari tren harga minyak dunia yang naik dan dolar yang terus menguat, sementara bahan bakar minyak (BBM), khususnya Premium dan Pertalite tetap tidak dinaikkan.
“Di semester I/2018 enggak sampai Rp5 triliun [laba bersih], jadi jauhlah dengan prognosanya. Ini kan berubah terus ICP [Indonesia Crude Price/acuan harga minyak mentah Indonesia], kursnya juga berubah,” kata Fajar.
Harga minyak mentah dunia yang tinggi, kata Fajar, menjadi salah satu faktor penyebab laba Pertamina sangat tipis di semester I/2018. “Karena harga minyak mentah dunia naik. [Sedangkan] kompensasi ke hilirnya enggak cukup,” kata Fajar menjelaskan.
Namun demikian, kata Fajar, ada kemungkinan perubahan laba Pertamina dalam RKAP 2018 dengan memasukkan tambahan subsidi BBM jenis Solar kepada Pertamina maksimal Rp2.000 per liter. “Masih dihitung. [Tambahan subsidi] itu yang mau kami hitung,” kata Fajar.
Menanggapi hal itu, Direktur Keuangan PT Pertamina (Persero), Arief Budiman mengatakan bahwa laba semester I/2018 belum mencapai final, karena masih belum menghitung selisih harga jual dengan subsidi.
“Jadi belum bisa kami finalkan angkanya. RKAP-nya juga masih dalam proses direvisi. Kemungkinan target laba memang turun dari Rp32 triliun, tapi nanti dong, kan belum dihitung,” kata Arief.
Dalam APBN 2018, pemerintah menetapkan subsidi BBM jenis Solar Rp500 per liter dengan asumsi harga ICP 48 dolar AS per barel. Padahal realisasinya ICP untuk Agustus tercatat sebesar 69,36 dolar AS per barel.
Penambahan Subsidi
Pada 21 Agustus 2018, pemerintah melalui Kementerian ESDM menerbitkan aturan baru untuk menambah subsidi kepada Pertamina untuk BBM jenis Solar. Penambahan subsidi itu dituangkan dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 40 Tahun 2018 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran BBM.
Pasal 2 ayat 1 dari beleid itu, misalnya, menyatakan soal perhitungan harga jual eceran jenis BBM tertentu berupa Minyak Solar (Gas Oil) di titik serah, untuk setiap liter ditetapkan dengan formula sesuai dengan harga dasar ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dikurangi subsidi paling banyak sebesar Rp2.000 dan ditambah Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB).
“Jadi, maksimum subsidi Rp2.000 per liter,” kata Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto, di Jakarta pada Rabu (5/9/2018).
Djoko mengatakan bahwa keputusan tersebut diambil dengan mempertimbangkan pergerakan harga minyak mentah dunia yang jauh lebih tinggi dari asumsi APBN. Regulasi tersebut juga dimaksudkan untuk membantu keuangan Pertamina agar tidak terbebani karena harga BBM penugasan tidak naik.
Dalam aturan itu disebutkan besaran subsidi yang diberikan berlaku surut sejak 1 Januari 2018. Artinya, Pertamina akan menanggung terlebih dahulu beban subsidi tersebut. Setelah akhir tahun, beban subsidi itu diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Setelah lolos audit kemudian dibayarkan kembali kepada Pertamina.
Kementerian Keuangan dalam APBN 2018 menetapkan subsidi energi sebesar Rp94,55 triliun. Terdiri dari subsidi BBM dan LPG 3 kilogram (Kg) sebesar Rp46,86 triliun, lalu subsidi listrik Rp47,66 triliun.
Namun, pada Juli 2018 pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah berencana menganggarkan penambahan subsidi energi sebesar Rp69 triliun. Sehingga, anggaran subsidi energi secara keseluruhan hingga akhir tahun diperhitungkan membengkak menjadi Rp163,55 triliun.
Siasati Kebutuhan dan Biaya Impor
Menguatnya dolar AS terhadap rupiah di tengah tingginya harga minyak mentah dunia dapat menambah beban keuangan Pertamina. Hal ini dikarenakan kebutuhan BBM dalam negeri hampir separuhnya didapat dari impor.
Direktur Pemasaran Retail Pertamina, Mas'ud Khamid mengatakan sebagai perusahaan pelat merah, pihaknya harus mengikuti arahan dari pemerintah untuk menyalurkan BBM penugasan, seperti Solar dengan ketentuan harga subsidi dari pemerintah. Sementara Premium sebagai BBM penugasan sama sekali tidak disubsidi.
Di sisi lain, kata Mas'ud, Pertamina terikat dengan ketentuan harga minyak mentah dunia yang semakin tinggi. “Ingin ikuti crude, tapi daya beli tidak kuat. BBM adalah kebutuhan primer. Kebutuhan BBM naik 4 persen seiring dengan pertumbuhan populasi,” kata Mas'ud di Jakarta, pada Rabu (5/9/2018).
Sehingga Pertamina, kata Mas'ud, tidak bisa egois menaikkan harga BBM. “Kami melihat kebutuhan energi rata-rata 7,5 persen dari total pendapatan. Jangan diasumsikan pendapatan konglomerat, tapi UMR (upah minimum regional)” kata Mas'ud.
Sementara ini, menurutnya pemerintah sudah cukup mengambil sikap dengan mengeluarkan beberapa kebijakan untuk menjaga keuangan korporasi dan tidak menggerus daya beli masyarakat. Di antaranya, adalah mengurangi impor BBM.
"Impor berkurang, karena sebagian crude (minyak mentah) digantikan biodiesel. Paling tidak 20 persen volume solar yang harusnya impor bisa menggunakan biodiesel (kebijakan mandatori B20)” kata Mas'ud.
Selain itu, Pertamina diberi keleluasaan membeli minyak mentah dari dalam negeri 100 persen. Hal ini sebagai tindak lanjut dari kebijakan Menteri ESDM, Ignasius Jonan yang mewajibkan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) menawarkan hasil produksi minyak mentah ke Pertamina, sebelum di ekspor.
Saat ini, Peraturan Menteri (Permen) untuk menerapkan kewajiban kepada KKKS ini, sedang disiapkan. Nantinya kewajiban ini bersifat business to business (b to b) antara KKKS dengan Pertamina.
“Pertamina ada pengurangan impor dengan kompensasi pembelian minyak dalam negeri,” kata Mas'ud.
Selain untuk berkontribusi menahan pelemahan rupiah yang sudah tertekan hingga menyentuh level Rp15 ribu terhadap dolar AS, kata Mas'ud, Pertamina juga mengefisiensikan operasional yang menggunakan material impor dan menggantikannya dengan material dalam negeri.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Abdul Aziz